Berjam-jam Aeden di ruang kerjanya. Ia menganalisa surat-surat dari Collins. Itu murni surat biasa tanpa ada bahan kimia atau lainnya.
"Ah, mataku sakit melihatnya." Aeden meletakan surat yang ia baca ke atas meja. Ia jenuh melihat surat-surat itu.
Ditinggalkannya surat itu. Ia keluar dari ruang kerjanya yang hanya bisa diakses oleh dirinya sendiri. Keamanan ruang kerja Aeden berlapis. Jika orang tak paham dia bisa masuk tanpa bisa keluar.
Awalnya Aeden ingin ke kamarnya untuk tidur, tapi ini baru jam 9. Akhirnya Aeden memutuskan untuk ke kamar Lova.
"Kemana dia?" Aeden menyusuri kamar Lova, ia tak menemukan keberadaan Lova. Kemudian ia mencari ke sekitar rumahnya. Ia masih tak menemukan keberadaan Lova.
"Awas saja kalau dia kabur. Aku hancurkan Jayden dan keluarganya!"
Tempat terakhir adalah kolam renang. Tapi, mana mungkin juga Lova berenang malam hari seperti ini.
Air kolam bergelombang.
"Ah, wanita ini sakit jiwa. Malam-malam berenang. Apa dia berniat menggodaku? Apa dia ingin mengulang kejadian siang tadi?" Aeden berpikiran macam-macam, "Tapi dingin. Tidak ah." Aeden akhirnya menggelengkan kepalanya.
Kepala Dealova muncul ke permukaan. Ia menyisir ke belakang rambutnya. Matanya menyipit kala melihat Aeden.
Apa dia sedang mengintipku? Ayolah Lova. Apa tidak ada pemikiran yang lebih berkelas? Ini rumahnya, dimana saja dia berada itu sah-sah saja.
"Cepat naik!" Titah Aeden.
Love menghela nafas, diakan baru berada di kolam renang selama 15 menit.
"Kau tuli?!"
Tak ingin mendengar bentakan dari Aeden lagi. Lova keluar dari kolam renang. Melihat bikini yang Lova pakai, Aeden geleng-geleng kepala.
"Kau ingin mengajak laki-laki lain ke kolam renang!"
"Apa maksudmu?"
"Pakaianmu itu! Kau mau menggoda pria lain?!"
Lova memutar bola matanya, "Apa aku harus telanjang?!"
"Kau!" Aeden menggeram.
"Apa yang salah denganmu malam ini?" Lova bertanya heran. "Berenang ya harus pakai pakaian seperti ini."
"Kau tidak boleh berenang lagi!"
"Baiklah. Kolam renang ini memang punyamu." Lova melangkah melewati Aeden.
Aeden benci diabaikan. Dia benci sekali. Ditariknya tangan Lova lalu mendorong tubuh Lova kasar hingga wanita itu terjun bebas ke kolam renang.
"Jalang sialan!" makinya kesal. Melihat Dealova tak keluar-keluar dari kolam renang, Aeden cemas. Dia segera masuk ke kolam renang.
Ketika Aeden masuk, Lova mengeluarkan kepalanya lalu tersenyum.
"Kau mengerjaiku!" Berang Aeden.
Lova tak peduli. Ia keluar dari kolam renang. Meraih bathrobenya lalu masuk ke rumah Aeden.
"Berhenti Dealova!"
Lova berhenti melangkah. Ia tak peduli dengan kemarahan Aeden.
"Berani sekali kau mengerjaiku!" Bentak Aeden. Kedua tangannya mengepal.
Lova hanya menatap Aeden datar, "Siapa yang mengerjaimu?" Tanya Lova tanpa dosa, "Memangnya aku menarikmu masuk ke kolam?"
"Kau!" Aeden menggeram. Biasanya disaat kesal seperti ini dia akan mencekik lawan bicaranya tapi karena ini Dealova tangannya tak bergerak, hanya mulutnya saja yang berkata kasar.
"Kau basah. Ganti pakaianmu atau kau akan sakit."
"Mau kemana lagi, kau!"
"Ke kamar, Aeden. Kau tidak boleh aku berenang, kan? Apa aku juga tidak boleh ke kamar?"
Aeden merasa kalau dia benar-benar jahat, "Pergilah ke kamar!"
Lova segera melangkah.
"Sialan!" Aeden memaki. "Kenapa dia tidak ada manisnya sama sekali."
Aeden frustasi, ia tak mengerti kenapa Lova tak tertarik padanya, "Apa dia suka sesama jenis?" Aeden menggelengkan kepalanya, "Tidak, dia menikmati sentuhanku."
"Ah, terserahlah." Ia malas berpikir lebih jauh. Aeden melangkah ke kamarnya, mengganti pakaiannya.
Cklek, ia membuka pintu kamar Dealova. Wanita itu tengah mengeringkan rambutnya. Dealova menyadari kedatangan Aeden tapi dia pura-pura tidak tahu. Ia masih sibuk dengan rambutnya dan alat di tangannya.
"Berhenti bersikap seolah kau tidak melihatku, Lova."
Lova memiringkan wajahnya, "Ah, ada kau rupanya."
Aeden gondok setengah mati. Ia mendekat dan melepaskan hairdryer dari tangan Lova.
"Jangan mengabaikanku! Aku benci diabaikan!"
Lova menghela nafas, "Siapa yang mengabaikanmu? Kita tidak dekat untuk saling abaikan. Kau dan aku hanya dekat ketika di atas ranjang, atau ketika benda yang menggantung di selangkanganmu itu butuh pelepasan. Kau paham maksudku, kan?"
Pada akhirnya Aeden mencengkram dagu Dealova juga, tapi tidak untuk mengatakan hal kasar melainkan melumat mulut Dealova.
"Keringkan rambutku." Dan hal absurd ini yang dia katakan ketika selesai melumat kasar bibir Lova.
Lova tahu Aeden ini suka menggila, jadi dia maklum saja, "Duduk jika kau ingin aku mengeringkan rambutmu."
"Aku tidak mau duduk." Aeden tak mau menuruti kata-kata Lova.
"Terserah kau sajalah." Lova meraih hairdryer, ia mulai mengeringkan rambut Aeden dengan sedikit kesusahan, pasalnya Aeden lebih tinggi darinya jadi dia harus mendongak.
Melihat Lova kesusahan, Aeden sedikit membungkuk, ia membiarkan Lova mengeringkan rambutnya.
Lova mendadak jadi aneh ketika matanya dan mata Aeden bertemu. Tak ada yang mereka katakan, hanya saling tatap hingga Lova tak bergerak.
Iris hijau Aeden menghipnotisnya. Terlihat seperti padang savana yang indah.
"Sudah?" Tanya Aeden.
Lova diam.
Aeden memiringikan wajahnya, ia mengecup pipi Lova, "Kau terhipnotis mataku, ya?" Ia menggoda Lova. Lihat, bagaimana mood Aeden bisa berubah secepat ini.
Lova tak menjawabi ucapan Aeden, dia mematikan hairdryer. Dan segera melangkah menuju ke sofa. Detik selanjutnya Aeden menyusul, pria itu berbaring, meletakan kepalanya di paha Lova.
"Pahaku bukan bantal."
"Memang bukan."
"Lalu kenapa berbaring disana. Minggir!"
"Aku tidak mau."
Aeden keras kepala, percuma bagi Lova mengeluarkan ketidaksukaannya, Aeden masih akan melakukan apa yang dia sukai saja.
"Film apa itu?"
"Kau banyak bicara sekali hari ini."
"Benarkah?"
Lova diam.
"Kau belum jawab pertanyaanku."
"Aku tidak tahu, Aeden. Aku baru saja menonton."
"Ah, apa yang kau tahu, Lova? Memuaskan masih kurang bisa, tentang film juga tidak tahu."
"Aku bisa merakit bom."
"Hah?"
"Aku bisa merakit bom untuk meledakanmu."
"Kau menakutkan." Dia bersuara ngeri lalu detik berikutnya dia tertawa, "Beri tahu aku jika kau sudah membuatnya. Aku ingin memeriksanya." Ia menganggap apa yang Lova katakan adalah lelucon.
"Seperti kau paham masalah bom saja."
"Aku paham. Meskipun yang pandai masalah bom adalah Zavier, tapi aku cukup pandai."
"Kau memang tidak pandai apapun. Aku heran kenapa kau bisa jadi mafia."
"Aku ini penembak jitu. Kami punya bagian masing-masing." Aeden memberitahu kemampuannya. "Kau mau aku tembak?"
"Siapa yang mau mati?"
"Tapi aku setiap hari menembakmu."
"Kau menusukku, bodoh!" Lova mengerti arah pembicaraan Aeden.
"Ah, aku memang ahli dalam tusuk menusuk." Aeden memiringkan tubuhnya, "Aku pikir tadi kau pergi."
"Mau pergi kemana? Kau akan menembakku jika aku pergi."
"Aku mungkin tidak akan menembakmu tapi aku akan menghancurkan Jayden dan keluargamu."
"Mereka bukan keluargaku." Lova menolak kalimat itu, "Sepertinya ide bagus aku pergi. Kau akan membunuh mereka. Ah, aku pikir Lovita tak akan kau bunuh. Kau tertarik pada wanita itu."
"Kau cemburu, ya?"
"Cemburu kepalamu!"
Aeden tertawa geli, "Cemburu juga tidak apa-apa. Tidak ada yang melarang kok."
"Terserah kau saja."
"Kau yakin tidak apa-apa aku membunuh keluargamu? Kau tidak akan balas dendam padaku?"
"Aku akan berterimakasih padamu. Sungguh."
"Kau ini benar-benar aneh."
"Akan aneh lagi jika aku balas dendam."
"Sebegitu bencinya, yah?"
Pembicaraan itu terus berlanjut. Tanpa Lova sadari dia terus menjawab pertanyaan dan kalimat yang Aeden lontarkan. Lova jarang bicara tapi kali ini dia bicara hingga berjam-jam.
"Ah, dia tidur." Lova akhirnya sadar Aeden tidur ketika suara pria itu tak terdengar lagi. Bagi Lova Aeden bukan musuhnya. Ia masuk ke situasi seperti ini karena ayahnya dan juga karena dia yang ingin memutuskan hubungannya dengan Jayden. Tak ada dendam ataupun masalah dengan Aeden, itu yang membuatnya tak ingin membunuh Aeden meski dia sanggup membunuh Aeden.