“Aku pergi dulu,” kata Mas Ares menatapku.
Aku mengangguk. “Hari ini juga aku mau keluar.”
“Mau kemana?”
“Ke rumah teman,” jawabku.
Mas Ares mengangguk dan berkata, “Kayaknya aku pulang sangat malam. Nanti kunci saja pintunya, aku bawa kunci serep.”
“Iya,” jawabku masih belum terbiasa menyebutnya dengan sebutan ‘Mas’.
Aku melihat Mas Ares pergi dan jalan kaki meninggalkan rumah, dia pasti akan mencari angkot didepan sana. Aku pun segera menutup pintu dan menuju meja makan. Aku meraih kopi yang ada dan menyesapnya.
Sebelum hidupku seperti ini, aku memiliki kesempurnaan dalam hidup. Aku memiliki segalanya dan aku memiliki kehidupan yang layak dulu. Aku dicintai dan dikelilingi orang-orang yang sangat menyayangiku, namun semua berubah bagai angin. Hanya sekejap saja aku kehilangan semuanya.
Aku seorang designer yang terkenal di dunia selebriti, aku memiliki banyak hal yang dapat ku banggakan pada semua orang, banyak yang iri juga dengan pencapaian yang ku terima. Aku selalu menerima penghargaan di dunia bisnis karena mampu terbang tinggi.
Namun, pada masa kejayaan aku kehilangan semuanya setelah seseorang melibatkan namaku pada korupsi besar yang melibatkan pejabat hukum. Aku tak tahu apa yang terjadi dan aku tidak tahu bagaimana bisa aku terlibat dalam hal ini.
Aku pun tak memahami yang terjadi dan tidak pernah mengakui tentang keterlibatanku. Aku tak tahu dan tidak pernah menemui pejabat hukum bahkan dengan jajarannya, aku terlalu percaya pada orang-orangku sehingga aku kehilangan semuanya.
Hanya dalam sekejap saja aku kehilangan kekayaan, ketenaran, kesibukan dan semua yang ku punya termaksud kekasih.
Dulu kekasihku berjanji akan menikahiku di akhir tahun, namun sebelum akhir tahun banyak skandal yang melibatkanku hingga ia memutuskan hubungan tanpa membicarakannya dahulu. Ia menjadi orang pertama yang meninggalkanku dan tak lama kemudian aku dengar pertunangannya dengan saingan bisnisku.
Semua orang berbondong-bondong membuat cerita menyedihkan dan menuduhku menjadi orang jahat. Aku juga bolak-balik menemui pengacara dan berkunjung ke kantor polisi untuk memberikan keterangan. Hingga akhirnya aku terbebas dari tuduhan, tapi tidak ada yang mengembalikan nama baikku.
Semua itu hanya berlangsung satu bulan, hingga akhirnya semua orang melupakanku dan tidak ada lagi yang membahas tentangku. Dan, aku kembali pada kenyataan pahit.
Setelah berusaha menerima semuanya, aku mendengar Ayah mengalami kecelakaan kerja dan meninggal dunia. Ternyata ujianku tidak sampai disitu, aku harus diuji kehilangan Ayah. Dan, Ayah tidak menerima kompensansi dan semua media tidak meliput kejadian itu. Hatiku hancur-sehancur hancurnya. Tidak ada yang percaya pada keluarga kami.
Setelah kehilangan Ayah, Ibu menjadi sakit-sakitan, Ibu ternyata mengidap penyakit ginjal yang mengharuskannya operasi berkali-kali. Tapi, tak juga menyembuhkan penyakit Ibu karena itu sudah terlalu mendarah daging.
Aku tak tahu, mengapa ujianku tidak pernah berhenti. Aku menjual rumah kami dengan harga yang cukup murah, lalu ku jual beberapa aset yang masih ada ditanganku, dan aku menggunakan uangnya untuk membayar pinalty dari perusahaan kerja sama.
Aku menggunakannya juga untuk biaya rumah sakit Ibu, dan semuanya habis. Karena setiap hari Ibu harus mendapatkan perawatan.
Dan tiba lah saatnya aku mengemis ke rumah Paman, meminta pertolongan karena Ibu harus di operasi dan membutuhkan biaya. Namun, Bibi malah memberikanku syarat agar menikah dengan Mas Ares.
Aku menerimanya, karena tak ada lagi yang dapat aku pertahankan dalam hidupku.
Di sini lah aku di rumah sakit tempat Ibu di rawat, andaikan aku masih kaya raya, aku tidak mungkin membuat Ibu menderita seperti ini, aku pasti akan memberikan yang terbaik untuknya.
Tak lama kemudian, Dokter datang dan menemuiku.
Aku terkejut dan hendak bangkit dari dudukku, namun dokter tersebut langsung mendudukkanku kembali dan ia duduk disebelahku. Aku menoleh melihatnya.
Dokter Indah, adalah dokter yang menangani Ibu.
“Dok, bagaimana kondisi Ibu?” tanyaku menatap Dokter Indah.
“Ibumu harus segera di operasi.”
“Operasi Ibu saya, Dok,” kataku.
“Saya ingin menolong ibumu, tapi kamu pasti paham posisi saya.”
Ya posisi dokter memang tidak mudah, selama ini beliau sudah memberikan yang terbaik untuk Ibu, mengabaikan semua pandangan orang tentangku.
“Kapan Ibu saya operasi?” tanyaku.
“Kamu belum membayar biaya operasi, jadi kami tidak bisa melakukan apa-apa.”
“Apa? Jadi, Bibi saya belum membayar biayanya?”
“Tidak ada p********n atas nama Ibu kamu.”
“Tapi katanya … Bibi sudah membayar biaya operasi Ibu.”
“Saya tidak tahu menahu tentang ini,” jawab dokter.
Aku tidak tahu jika ternyata Bibi belum membayar biaya operasi, sementara Bibi mengirim pesan bahwa ia sudah membayarnya dan Ibu segera di operasi, tapi ternyata Bibi berbohong? Aku kehilangan akal dan pikiran saat ini, kenapa Bibi berbohong?
Tsabina yang dulu berubah menjadi Tsabina yang sekarang, Tsabina yang tidak punya apa-apa. Tsabina yang hanya menjadi beban orangtua.
Tak lama kemudian, asisten dokter panik dan memanggil dokter, lalu aku bangkit dan melihat ke arah ruang perawatan Ibu, ternyata Ibu anpal lagi.
Aku segera berlari keluar dari rumah sakit. Aku harus ke rumah Paman. Aku harus menagih janji Bibi.
Aku segera ke sana setelah melihat kondisi Ibu.
Tak butuh waktu lama, aku tiba di sini, di rumah gedongan milik Paman.
Aku langsung masuk dan berteriak memanggil Bibi dan Yesika. Aku sudah melakukan seperti apa yang mereka minta namun mereka tidak membayarnya.
“BIBI! YESIKA! BIBI!” Aku berteriak agar suaraku keluar.
Tak lama kemudian, Bibi dan Yesika keluar dari kamar mereka.
“Ada apa sih? Siapa yang berteriak?” tanya Bibi dengan mata yang membulat ketika melihatku.
Yesika memajuiku begitu pun Bibi yang berlindung pada Yesika.
“Apa maumu? Kenapa berteriak di rumah orang?” tanya Yesika dengan bersedekap.
“Aku kemari mau menagih janji kalian.”
“Apa janji kami?”
“Kalian memintaku menikah dengan Antares. Dan, aku sudah melakukannya, tapi kenapa Bibi tidak membayar biaya operasi Ibu? Padahal tadi Bibi bilang kalau Bibi sudah membayarnya, tapi ketika aku di rumah sakit, tidak ada p********n atas nama Ibu. Apa maksudnya?” tanyaku menatap kesal ke arah mereka.
Bibi lalu tertawa terbahak-bahak ketika mendengarkan apa yang aku katakan. Aku tidak tahu maksud dari tawanya.
“Jadi, kamu percaya kepada kami?” tanya Yesika menyeringai didepanku. "Aduh gembel ini sangat lucu yaa."
"Bibi kenapa berbohong? Bibi harus bayar itu, aku sudah menikah dengan Antares, dan kalian tidak menepati janji." Aku berusaha tenang dan tidak merusuh di sini. Aku butuh uang itu, aku sudah menjual harga diriku pada Mas Ares.
"Hei gembel, kamu sadar? Harusnya kamu bersyukur karena walaupun miskin tapi suamimu tampan, andaikan dia kaya aku juga tidak akan membaginya kepadamu," kata Yesika masih dengan tatapan penuh kesombongan.
.
.