Bersamaan dengan suara deru yang terdengar samar dari landasan pacu, Dewi menatap ke kejauhan. Ryan menyuarakan apa yang beberapa waktu ini membebani hati Dewi. Sejak Benny berubah dingin, Dewi selalu bertanya-tanya adakah sesuatu yang dia lakukan yang membuat Benny bersikap begitu. Terkadang Dewi harus berpikir dua kali, tiga kali, sepuluh kali sebelum menyampaikan sesuatu pada Benny, khawatir membuat suaminya tersinggung atau marah.
Benny berubah dingin. Dewi berubah sangat hati-hati. Dia seperti berjalan di sebuah jembatan yang kayunya lapuk dan keropos dimakan rayap. Dia sangat ingin menyeberang dan menemukan Benny, sang kekasih hatinya. Tetapi ada risiko besar yang harus dia pikul. Salah melangkah, Dewi bisa terluka atau jatuh dalam jurang tak berdasar di bawah sana.
“Wi, aku serius. Kamu enggak boleh menyalahkan diri sendiri. Benar ada yang salah dengan pernikahan kalian. Tetapi pernikahan itu perkara dua orang, Wi. Pernikahan melibatkan dua pihak. Enggak benar kalau beban itu ditimpakan ke salah satu aja.”
Perkataan Ryan dan tepukan lembut tangan laki-laki itu di bahu Dewi, membuatnya tak bisa lagi menahan air mata. Di hadapan Ryan, Dewi mengaku tak berdaya. Dia meluapkan putus asa yang selama ini menghantui dirinya. Dewi menunjukkan semua lukanya yang belum sembuh, yang belum sempat terobati.
Selama beberapa saat Dewi menangis tanpa henti. Ryan juga tidak berusaha menghentikan tangisnya. Napas Dewi tersengal karena pedih yang dia tumpahkan. Di sudut hatinya ada rasa lega. Untung saja dia memilih tempat duduk yang membelakangi kebanyakan orang di bandara ini. Posisi mereka tak begitu menarik perhatian orang-orang yang lalu-lalang.
Setelah Dewi sedikit tenang, baru Ryan menyodorkan tisu. “Hapus dulu air mata sama ingusmu. Sedih boleh, jorok jangan.”
Dewi tertawa dan berderai air mata dalam waktu yang sama. “Kamu tuh ya, selalu enggak tahu waktu kalau mau bercanda.”
Ryan terkekeh. “Buktinya kamu langsung senyum gitu.”
Sambil mengusap air mata, Dewi mengambil gawai untuk memastikan riasan wajahnya tidak acak adul. Benar dugaannya, maskaranya sedikit luntur. Tetapi Dewi masih bisa menanganinya. Perlahan dia membersihkan corengan hitam yang ada di sekitar matanya.
Memang tidak ada yang mengalahkan kekuatan air mata. Maskara waterproof pun tidak. Air mata yang tertumpah itu manjur membuat hati Dewi sedikit lebih ringan.
“Jadi, gimana? Kita lanjut?”
“Maksudnya?” Dewi masih membersihkan wajah dengan tisu di tangannya.
“Percobaan pertama berhasil kan?” tanya Ryan yang terus memandangi Dewi. Laki-laki itu terus terdiam, seakan menanti jawaban Dewi.
Dewi hanya mengangguk mengiyakan. Lagi-lagi pipinya terasa hangat, mengingat kehangatan yang Benny berikan semalam.
“Kita lanjut terus dong. Tujuan kita kan membuat Benny menyadari betapa bodohnya dia.”
“Ryan, ih! Jangan kasar gitu lah,” tegur Dewi, menepuk lengan Ryan.
“Lah kan bener? Enggak ada angin, enggak ada hujan, eh, dia berubah jadi patung es. Istri dianggurin, dicuekin. Kalau dia enggak mau buka mulut apa penyebab semua kekacauan rumah tangga kalian, paling enggak dia kudu menyesal sudah menyakiti kamu, Wi.”
“Aku enggak niat balas dendam kok, Yan.”
“Aku ngerti, Wi. Maksudku juga bukan niat menyiksa Om suamimu itu. Balas dendam seorang Dewi Anjani bukan balas menyakiti. Tapi, dengan cara yang anggun dan elegan, kamu buat Benny enggak bisa lepas dari kamu. Sang dewi akan rebut kendali.”
Pengumuman yang mengudara seketika membuat Dewi menegakkan posisi duduk.
“Yan, aku sudah harus boarding nih.”
“Kamu ke Bali? Kapan balik?” Ryan ikut berdiri melihat Dewi yang sudah lebih dahulu beranjak dari duduk dan sedikit merapikan bajunya.
Dewi mengangguk. “Lusa sudah balik.”
“Lah, sama dong. Aku ke Surabaya, balik lusa juga. ETA?”
“Jam 2 siang. Kamu, Yan?”
Ryan kini berjalan bersisian dengan Dewi menuju gate yang dituju perempuan itu. “Aku lebih awal dikit, jam 1 sudah landing. Kalau gitu, aku tunggu kamu. Kita makan siang bareng, sambil diskusi langkah berikutnya. Gimana?”
“Deal,” jawab Dewi dengan senyum mengembang. Langkah mereka terhenti di barisan penumpang yang hendak memasuki pesawat. “Lusa jam 2 kita ketemu di sini ya. Lunch on me, okay? No debate! Harus aku yang traktir kamu.”
Mendengar ultimatum Dewi, Ryan hanya bisa terkekeh. Hanya ada satu orang yang memisahkan mereka dari petugas bandara yang memeriksa tiket. Ryan masih berdiri di sisi Dewi ketika mereka melangkah maju dan petugas memeriksa boarding pass dan kartu identitas Dewi.
“Aku jalan dulu, Yan.” Dewi melangkah sambil melambaikan tangan pada Ryan.
Laki-laki itu melangkah ke samping dan berdiri di balik pembatas, tak ingin menutup akses penumpang lain. Dia balas melambai, lalu kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Perlahan menatap Dewi yang menjauh dan meninggalkannya.
–
Mobil yang dikendarai Benny memasuki gerbang rumah kedua orang tuanya. Setelah mengantar Dewi ke bandara, Benny yang tak punya tujuan memutuskan untuk menemui Papi dan Mami. Benny melambai dan mengucap terima kasih pada Pak Tikno, petugas keamanan yang sudah puluhan tahun bekerja untuk keluarga mereka.
Setelah memarkir mobil, Benny turun dan melangkah santai menuju pintu utama. Seorang pelayan sudah membukakan pintu dan menyilakan dia masuk. “Bapak dan Ibu ada di taman belakang, Mas,” info pelayan itu.
Benny mengangguk dan menuju bagian belakang rumah. Dari balik kaca, dia melihat punggung Papi dan Mami yang sedang duduk santai di tepi kolam renang.
“Pi, Mi,” sapa Benny yang membuat kedua orang tuanya menoleh.
Mami langsung berdiri dan memeluknya. “Ben, tumben ke sini sore-sore? Mana Dewi?” Mami menatap ke dalam rumah, mencari sosok menantunya.
“Benny baru antar Dewi ke bandara. Ada pekerjaan mendadak ke Bali.”
“Pekerjaan mendadak di Minggu malam?” tanya Papi heran. Laki-laki paruh baya itu menghela napas. “Papi tahu kalian sedang kerja keras untuk memajukan perusahaan. Tapi, apa enggak terlalu berlebihan menyuruh Dewi pergi terus-menerus, Ben?”
Mami berdecak sebal ke arah Papi. “Kenapa Papi harus salahin Benny sih? Bisa saja kan Dewi yang maksa mau berangkat Minggu begini supaya bisa liburan tipis-tipis di sela kerja?” Perempuan itu lantas menggamit lengan putranya dan menuntun Benny duduk di kursi kosong yang berada di samping tempatnya duduk tadi. “Duduk sini, Ben. Pas banget Mami habis bikin bolu kesukaan kamu.”
Benny tersenyum kecut. Dia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya di hadapan Papi dan Mami. Perkataan Papi ada benarnya. Benny sempat merasa bersalah melihat jadwal Dewi yang harus bepergian ke banyak tempat demi pekerjaan. Demi penambahan profit, Dewi harus menerima banyak pengerjaan interior.
Tetapi, Benny juga tak sampai hati harus mengoreksi perkataan Mami. Jangankan untuk liburan, Benny tahu Dewi sering melewatkan jam makan demi pekerjaan. Bahkan ketika pergi ke berbagai tempat, Dewi sangat terfokus pada pekerjaan. Di sisi lain, dia juga tak ingin mengakui betapa seriusnya Dewi dalam pekerjaan. Ada rasa takut tersaingi yang terus muncul setiap kali orang membicarakan tentang kinerja Dewi.
“Kamu nginap di sini aja malam ini, Ben,” usul Mami.
Dengan mengangguk, Benny menjawab, “Boleh, Mi. Benny masuk dulu ya, mau mandi sebentar.” Tak menunggu respons Papi dan Mami, Benny melangkah lebar menuju kamar miliknya. Tak banyak perubahan dari kamarnya sejak bujang dulu ini. Mami menambahkan beberapa kebutuhan untuk Dewi, sehingga kamar ini bisa digunakan ketika mereka datang dan menginap.
Tak butuh lama untuk Benny membasuh dirinya. Dengan handuk yang melilit di sekitar pinggangnya, Benny melangkah menuju ruang pakaiannya. Tak sengaja, dia melihat bayangan dirinya di cermin yang berukuran setinggi tubuhnya yang diletakkan di sana. Ada beberapa tanda kemerahan di sekitar bahunya.
Benny langsung teringat pada keintimannya dengan Dewi semalam. Aroma tubuh Dewi yang selalu memabukkan Benny. Jejak white wine yang tersisa di bibir Dewi yang dilumatnya habis. Sekeras apa pun Benny berusaha, dia tak dapat melepaskan diri dari pesona istrinya itu.