DUA BELAS

1293 Words
Tak ingin membuat masalah untuk diri sendiri, Benny cepat-cepat berpakaian dan keluar dari ruang pakaiannya. Dia pikir begitu tubuhnya tertutupi oleh kaus, bayangan tentang Dewi akan raib begitu saja. Tapi ternyata, banyak hal di dalam kamarnya yang seakan menyodorkan Dewi dan berbagai kenangan Benny bersama istrinya itu. Begitu Benny duduk di atas ranjang dan bersandar di headboard, di hadapannya terpampang foto pernikahannya dengan Dewi. Di bingkai itu, Benny tampak tak bisa melepaskan pandangan dari Dewi, sedangkan istrinya itu tertunduk malu-malu. Sebuah foto yang diambil secara candid oleh fotografer dan sukses menjadi salah satu favorit mereka. Karena itu Benny memutuskan untuk menggantung foto itu di kamar ini. Dewi yang tersipu, Dewi yang malu-malu, sempat menguasai pikiran Benny sejak mereka pertama bertemu di kantor. Benny suka sekali menggoda Dewi dan melihat wajahnya yang memerah akibat rayuan Benny. Setelah beberapa kali bertemu di kantor –ketika Dewi menjemput papanya– dan di beberapa pertemuan lain –ketika Dewi menemani papanya menghadiri undangan– Benny memberanikan diri untuk mengajak Dewi keluar. Dengan gugup, Benny menunggu di ruang tamu rumah keluarga Dewi. Sore itu, rumah tampak sepi. Benny pun hanya disambut oleh ART. Tak lama kemudian Dewi muncul menemui Benny. “Mau langsung pergi, Ben?” Akhirnya setelah beberapa kali meminta, menyindir, mengoreksi, Dewi mau memanggil Benny langsung dengan namanya, tanpa embel-embel “Bapak”. Ketika menengadah, Benny terpana melihat Dewi dengan pakaian kasual. Dia baru tahu celana jeans dan kemeja lengan pendek bisa membuat seorang perempuan tampak begitu menawan. Wangi samar menguar dari tubuh Dewi. Amat pas. Tidak berlebihan, tetapi cukup membuat Benny ingin terus dekat dengan Dewi. “Ben, kenapa? Kamu sakit?” tanya Dewi. Ah, mungkin Dewi bertanya begitu karena Benny hanya diam dan tidak kunjung menjawab pertanyaan Dewi. Dalam hatinya, Benny bersorak gembira mendengar perhatian dari Dewi. Rupanya perempuan itu khawatir pada dirinya. “Eng- enggak apa, Wi. Pak Budi ada? Mau pamit dulu,” ujar Benny sembari beranjak dari duduknya. Tangan kanannya terus mengusap celana, mencoba mengurangi rasa gugupnya. Dewi tersenyum manis. “Papa sama Mama lagi pergi, ada undangan. Mas Rama lagi sibuk persiapan pernikahan, kayaknya lagi di rumah kak Mita.” Benny mengangguk. “Kalau gitu kita langsung pergi aja?” Selama perjalanan, sambil menyetir Benny sesekali melirik ke arah Dewi. Perempuan itu hanya melihat ke depan, ke arah jalanan dan terus terdiam. Benny berdeham, meminta perhatian dari Dewi. “Mau ke mana, Wi? Kamu ada tempat kencan favorit?” Aduh, Benny ingin memaki mulutnya yang asal bicara! Rasanya dia baru menyiratkan bahwa Dewi adalah perempuan yang sudah sering berkencan. Padahal, menurut Pak Budi, papa Dewi, putrinya itu belum pernah pacaran. Benny menyiapkan hati seandainya Dewi marah atau tersinggung oleh perkataannya. “Memangnya kita lagi kencan?” tanya Dewi yang sekarang memandang Benny dengan tatapan heran. Kalau begini, Benny ingin sekali mencubit pipi Dewi. Gemas rasanya. “Kalau laki-laki mengajak perempuan keluar apa bukan kencan?” pancing Benny. Dewi mengedikkan bahu. “Teman ngajak jalan kan sudah biasa, Ben.” Benny berdeham lagi. Awalnya dia berencana mendekati Dewi perlahan. Tapi, perempuan ini tak cukup peka atau mungkin Dewi sedang menguji dirinya. Sepertinya Benny harus mengutarakan maksudnya dengan lebih jelas pada Dewi. “Tapi aku ngajak kamu pergi bukan mau jadi teman kamu.” Kali ini Benny tak berani menoleh atau melirik ke arah Dewi. Dia terus mengarahkan pandangan pada jalanan di depan. “Hah?” Dari sudut matanya, Benny bisa menangkap raut wajah kebingungan Dewi. Benny harus menahan geli yang akhirnya muncul sebagai senyum simpul di wajahnya. Dia ingin sekali menikmati Dewi yang salah tingkah, dengan pipinya yang memerah tersipu. Tapi, tidak sekarang. Tidak mungkin Benny bisa menikmati hal-hal yang menarik itu sambil mengemudi. Nanti. Nanti lebih baik. “Jadi, kita mau nonton atau mau makan? Atau mau dua-duanya?” Ah, ingatan kencan pertama mereka seakan diputar ulang di kepala Benny. Tawa Dewi yang lepas ingin Benny simpan dalam benaknya terus. Dewi yang ikut bersenandung ketika band menyanyikan lagu-lagu cinta di cafe itu. Mata jernih Dewi yang beberapa kali tertaut pandang dengan mata Benny. Dan tangan Dewi yang sempat Benny cium sebelum Dewi masuk ke dalam rumah. Benny sadar sejak saat itu, Dewi sudah menjadi penguasa hatinya. Memang Benny yang mengajari Dewi berciuman. Benny juga yang menuntun Dewi di malam pertama mereka. Benny yang lebih sering memimpin percintaan mereka. Dewi biasanya akan mengikuti, tanpa protes, dengan rona merah di pipinya. Mengusap wajahnya kasar, Benny lagi-lagi mendapati diri menjadi tawanan cinta Dewi. Setelah sekian lama menghindar dan mengabaikan Dewi, kemarin Benny bertekuk lutut di hadapan istrinya, lagi. Gaun tidur yang dikenakan Dewi sebenarnya tidak begitu terbuka. Namun, Benny tak bisa melepas pandangan dari istrinya yang tampak begitu cantik. Salahkan white wine yang membuat Benny mabuk kepayang, sekalipun dia hanya menghabiskan segelas saja. Salahkan lotion dari Jepang yang Dewi pakai. Salahkan cake stroberi yang Dewi suapkan untuk Benny. Semua seakan menjebak Benny dalam pelukan Dewi. Semua hal –yang bagi Benny biasa saja– itu terlihat dan terasa sangat istimewa. Membuat istrinya yang malu-malu itu sangat menggoda hati Benny dan membuatnya tidak bisa menolak untuk jatuh dalam pesona Dewi. Memikirkan semua ini membuat Benny lapar. Dia meraih gawai yang tadi dia letakkan di atas nakas samping tempat tidurnya. Setelah memeriksa pesan masuk, dia akan turun dan bergabung dengan Papi-Mami untuk makan malam. Ada dua pesan masuk. Dewi memberitahu bahwa dia sudah tiba di Bali dan segera menuju ke hotel tempatnya menginap. Benny dengan cepat dan singkat membalas pesan Dewi. Pesan lain dari Dinda. Sebuah foto Dinda yang mengenakan pakaian tidur menerawang berwarna ungu. “Suka?” Pesan satu kata itu membuat Benny menggeleng. Dinda sangat berbeda dari Dewi. Sekretarisnya itu sangat terbuka dan berani. Dia tak malu menggoda atau mengambil inisiatif lebih dulu; seperti yang dilakukannya sekarang dengan mengirim foto dirinya dengan pakaian kurang bahan yang melemahkan iman Benny. Kalau Dewi selembut salju, Dinda sepanas api. Mereka sangat bertolak belakang. Sekali lagi Benny menatap foto yang Dinda kirim. Entah apa yang merasuki pikirannya, dia jadi membayangkan apa jadinya bila Dewi yang mengenakan apa yang dipamerkan Dinda di foto itu. Bukankah Benny berpaling pada Dinda karena keterbukaan dan keberanian yang tidak dia dapati di diri Dewi? Mengapa sekarang Benny justru berharap Dewi yang mengirim foto itu padanya? Benny pasti sudah gila! Ya, pasti sudah gila. Karena detik berikutnya dia malah menelepon Dewi, bukannya Dinda. Setelah beberapa saat menunggu, Dewi mengangkat panggilan teleponnya. “Halo, Ben?” jawab Dewi dengan napas terengah. “Dari mana, Wi? Kok napasnya pendek-pendek?” tanya Benny penasaran. “Aku habis mandi. Barusan keringin badan pakai handuk waktu dengar ada telepon. Jadi aku lari keluar, takut ada yang penting. Kenapa, Ben?” Benny susah payah menelan ludahnya. Jadi Dewi lari dari kamar mandi untuk mengangkat teleponnya? Apakah istrinya itu sudah berpakaian? Atau hanya mengenakan handuk seperti kebiasaannya di rumah? Aduh, dia jadi membayangkan tubuh Dewi yang dia nikmati semalam. Setelah berdeham, Benny menjawab, “Enggak ada apa-apa, Wi. Cuma mau tanya kamu gimana di sana. Aku di rumah Papi-Mami sekarang.” “Oh.” Lalu keheningan nan canggung sempat mengisi ruang percakapan Benny dan Dewi. Benny tak tahu harus berkata apa lagi. “Kalau gitu, aku pakai baju dulu ya, Ben. Dingin juga. Kamu pasti mau makan ya? Biasanya Mami siapin makan malam jam segini.” Benar dugaan Benny. Dewi belum berganti pakaian dengan benar. Rasanya Benny ingin mengganti panggilan suara ini menjadi panggilan video. “Ben?” tanya Dewi lagi. “I- iya, Wi. Aku sebentar mau makan. Kamu juga jangan lupa makan.” “Hem. Sudah dulu ya, Ben.” Dengan terpaksa Benny mengakhiri telepon. Dia mengumpat diri sendiri. Mengapa bisa dia menelepon Dewi? Sekarang dia makin tak bisa mengenyahkan Dewi dari pikirannya. Benny beranjak, berniat keluar kamar dan makan malam dengan Papi dan Mami. Semoga pikirannya teralihkan. Kalau tidak, mungkin nanti dia harus menelepon Dinda.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD