BAB 1
"Mac apa yang terjadi?" Wanita bertubuh tambun dengan kulit putih itu berjalan menghampiri Mac dengan wajah panik.
Pria bertubuh tegap itu menjatuhkan tubuhnya pada bangku dengan wajah meringis menahan sakit pada beberapa bagian tubuhnya yang terluka.
"Tunggu! Ibu akan mengambil kamu obat!" Sesaat Nyonya Hana melihat keadaan Mac. Kemudian memutar tubuhnya untuk mengambil kotak obat-obatan.
"Siapa yang melakukan ini padamu, Mac?" tanya Nyonya Hana dengan wajah kesal. Satu tangannya membersikan luka pada lengan Mac.
"Aku tidak apa-apa, Bu! Ini hanyalah luka kecil," sahut Mac dengan wajah meringis kesakitan setiap kali Nyonya Hana menempelkan alkohol pada lukanya.
Nyonya Hana melirik kesal pada putranya. Kemudian menekan kuat kapas yang sudah dilumuri alkohol pada luka Mac.
"Ouh! Sakit Bu!" cetus Mac menarik pergelangan tangannya menjauh dari Nyonya Hana.
"Tadi, kepada kamu bilang tidak sakit?" cetus Nyonya Hana menarik paksa pergelangan tangan Mac yang terluka kembali.
"Maaf Bu!" lirih Mac menatap dalam pada Nyonya Hana.
"Aku tahu, pasti para preman di ujung gang itukan yang melakukan semua ini?" Nyonya Hana mendelikan matanya pada Mac.
"Sudahlah Bu! Lain kali aku akan pulang lebih awal agar tidak bertemu dengan baj*ngan itu," tutur Mac menyeka sudut bibirnya yang mengeluarkan darah segar dan masih terasa perih.
"Harusnya ada yang berani melawan preman seperti itu. Kalau perlu, jangan beri tempat untuk mereka berada di lingkungan sini!" desis Nyonya Hana merapikan kembali kotak obat yang berada di atas meja. Sekilas ia menatap kesal pada Mac sebelum ia beranjak.
"Jika saja Ibu masih muda, sudah ibu hajar itu para preman yang meresahkan!" gerutu Nyoya Hana berjalan menjauh dari Mac membawa kotak obatnya kembali.
Mac mendengus berat. Satu tangannya meraih tas yang berada pada bangku di sampingnya dan berjalan menuju lantai atas kamarnya.
Mac adalah seorang mahasiswa semester akhir di sebuah universitas di sebuah kota di negara Amerika. Ia hidup bersama Ibunya yang bernama Nyonya Hana. Beberapa tahun yang lalu Ayah Mac, Tuan Wilson meninggal karena sebuah kecelakaan. Kini hanya tinggal Mac lah yang menemani Nyonya Hana.
Mac melempar tas kerjanya ke atas meja yang dipenuhi buku-buku miliknya. Lelaki itu membenamkan tubuhnya di atas ranjang yang dipenuhi oleh beberapa helai baju miliknya yang berserakan. Perlahan lelaki beriris biru itu memejamkan kedua matanya yang terasa sudah begitu lengket sekali.
Derit suara tikus sudah menjadi hal biasa untuk Mac. Begitu juga dengan orang-orang yang tinggal di sekitar pemukiman kumuh itu.
Seekor tikus berjalan menghampiri Mac yang sudah terlelap. Hidungnya mengendus pada kaus kaki kotor yang masih Mac kenakan. Tikus besar itu terus berjalan hingga sampai di samping tangan kiri Mac dan tiba-tiba tikus itu mengigit ujung jari telunjuk Mac.
"Argh!!"
Mac berteriak dan terbangun. Mac mengibaskan ujung tangannya yang terasa sakit. Sesaat kemudian Mac melihat darah kental keluar dari ujung jemari Mac.
"Ah, sialan!" hardik Mac kesal mencari keberadaan binatang pengerat yang sudah mengigit jarinya.
Mac turun dari atas ranjang, mengedarkan pandangannya pada rajang tempatnya berbaring.
"Pasti ini ulahmu kan, tikus!" gerutu Mac menekan ujung jemarinya yang masih mengeluarkan darah segar.
"Bu, di mana ibu meletakkan kotak obatnya, tadi?" teriak Mac pada wanita yang sudah siap dengan baju piyama menuju kamarnya.
"Untuk apa, Mac?" tanya Nyonya Hana yang berdiri di depan pintu kamarnya.
"Tikus sial*n itu sudah mengigit ujung jariku, Bu. Menganggu tidurku saja!" omel Mac sekilas melirik pada Nyonya Hana dan ujung jarinya yang masih berdarah.
Nyonya Hana terkekeh, "Harusnya kamu mencuci tanganmu sebelum kamu tidur, Mac. Mungkin saja masih ada sisa makanan pada jari-jarimu itu!" ledek Nyonya Hana membuat Mac mendengus berat.
"Terserah Ibu saja!" cetus Mac kesal dan berlalu menuju lemari tempat Nyonya Hana menyimpan kotak obat.
****
Clarisa menatap lekat pada lelaki beriris biru yang duduk di sampingnya. Sedikitpun Mac tidak berkedip melihat gadis cantik yang masuk ke dalam kampus, gadis yang dijuluki ratu kampus.
"Mac!"
Lelaki dengan wajah tampan itu tergeragap saat Clarisa menepuk lembut bahunya.
"Iya!" ucap Mac menoleh pada Clarisa. Meskipun sesekali Mac masih memerhatikan Liliana masuk ke dalam kelas.
"Apakah kamu menyukai gadis cantik itu, Mac?" tanya Clarisa dengan tatapan menyelidik.
"Oh, dia, dia hanya temanku saja!" jawab Mac gugup seraya tersenyum kecil. Padahal Mac sama sekali tidak kenal dengan Liliana.
"Oh!" Clarisa membulatkan mulutnya membentuk huruf O dengan mengangguk lembut.
"Apakah kamu jadi pulang bersamaku?" seloroh Mac menatap pada Clarisa dengan senyuman.
"Tentu saja!" balas Clarisa tersenyum kecil.
Mac dan Clarisa tiba di depan sebuah gedung laboratorium yang cukup ternama di kota Houston. Tempat Mac bekerja satu tahun terakhir untuk menjadi seorang cleaning servis, tepatnya Mac bekerja paruh waktu di tempat itu.
"Kita berpisah di sini, Clarisa!" ucap Mac. "Aku harus bekerja demi menyeleksi kuliahku dan impian mendiang Ayah," imbuh Mac tersenyum.
"Aku tahu Mac dan aku selalu berdoa agar impianmu terwujud. Dan pasti mendiang Tuan Wilson akan bangga melihatmu di surga," imbuh Clarisa membalas senyuman Mac.
"Sudahlah jangan terlalu memujiku Clarisa. Aku yakin Tuan Pat dan Nyonya Pat juga bangga memiliki putri secantik dan sehebat dirimu!" balas Mac membuat pipi Clarisa bersemu merah.
"Sudahlah Mac, aku harus segera pulang!" ucap Clarisa setelah beberapa saat dengan nada manja. Lalu memutar tubuhnya berjalan menjauh dari Mac.
"Hati-hati Clarisa, jangan mampir kemana-mana!" ingat Mac seraya melambaikan tangannya pada Clarisa. Gadis muda penjual bunga itupun mengangguk lembut dengan ulasan senyuman.
Mac sudah berganti baju dengan pakaian office boy. Begitu juga dengan beberapa lelaki yang berkerja di kantor laboratorium itu. Sengaja Profesor Danil mempekerjakan para cleaning servis itu saat laboratorium sudah kosong. Menurut Profesor Danil, terlalu banyak orang membuatnya sulit sekali berkonsentrasi dalam bekerja.
Dua jam Mac sudah membersihkan beberapa ruangan yang berada di lantai atas. Hingga tiba ia harus membersihkan ruangan profesor Danil. Mac membawa ember dan juga pel yang akan ia gunakan untuk membersihkan ruangan pemilik laboratorium. Lelaki baik hati yang sudah memberikannya pekerjaan selama ini demi menyelesaikan kuliahnya.
Langkah Mac terhenti di depan pintu ruangan Profesor Danil yang sedikit terbuka. Seorang tamu terlihat masih berada di ruangan itu dan tidak mungkin Mac membersihkannya sekarang.
"Kapan virus itu akan disebar luaskan?" seloroh lelaki yang berada di hadapan Profesor Danil.
"Secepatnya, setelah aku yakin dengan vaksin yang aku buat!" Lelaki berkepala plontos itu membalas tatapan lelaki yang berada di depannya.
"Bagus sekali Danil, kita akan menjadi orang kaya raya di seluruh dunia. Semua orang akan tergantung dengan vaksin itu atau mereka akan mati, hahaha ...!"
"Tentu saja Tuan Donal!" balas Profesor Danil tertawa kemenangan.
Mac yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan Profesor Danil dan orang nomor satu di negeri adidaya itu pun terkejut dengan rencana mereka.
"Apa, mereka akan membunuh semua manusia demi kepentingan mereka!" lirih Mac dengan bibir bergetar dengan wajah ketakuatan.
"Siapa itu?" suara seseorang yang menggema di sepanjang lorong membuat Mac terkejut. Begitu juga dengan Tuan Donal dan Profesor Danil yang berada di dalam ruangan.
*****
Bersambung ....