LIMA

1554 Words
“Wi, cepat dikit. Jangan sampai telat,” ujar Benny yang sedang memasang dasi di hadapan cermin. Dia tak sedikit pun menoleh kepada Dewi yang baru keluar dari kamar mandi. “Kalau kamu infonya enggak mepet begini, aku bisa siap-siap dari tadi, Ben,” sahut Dewi tak terima dengan desakan Benny. Dewi masih memasak sarapan untuk mereka ketika Benny mengomel dan menyuruhnya segera mandi. Mereka harus menemui pimpinan pengembang real estate yang proyeknya sedang ditangani Benny. Dewii tahu betapa pentingnya proyek ini bagi suaminya. Dia juga paham proyek inilah yang menyita perhatian Benny hingga laki-laki itu lembur berhari-hari dan bahkan memilih tidur di sofa bed kamar kerjanya. Entah mengapa, hatinya tetap jengkel melihat sikap Benny yang asal main perintah. Rasanya tidak enak saja disalahkan dan dianggap pihak yang menghalangi pekerjaan suaminya. Tidakkah Benny tahu bahwa selama ini Dewi mengorbankan banyak hal untuk menolong suaminya itu? Dewi rela meninggalkan pekerjaan freelance-nya untuk bergabung dengan perusahaan keluarga Benny. Sebenarnya, tanpa bergabung dengan Suryadjaja Konstruksi saja, Dewi sudah punya banyak pelanggan yang menyukai karya desainnya. Dewi juga sangat menyukai pekerjaannya dengan berbagai batasan yang sudah dia buat. Dia hanya perlu menggambar, mendesain ruangan sesuai keinginan klien; sesuatu yang memang sangat dia sukai dari dulu. Dia tak perlu turun tangan mengerjakan proyek desain itu, klien harus mengatur sendiri vendor yang akan mengerjakan dan mewujudkan desain Dewi. Dan di akhir, Dewi hanya perlu datang untuk berdiskusi dengan klien dan vendor untuk memeriksa hasil pembangunan dan renovasi. Dewi suka menggambar, tetapi dia kurang suka turun ke proyek dan harus mengawasi proses pembangunan atau renovasi. Untungnya, klien yang mengggunakan jasanya tidak keberatan dengan hal itu. Nama Dewi sudah cukup dikenal, dia bisa memilih mengerjakan hal yang dia sukai, dan dia dibayar dengan pantas untuk jasanya. Apa lagi yang dia cari? Ketika Benny mengutarakan ide untuk membuka divisi interior di perusahaan, Dewi ingin sekali menolak. Tetapi, dia tidak bisa tinggal diam melihat Benny berjuang mati-matian untuk memajukan perusahaan yang dibangun oleh Papi. Melewati berbagai proses dan pertimbangan, akhirnya Dewi dengan sukarela dan senang hati bergabung di perusahaan Papi. Banyak yang mengira Dewi akhirnya bergabung karena Papi membujuknya dan Papa menyuruhnya untuk bergabung. Namun, sebenarnya, Dewi sudah lebih dulu memutuskan untuk bergabung sebelum ayah dan ayah mertuanya itu mengajaknya bicara. Ya, Papa Dewi memang adalah karyawan di Suryadjaja; beliau salah satu orang kepercayaan Papi. Suryadjaja Konstruksi juga punya andil dalam kehidupan cinta Dewi dan Benny. Masih segar di ingatan Dewi, hari itu dia harus menjemput Papa di kantor beliau. Siang itu, Dewi harus menemui klien di tempat yang cukup jauh. Untungnya Papa mengizinkan Dewi menggunakan mobil beliau, dengan syarat Dewi harus mengantarkan dan menjemput beliau. Dewi tiba di kantor Papa satu jam sebelum waktu kerja berakhir. Ketimbang menunggu di mobil, Dewi memutuskan untuk duduk di area lobi. Dia sengaja tidak memberi tahu Papa, tak ingin mengganggu pekerjaan dan fokus beliau. Dewi juga merasa nyaman menunggu di lobi yang sejuk dan tenang ini. Dia mengeluarkan pensil dan buku sketsa yang selalu ada di dalam tasnya. Mas Rama, kakak laki-laki Dewi, memintanya untuk membuatkan desain untuk renovasi rumah yang akan dia tempati setelah menikah nanti. Rumah yang baru Mas Rama beli tidak terlalu besar, tetapi ada taman di tengah rumah yang mengizinkan cahaya matahari masuk dan menerangi ruangan di dalam rumah. Setelah Mas Rama mengajaknya melihat sendiri kondisi rumah, ada banyak ide dan bayangan yang menari-nari di kepala Dewi. Dia perlu menuliskan dan menggambarnya agar ide itu tak raib begitu saja. Begitu pensil di tangannya bersentuhan dengan kertas, Dewi seperti berkencan dengan buku sketsa dan ide-idenya itu. Dia begitu fokus hingga tak memperhatikan sekitarnya. “Dewi,” panggil seseorang bersamaan dengan tepukan mendarat di bahu Dewi. Terkejut, pensil di tangan Dewi terlepas. Dia menengadah dan menemukan Papa sudah berdiri di hadapannya. “Eh, Pa. Udah waktu pulang? Masih ada satu jam loh,” ujar Dewi sembari berdiri. Matanya melirik hendak mencari keberadaan pensil yang tadi terjatuh. Papa tergelak. “Kamu udah satu jam di sini? Ini sudah jam pulang kerja, Wi. Malah udah lebih.” Dewi melihat jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya. “Loh, udah hampir setengah enam?” Dia menatap Papa yang sekarang tersenyum geli. “Ya maaf, Pa, kalo ide lancar begini waktu kayak lari, gak berasa.” Papa memeluk bahu Dewi. “Yuk, kita pulang.” Dewi tersenyum dan mengangguk. Dia kemudian menunduk untuk mengambil tas yang tadi diletakkan di atas sofa. Tangannya sibuk memasukkan barang ke dalam tas, sementara matanya masih mencari keberadaan pensil yang tadi terlepas dari tangannya. “Cari ini?” suara bariton yang hangat bertanya dan pensil itu sudah disodorkan di depan mata Dewi. Sekejap, napas Dewi tertahan. Senyum itu begitu menawan. Rasanya hati Dewi meleleh mendengar suara yang hangat. Mungkin pelukannya lebih hangat lagi. Dewi menggelengkan kepala cepat. Apa sih yang dia pikirkan? Rasanya dia terlalu lapar hingga pikirannya melantur. “Pak Benny,” sapa Papa kepada laki-laki itu. “Belum pulang, Pak?” Laki-laki itu menyodorkan kembali pensil Dewi yang ada di tangannya. Dewi menerimanya dan menggumamkan, “Terima kasih.” Dia tak berani lama-lama menatap laki-laki itu, khawatir pikirannya lari ke arah yang tak seharusnya. “Saya baru kembali dari ketemu klien. Niatnya mau langsung pulang, tapi ingat laptop di kantor belum saya bereskan.” Laki-laki itu menjawab dengan sopan. Kedua tangannya disimpannya dalam saku celana. “Oh, kenalkan. Ini Dewi, putri saya. Wi, ini Pak Benny, putranya Pak Budi Suryadjaja. Sekarang Pak Benny yang menggantikan papanya memimpin perusahaan.” Laki-laki itu sudah lebih dulu mengulurkan tangan pada Dewi. Demi kesopanan, Dewi menjabat tangan itu. Oh, jabat tangannya bukan asal tempel. Dewi tak suka dengan orang yang terkesan malas berjabat tangan dan sekadar menempelkan telapak tangan saja. Bagi Dewi, berjabat tangan melibatkan genggaman yang cukup mantap tapi juga bukan meremas kasar. Persis seperti yang dilakukan Benny saat ini. Dewi bisa merasakan telapak tangan Benny yang sedikit kasar, tetapi hangat. “Dewi, Pak. Terima kasih tadi dibantu menemukan pensil saya.” “Benny. Jangan panggil bapak, saya mungkin hanya beberapa tahun lebih tua dari kamu.” Laki-laki itu kemudian menarik tangannya dengan sopan. “Jangan, Pak. Kan Pak Benny atasan Papa di kantor. Enggak sopan kalau saya panggil nama,” balas Dewi sopan sambil melirik ke arah Papa yang berdiri di sampingnya. “Tapi kalau di luar kantor panggil nama, sopan-sopan aja kan?” Dewi sekali lagi melirik ke arah Papa. Tangannya mencolek tangan Papa, memberi tanda untuk segera mengakhiri pembicaraan yang terasa canggung ini. “Pak Benny ada acara setelah ini?” Dewi hampir saja memelotot mendengar kalimat Papa yang terdengar ambigu itu. Entah apa maksud Papa menanyakan hal itu. “Mungkin saya mau lanjut kerja sebentar, Pak Budi. Sambil menunggu jalanan agak terurai macetnya.” Dewi bergantian memandangi dua laki-laki yang berada di dekatnya itu. Papa tersenyum simpul, entah apa yang dipikirkan beliau. Sedangkan Pak Benny beberapa kali bertemu pandang dengan dirinya. Dewi selalu memutus kontak mata itu lebih dulu. Dia perlu menenangkan jantung yang sedang menari disko dalam dadanya. “Kami mau makan malam. Istri dan anak sulung saya sudah menunggu di resto dekat sini. Pak Benny mau bergabung?” Dewi hampir tersedak air liurnya sendiri ketika mendengar undangan Papa untuk Pak Benny. Dia tak tahu mereka ada janji makan malam bersama Mama dan Mas Rama di resto. Dan dia kaget setengah mati mendengar Papa mengajak Pak Benny di makan malam keluarga. “Wah, suatu kehormatan buat saya, Pak Budi. Tapi, apakah Dewi keberatan kalau saya bergabung?” Laki-laki menatap Dewi lekat. Rasanya Dewi ingin segera kabur saja. “Tentu Dewi enggak keberatan. Apa saya sudah cerita kalau Dewi ini desainer interior? Dewi perlu dapat wawasan dari Pak Benny yang sudah punya banyak pengalaman di dunia konstruksi.” Tangan Papa memeluk bahu Dewi dan menepuk lengan Dewi. Rasanya Dewi ingin sekali bersembunyi di balik badan Papa. Entah mengapa dia merasa sangat malu dan pipinya terasa sangat panas. Pak Benny tertawa lepas lalu menjawab, “Saya mau sekali ngobrol lebih lama dengan Dewi.” Dan sekilas Dewi melihat laki-laki itu mengerling padanya. Dewi menghela napas panjang dan berat. Benny yang dulu pertama kali ditemuinya adalah pribadi yang hangat dan menawan. Dia tak sungkan menyatakan ketertarikannya pada Dewi. Benny tak segan mengekspresikan maksud hatinya. Benny yang sekarang, yang duduk di belakang kemudi tepat di samping Dewi, adalah pribadi yang sama sekali berbeda. Tak ada lagi kehangatan dan tatapan memuja dari mata pria itu. Benny tak lagi menanyakan apakah Dewi nyaman atau keberatan dengan keputusannya. Benny yang sekarang akan memberi perintah dan tak menerima pertanyaan atau penolakan. Suaminya mendadak malas bicara. Sekalinya membuka mulut, yang terucap adalah kata-kata yang menyakitkan bagi Dewi. Laki-laki itu mengumpat ketika sebuah sepeda motor memotong jalan mereka. Dia memijat pelipisnya sembari tetap berfokus pada jalanan. “Nanti kamu jangan bikin malu ya, Wi. Proyek ini harus segera jalan. Kalau proyek ini macet, aku sudah nggak tahu perusahaan bakal jadi apa.” Benny memberi peringatan dengan suara tajam. “Aku enggak tahu apa-apa soal proyek ini, Ben. Mestinya kamu pergi sendiri a–” “Aku juga gak pengen kamu ikut, Wi,” potong Benny frustrasi. “Ini permintaan Pak Akbar. Dia mau istriku hadir di meeting pagi ini. Jadi, tolong, kamu bersikaplah sebagai istri yang mendukung aku, supaya kita enggak mengalami kerugian yang lebih besar.” Mata Dewi terasa panas. Kapan dia tak mendukung Benny? Apakah yang dia lakukan selama ini tidak cukup menunjukkan keyakinannya pada suaminya sendiri?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD