Beberapa otot tubuh Mac tiba-tiba menonjol. Dadanya yang berubah bidang serta lengannya yang terlihat semakin membesar.
Kedua pemabuk itu memundurkan beberapa langkah kakinya menjauh dari Mac, ketakutan. Sorot mata Mac menatap nyalang dengan wajah menyeringai kepada kedua preman itu.
"Jangan takut, aku yakin dia hanya sedang berpura-pura saja!" Lelaki bertubuh gemuk itu menarik jaket lelaki yang berada di sampingnya.
"Tidak, sepertinya dia benar-benar berubah menjadi monster!" sahut lelaki itu semakin menjauhkan dirinya dari Mac yang berjalan semakin mendekat.
Mac mencengkram kuat jaket yang lelaki kurus itu kenakan. Sebuah bogem melayang bebas tepat pada hidung lelaki itu.
Bough!
Tubuh kurus itu terpelanting jatuh di atas rerumputan yang berada di tepi jalan dengan jarak yang cukup jauh.
"Sialan!" Lelaki gemuk itu menghampiri Mac, menarik baju yang Mac kenakan dari belakang. Lalu mengayunkan tinju. Tapi sayangnya, belum sempat tijuan itu mendarat pada wajah Mac. Kepalan tangan itu masuk dalam cengkraman tangan Mac yang sudah memutar tubuhnya.
Mac memicingkan matanya pada lelaki yang sedang kesakitan di hadapannya. Sesaat ia memutar kepalan tangan lelaki itu hingga berbunyi.
Crack!
"Ampun! Ampun!" seru lelaki bertubuh gemuk itu kesakitan. Sepertinya pergelangan tangannya telah dipatahkan oleh Mac.
Mac mendorong tubuh lelaki gemuk itu hingga membentur tembok cukup keras. Sementara lelaki bertubuh kurus yang berada meringkuk di trotoar jalan segera bangkit dan berlari tunggang lalang meninggalkan temannya yang kemudian mengikutinya, kabur.
Mac masih tidak percaya jika dirinya dapat melakukan hal itu. Ia manatap pada telapak tangannya yang di penuhi otot hingga ke pergelangan tangannya. Kemudian meraba pada bagian wajahnya yang juga berubah.
"Ini sungguh aneh sekali," ucap Mac antara senang dan haru.
Gerakan tangan Mac berhenti pada taring yang ada pada giginya. "Kenapa aku seperti tikus!" lirih Mac merasa aneh.
****
Mac melihat pada gadis cantik berambut kecoklatan yang sedang sibuk merangkai bunga di toko miliknya. Mac mempercepat langkah kakinya menghampiri Clarisa.
"Hay, Clarisa!" sapa Mac menyungingkan ulasan senyuman.
"Mac!" Senyuman lebar terbit dari bibir Clarisa. Gadis itu memutari deretan bunga yang mengelilinginya untuk menghampiri Mac yang berdiri di depan toko bunga.
"Hay, ada angin apa kamu datang ke toko Mac?" tanya Clarisa dengan wajah bersemu merah.
"Kebetulan aku lewat sini, jadi aku mampir saja," sahut Mac tersenyum kecil membuat Clarisa semakin tersipu malu.
"Mac!" Panggil suara lelaki dari dalam toko membuat Mac menoleh.
"Tuan Pat!" sahut Mac melambaikan tangannya pada lelaki yang sedang sibuk dengan tanaman hias di dalam toko.
"Masuklah Mac!" seru Tuan Pat.
"Tidak terimakasih, Tuan." Mac melemparkan senyuman pada lelaki berkacamata itu.
"Aku hanya ingin mengajak Clarisa pergi keluar sebentar, mungkin makan di cafe depan," imbuh Mac.
"Oke, pergilah Mac!" sahut Tuan Pat kembali melanjutkan pekerjaannya.
Clarisa yang sedari tadi memperhatikan Mac hanya tersipu malu. "Apakah kamu sedang bergurau, Mac?" tanya Clarisa dengan wajah semerah tomat.
"Tentu saja tidak, ada sesuatu hal yang ingin aku ceritakan kepadamu, Clarisa!" tutur Mac memasang wajah serius.
Clarisa bergegas melepaskan baju ganti yang ia kenakan. "Tunggu, aku ingin memberikan ini pada Ayah!" ucapnya seraya mengoyangkan baju yang kotor oleh tahan di depan Mac.
Mac tersenyum dan mengangguk. Beberapa saat kemudian gadis dengan celana jeans dan kaos street itu keluar dari dalam toko.
"Ayo!" ajak Clarisa tersenyum hangat pada Mac.
Mac memilih bangku yang berada di sudut ruangan. Dekat dengan kebun kecil yang berada di kafe dengan beberapa tanaman hijau yang menghiasi di sekelilingnya.
"Kamu mau pesan apa, Mac?" tanya Clarisa melihat pada buku menu.
"Coffee latte," sahut Mac.
"Oke baiklah!"
Clarisa menutup buku menu dan melambaikan tangannya pada seorang pelayan yang kebetulan melihat ke mereka.
"Coffe latte dua!" ucap Clarisa pada pelayan yang menghampirinya.
"Sejak kapan kamu menyukai Coffe latte, Clarisa?" tanya Mac merasa aneh.
"Sejak saat ini!" sahut Clarisa menyungingkan senyuman.
"Oke baiklah!" Mac mengangguk mengiyakan ucapan Clarisa.
"Tadi kamu bilang ada yang ingin kamu ceritakan kepadaku. Katakanlah!" seru Clarisa menumpu wajahnya di atas meja dengan kedua tangan membetuk huruf V.
Mac mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Lalu menarik tubuhnya mendekat ke arah meja.
"Aku akan memberitahukan kamu sebuah rahasia besar. Tapi, jangan sampai ada satupun orang yang mengetahuinya!" ucap Mac dengan nada berbisik dan wajah serius.
Clarisa menaikan kedua alisnya memperhatikan Mac dengan seksama.
"Aku sempat mendengar bahwa presiden kita memiliki sebuah rencana jahat dengan Profesor Danil. Mereka akan menyebarkan virus mematikan melalui udara agar membunuh semua umat manusia."
"Apa?" decak Clarisa menaikkan nada suaranya dengan wajah panik.
Sttt!
Mac memperhatikan ke sekeliling, setelah meletakan jari telunjuknya ke dekat bibir. Ia menarik tubuhnya menjuah dari meja saat pelayan membawakan pesanannya datang.
"Coffe latte untuk anda!" ucap pelayan yang meletakan pesanan di atas meja.
"Terimakasih!" sahut Clarisa.
Beberapa saat Mac terdiam tidak melanjutkan ucapannya. Sorot matanya melihat pada pelayan yang berjalan menjauhinya.
"Mac, kamu jangan mengada-ada!" sergah Clarisa penasaran. "Ini tidak lucu, Mac," protes Clarisa.
"Sebenarnya ini adalah politik global. Persaingan antara negara besar. Dan rencananya mereka akan membiarkan virus itu bekerja sampai sepertiga penduduk bumi mati."
Wajah' Clarisa berubah panik. Ia mengigit ujung-ujung jemarinya dengan wajah pias.
"Dan yang lebih konyol lagi, mereka akan menjual vaksin dengan harga mahal. Di mana hanya pada orang kaya yang sanggup membelinya." Mac menyelesaikan ucapannya penuh penekanan.
Beberapa saat Clarisa dan Mac tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing.
"Lalu apa yang bisa kita lakukan, Mac?" tanya Clarisa dengan wajah takut. Bayangan buruk semakin memenuhi benak gadis itu.
Mac menggeleng lembut. "Tidak ada, Clarisa. Kecuali kita tetap berada di dalam rumah," sahut Mac dengan wajah lesu. "Dan menghindar dari virus mematikan itu."
"Aku benar-benar tidak bisa membayangkan, apa yang ada dalam pikiran mereka, Mac!" ucap Clarisa menarik tubuhnya bersandar pada bangku dengan wajah kacau.
"Ada berita satu lagi yang ingin aku ceritakan padamu, Clarisa!" Kali ini wajah Mac terlihat begitu ragu.
"Katakanlah, aku siap untuk mendengarkannya."
Mac meremas rambutnya hingga sedikit berantakan. Wajahnya berubah kacau. Beberapa kali Mac menghela nafas panjang lalu menarik tubuhnya kembali ke dekat meja.
"Clarisa, kamu boleh percaya atau tidak. Ada sesuatu yang aneh dalam tubuhku," jelas Mac dengan wajah serius.
"Maksud kamu?" Clarisa menyipitkan netranya penasaran.
"Tiba-tiba aku memiliki kekuatan super. Kekuatan di atas manusia normal. Lebih seperti seekor tikus,"
"What? Tikus?" Clarisa membelalakan kedua matanya.
Mac mengangguk lembut. "Benar! Bahkan aku sendiri juga tidak tau bagaimana semua ini bisa terjadi. Aku, aku seperti manusia tikus yang memiliki sebuah kekuatan." Mac berusaha menyakinkan Clarisa yang masih tercengang.
"Bagaimana jika kamu meminta bantuan pada Rich. Aku rasa dia bisa memberikan kamu jawaban," usul Clarisa.
"Jawaban?" Mac mengeryitkan dahi menatap tidak mengerti dengan maksud Clarisa.
"Iya, jawaban apa yang sebenarnya terjadi pada dirimu, Mac. Lagi pula Rich kan juga temanmu. Aku yakin, pasti dia mau membantumu," imbuh Clarisa mempertegas sarannya pada Mac.
*****
Bersambung ....