Laki-laki yang duduk di dalam cafe itu sudah melambaikan tangan ketika tatapan mereka bertemu. Setelah merespons dengan anggukan, langkah Dewi semakin cepat mendekati Ryan yang sudah menunggunya.
“Gak delay, kan?” tanya Ryan begitu Dewi duduk.
Setelah menarik napas panjang untuk menormalkan detak jantung yang lebih cepat ketika setengah berlari tadi, Dewi menjawab, “Aman kok. Belum pesan, Yan?” Di meja belum ada makanan atau minuman. Hanya buku menu yang terbuka di hadapan Ryan.
“Tunggu kamu aja. Masih suka sup iga? Di sini iganya empuk banget,” saran Ryan yang matanya masih sibuk memindai buku menu.
Dewi manggut-manggut. Dia melihat Ryan yang sama perhatiannya, Ryan yang dulu pernah menghujani dirinya dengan segala bentuk kepedulian dan kehangatan.
“Sup iga sama jeruk hangat?” tanya Ryan yang kini sudah menatap lurus pada Dewi.
“Nasi setengah aja ya,” respons Dewi.
Ryan mengangguk lalu mengangkat tangan memanggil pelayan. Dia menyebutkan pesanan dengan lantang dan jelas. Dan setelah memesan dua porsi nasi, dia menoleh pada Dewi dan berkata, “Nanti nasinya kasih aku aja.”
Ketika pacaran dulu, Ryan hampir selalu mengambil inisiatif untuk memesankan makanan buat Dewi. Dia tahu persis apa yang Dewi sukai, apa yang tidak Dewi sukai. Ryan bahkan hafal menu-menu khusus yang selalu Dewi pesan di restoran atau cafe tertentu.
Kini Dewi menatap laki-laki itu bukan sebagai cowok ABG yang labil dan berusaha mencuri perhatian dari lawan jenis. Ryan yang duduk di hadapannya kini adalah laki-laki dewasa yang menunjukkan kepedulian yang tulus dan dewasa. Dia bersikap sopan dan bertindak layaknya seorang gentleman, memperlakukan Dewi dengan hormat tetapi lembut, santun tetapi hangat.
“Jadi, gimana?” Kini Ryan memberi seluruh fokusnya pada Dewi.
“Ya, gimana? Aku harus ngapain lagi?” tanya Dewi penasaran. Bukankah Ryan yang seharusnya memberi Dewi saran dan langkah berikutnya?
“How did you feel? Apa yang kamu rasain waktu itu?”
Untuk sejenak Dewi tak berani menatap Ryan. Dia mengarahkan pandang ke sebuah titik di kejauhan, membayangkan kembali malam di mana dia merasa kembali terhubung dengan Benny, saat di mana dia merasa tak terpisahkan dari suaminya itu.
Namun, benaknya sedang menyodorkan skenario yang lain. Bila memang Benny masih bisa begitu hangat pada dirinya, mengapa rasa itu cepat berubah dingin dalam semalam? Apa yang salah dari relasi mereka hingga ikatan itu terasa superfisial?
Dewi menghela napas, yang terdengar amat berat di telinganya sendiri.
“Jujur ya, Yan, aku merasa ….” Kalimat Dewi terhenti. Rasanya ada sesuatu yang membuat dia tak ingin mengucapkan kata itu, kata yang secara jujur mewakili perasaannya. Sekalipun tak terucap, rasa itu terus membuatnya merasa ragu untuk melanjutkan langkah. Dia berdeham, berharap dapat melancarkan jalan agar kata itu terucap. “Aku merasa seperti perempuan yang haus belaian. Mana mungkin aku begitu terlena dan menyerahkan diri begitu saja waktu hatiku masih terluka, waktu kepalaku masih bertanya-tanya apa yang sebetulnya terjadi dalam pernikahanku.”
Pandangan Dewi mulai buram. Sekuat tenaga dia menahan agar air matanya tidak terjatuh. “Aku merasa Benny cuma butuh tubuhku. Tapi dia tidak melihatku sebagai seorang pribadi yang utuh. Dia gak peduli dengan perasaanku, dengan pikiranku. Dia cuma … cuma menggunakanku.”
Ryan kini bersidekap dan menatap Dewi dengan pandangan yang melembut. Melihat Ryan sekarang saja sudah membuat Dewi merasa didengarkan dan dimengerti. Laki-laki itu mendesah tanpa melepaskan pandang dari Dewi.
“Aku enggak menyangkal bahwa ada sesuatu dalam pernikahan kalian, Wi. Entah apa itu. Aku enggak tahu. Kamu yang justru tahu jawaban dari semua tanya dan ragumu. Aku cuma bisa bantu kamu dari tempatku sekarang. Tapi, aku enggak bisa masuk terlalu jauh dalam hidup rumah tanggamu.”
Dewi mengambil selembar tisu dan mengusap lembut sudut matanya. “Aku tahu, Yan. Aku tahu kalau cepat atau lambat, kenyataan itu akan muncul. Tapi rasanya aku enggak siap untuk menghadapinya. Aku khawatir kalau ketakutanku sungguh terjadi. Hatiku masih berusaha menyangkal, tapi pikiranku sudah kasih peringatan; Benny bisa saja meninggalkan aku.”
“Kalau benar dia tinggalin kamu, it’s his lost, Wi. Walau mungkin dia enggak bilang, tapi aku yakin dia tahu seberapa berharganya kamu. Enggak usah takut, Wi. Kalau dia tinggalin kamu, ada antrean panjang daftar jadi suamimu. Aku yang terdepan.”
Dewi berdecak sinis, tetapi tidak bisa menahan senyum mendengar sanjungan dari Ryan. “Kamu tuh ya, sudah mau nikah masih aja godain perempuan lain. Gimana kalau calon istrimu dengar? Bisa-bisa aku dituduh jadi pelakor. Enggak pantas kamu ngomong gitu, Yan.”
Tidak ada emosi negatif yang ditunjukkan wajah laki-laki itu. Ryan tidak takut, marah, atau tersinggung mendengar teguran Dewi. Dia justru tertawa lepas. “Nanti coba kamu bilang lagi di depan dia lalu kita buktikan dia anggap kamu pelakor apa enggak.”
Sontak Dewi memelotot, memberi Ryan peringatan untuk tak melanjutkan pembicaraan ke arah itu. Dia masih tak habis pikir mengapa Ryan menganggap enteng hal-hal seperti ini. Dia seharusnya menunjukkan keseriusan untuk menyunting perempuan yang menjadi calon istrinya itu, dan bukannya menggoda perempuan lain.
Melihat reaksi Dewi itu, Ryan langsung mengangkat dua tangannya. “Iya, iya. Ampun, Bu Dewi. Saya gak berani sama nyonya besar Suryadjaja.”
Belum sempat Dewi memberi respons kepada Ryan, tiba-tiba seorang perempuan duduk di samping laki-laki dan bahkan mencium pipi Ryan. Dewi terkesiap hingga tak bisa bicara. Matanya kini tak bisa lepas dari perempuan itu.
Rambut panjang perempuan itu tertata amat apik; model beach wave dengan beberapa bagian yang diberi highlight abu-abu. Dewi yang awalnya terkejut karena warna highlight yang mencolok itu kini malah mengagumi tatanan rambut yang tak terlihat aneh dan justru membuat perempuan itu terlihat amat dinamis.
Mini dress biru yang dikenakan perempuan itu terlihat sederhana. Namun, Dewi mengingat melihat dress yang sama di butik mahal tempat Mami sering berbelanja. Wajahnya dipoles make up tipis, tetapi menonjolkan fitur terbaiknya. Anting-anting hoops yang diameternya hampir sebesar donat menggantung cantik di telinganya.
Dewi yang sudah cukup terkejut dengan kehadiran perempuan itu makin terkejut melihat reaksi Ryan. Walau awalnya laki-laki itu juga sama terkejutnya dengan Dewi, Ryan kini menatap perempuan itu dengan senyum lebar. Dan di hadapan Dewi, Ryan mengecup bibir perempuan itu.
“Hai, Sayang! Kok enggak kasih kabar?” tanya Ryan yang kini sudah melingkarkan tangan ke pinggang perempuan yang ada di sampingnya.
“Sekali-kali aku yang kasih kamu surprise dong.” Suara perempuan itu terdengar tegas dan tidak ada nada manja nan genit, sekalipun dia kini menyerahkan diri dalam pelukan Ryan.
Sekali lagi Ryan mengecup bibir perempuan itu. “Aku belum sempat pesan makanan buat kamu. Tadi minta kamu kasih kabar supaya aku bisa pesenin duluan. Kamu pasti laper kan?”
Mereka saling menatap hangat, seakan sedang berada di ruang privat dan tidak ada orang lain di sekitar mereka. Padahal Dewi masih duduk mematung di hadapan mereka. Untuk sekian waktu, Dewi merasa iri melihat interaksi Ryan dan perempuan, yang Dewi tebak adalah calon istri Ryan. Tetapi rasa iri itu dikalahkan dengan rasa canggung berada di hadapan sejoli yang tak sungkan mengekspresikan rindu dan cinta itu.
“Ehem!” Dewi berdeham keras, lalu cepat-cepat meraih gelas minumannya untuk menyamarkan kode yang dia lemparkan kepada sejoli di hadapannya.
“Ini pasti Kak Dewi! Kak Ryan sering cerita soal Kakak. Aku Melissa. Senang akhirnya bisa ketemu Kakak,” kata perempuan itu sembari mengulurkan tangan kepada Dewi.
Wajah Dewi dihiasi senyuman ketika dia menjabat tangan Melissa. Namun, kepalanya sedang sibuk memikirkan kira-kira apa saja yang sudah Ryan ceritakan kepada perempuan ini.
“Hopefully yang dia ceritain bukan hal-hal jelek tentang aku ya,” kata Dewi sembari melirik ke arah Ryan.
Melissa tertawa kecil, lalu menjawab, “Enggak kok, Kak. Aku tahu Kak Dewi pasti hebat dan keren banget sampe bisa tahan jadi pacar Kak Ryan selama SMA.”