EMPAT

1545 Words
“Ben, tolongin dong,” pinta Dewi yang berada di bagian belakang mobil dengan pintu bagasi yang terbuka. Mendengar itu, Benny yang sedang duduk di belakang kemudi mobil sedan mewah itu mendengus kesal. Laki-laki itu membuka sabuk pengaman kasar, membuka pintu, dan beranjak menuju bagian belakang mobilnya. “Manja amat sih, Wi. Koper enteng begini,” sungut Benny sambil setengah melemparkan koper Dewi ke bagasi mobilnya. Dia menutup pintu bagasi dengan keras, tidak mempedulikan reaksi Dewi yang berdiri di sampingnya. Benny segera kembali ke belakang kemudi dan menutup pintu dengan segenap tenaga untuk melampiaskan kekesalannya. Melihat Dewi yang tidak juga masuk ke dalam mobil, dia membuka jendela di sisi penumpang dan setengah berteriak, “Cepetan, Wi. Kamu nih niat pulang atau mau nginap di bandara sih?” Tak menoleh sama sekali, Benny menunggu beberapa detik sebelum mendengar pintu mobil terbuka dan merasakan gerakan Dewi yang duduk di kursi penumpang. Dia menekan pedal gas bersamaan dengan suara pintu ditutup. “Ben, jangan gitu dong. Bahaya. Aku belum tutup pintunya.” Ada getar di suara Dewi. Hening yang mengikuti membuat suasana di dalam mobil cukup mencekam. Ketika mobil melaju meninggalkan bandara, terdengar suara klik dari sabuk pengaman yang dipasang. Benny diam seribu bahasa. Waktunya terbuang karena menunggu pesawat Dewi yang ternyata mendarat lebih lama daripada yang diperkirakan. Belum lagi, ketika Dewi menelepon untuk mengabari telah tiba di dalam terminal, istrinya itu juga mengeluh bagasinya belum tampak di conveyor belt. Jika saja dia tahu, Benny akan memutuskan untuk tetap berada di kantor atau mengantarkan Dinda pulang terlebih dahulu. Setelah meeting yang begitu lama dan intens dengan pemilik perumahan, Benny butuh hiburan, bukan menunggu Dewi begitu lama tanpa kabar. Belum lagi, sebelum pulang tadi, Benny tak sengaja berpapasan dengan papa mertuanya di tempat parkir. “Mau jemput Dewi, Ben?” “Iya, Pa. Hari ini Dewi balik dari Bali.” Papa menepuk bahu Benny dan berkata, “Benny, Papa tahu perusahaan sedang sulit. Papa juga mengerti kalau Dewi diharapkan bisa berkontribusi untuk mengatasi masalah yang ada. Papa tidak keberatan Dewi harus bekerja keras. Tapi, Papa berharap Benny tetap bisa memperhatikan kesehatan Dewi. Perusahaan bisa digantikan, posisi Dewi di sini juga bisa digantikan oleh orang lain. Tetapi, kamu hanya punya satu istri dan Dewi hanya punya satu suami.” Hati Benny sedikit tak nyaman mendengar petuah mertuanya. Dia yakin mertuanya memahami posisi dan kondisi perusahaan saat ini. Bukannya meminta Dewi mendukung Benny, beliau malah meminta Benny memperhatikan Dewi. Dia hanya terdiam menatap mertuanya. Tak ingin membuka mulut karena dia tahu kata-kata yang akan terucap bukanlah hal yang akan manis didengar. Tangan Benny mengepal kuat, menahan amarah agar tak meledak. “Sudah, Papa enggak akan menahan kamu lagi. Hati-hati nyetirnya. Dewi pasti capek dan pengen segera dijemput supaya bisa pulang dan istirahat.” Untung saja mertuanya itu segera melangkah menuju mobilnya sendiri setelah mengatakan hal itu. Kalau tidak, mungkin Benny akan meledak. Apakah Dewi mengeluh pada papanya hingga laki-laki paruh baya itu menegur Benny demikian? Mana yang lebih lelah: meeting berjam-jam di kantor yang letaknya di tengah padatnya ibu kota atau bekerja di vila yang berada di pulau Dewata? Dewi mungkin bersenang-senang di sana, sedangkan Benny bersusah-susah di kantor. Benny harus menunggu lama sembari menahan lapar. Dia makin jengkel karena Dewi pun sepertinya tidak peka dan tidak cukup membantu membuat suasana lebih baik. “Ben, kamu udah makan? Mau mampir makan dulu?” Tetap berfokus pada jalanan di depan, Benny menghela napas panjang. “Wi, aku capek seharian di kantor, full meeting hari ini. Aku cuma pengen tidur.” “Oh,” respons Dewi lirih. Sebenarnya perut Benny terasa tak nyaman. Dia hanya sempat makan sedikit siang tadi. Tapi, rasa tak nyaman berada dekat Dewi mengalahkan rasa laparnya. Sejak Dewi terus dielukan oleh Papi dan banyak petinggi perusahaan, Benny perlahan menjaga jarak dan menarik diri dari istrinya. Di saat Dewi menikmati pujian dan sorotan, Benny harus berkutat dengan masalah dan kesulitan perusahaan. Benny berharap Dewi bisa memahami kondisinya dan tak selalu mencari podium untuk dirinya. Apa pun yang terjadi, Benny adalah kepala keluarga. Dia yang seharusnya mendapat perhatian lebih dan diberi penghargaan lebih atas segala jerih lelahnya. Dewi seharusnya lebih tahu diri dan bisa menempatkan diri sebagai seorang istri, pendamping dari suaminya. “Apa aku boleh beli makanan dulu, Ben? Drive thru cepat saji di depan saja, biar kamu bisa cepat istirahat di rumah,” pinta Dewi seiring dengan munculnya logo restoran cepat saji di ujung jalan. “Kamu mau sakit makan barang cepat saji terus? Di rumah aja lah, Wi. Kamu masak sendiri sana. Minggu lalu kamu baru belanja bulanan juga.” Benny sengaja memacu kendaraan dan melewati restoran cepat saji itu dengan kecepatan yang lebih tinggi. Semakin cepat dia sampai di rumah, semakin cepat dia bisa menikmati waktu sendiri, terbebas dari Dewi. – Dewi termangu melihat Benny yang langsung masuk ke dalam rumah dan tidak menunggu dirinya mengeluarkan barang bawaan dari bagasi. Dia tidak bermaksud mengusik Benny dan menjadi istri yang manja. Setelah membuka pintu bagasi, Dewi menatap nanar pada koper ukuran kecil miliknya. Dia mengusap pergelangan tangan kanan yang kini berhias memar keunguan. Entah terantuk apa, pagi tadi Dewi bangun dengan rasa ngilu pada tangan kanannya. Koper yang biasanya dia angkat dengan mudah, kini menjadi beban yang menyakiti tangannya. Biasanya Dewi akan membawa koper ini ke dalam kabin pesawat. Hal itu menghemat banyak waktu karena dia tak perlu menunggu lama dan dapat langsung melangkah ke pintu keluar dari terminal kedatangan. Namun, karena kondisi tangannya, dia memutuskan untuk mendaftarkannya sebagai bawaan di bagasi pesawat. Hal itu membuatnya tak bisa cepat keluar dari terminal, membuat Benny jengkel karena menunggu lama. Dewi tak tahu harus bagaimana. Dia pastinya tak bisa menyalahkan pilot pesawat yang membawa pesawat berputar selama 20 menit sebelum mendarat karena menunggu landasan pacu siap untuk pesawat mereka. Dia juga tak bisa menyalahkan petugas bandara yang mengatur bagasi dan tidak dapat mengeluarkan bawaannya dengan cepat. Dia tak mungkin menyalahkan Benny. Dewi tahu persis bagaimana penatnya bekerja seharian di kantor tanpa jeda. Dewi juga tahu masalah besar yang sedang dialami perusahaan. Dia berusaha keras untuk tidak makin membebani Benny. Namun, hatinya begitu sakit mendengar kata-kata ketus dan perlakuan dingin Benny. Ngilu kembali menyerang tangan kanannya. Perlahan Dewi menutup bagasi dan mendorong kopernya masuk ke dalam rumah. d**a Dewi rasanya sesak membayangkan seharusnya dia bisa meminta tolong Benny, tetapi sikap suaminya itu seakan menghalangi Dewi mendekat. Perutnya mulai terasa perih. Siang tadi, karena mengejar jadwal, Dewi terpaksa menolak undangan makan siang bersama setelah menyelesaikan meeting terakhirnya dengan klien di Bali. Di bandara, Dewi memilih untuk memejamkan mata sejenak daripada mencari makan; beberapa hari terakhir dia memilih memangkas jam tidur untuk merevisi desain sesuai permintaan klien. Berharap Benny paling tidak mau mengantar membeli makanan, Dewi harus dihempas kecewa karena penolakan bertubi-tubi. Tubuhnya begitu lelah. Dewi rasanya tak punya kekuatan lagi untuk mengolah dan memasak bahan makanan yang tersedia di kulkas. Ketika masuk ke dalam rumah, Dewi tak melihat bayangan Benny di mana pun. Mungkin suaminya sudah mandi lebih dahulu, atau mungkin mengurung diri di kamar kerja seperti yang laki-laki itu lakukan beberapa waktu terakhir. Setelah meninggalkan koper tepat di samping pintu kamarnya, Dewi melangkah menuju ruang makan. Biasanya dia memilih untuk mandi terlebih dahulu, tetapi perutnya makin nyeri dan melilit. Dia harus makan sesuatu, perutnya harus diisi walau sedikit. Dewi membuka bungkusan roti tawar di atas meja. Dia mendesah kecewa melihat titik-titik hijau bertebaran di permukaan roti. Dibuangnya roti itu ke tempat sampah. Mungkin dia bisa menemukan sesuatu untuk dimakan di dalam kulkas. Dan lagi-lagi Dewi harus kecewa melihat tidak ada makanan yang siap dimakan di dalam lemari pendingin itu. Dia harus puas dengan s**u kemasan yang ada di sana. Bersandar di kitchen island, Dewi menyesap minuman manis itu. Dingin. Tapi hatinya justru terasa pahit dan matanya panas. Dulu Dewi punya segala kebebasan untuk menerima pekerjaan yang pas di hatinya. Sebagai seorang desainer lepas, Dewi bisa mengatur sendiri ekspektasi dan jadwal kerjanya. Namun, sejak bergabung di Suryadjaja Konstruksi, dia tak punya lagi kebebasan. Ada target yang harus dicapai. Ada klien-klien utama yang tak bisa ditolak. Ada perjalanan jauh yang harus ditempuh demi menyelamatkan perusahaan. Dewi harus mengorbankan diri bagi perusahaan keluarga suaminya. Sejujurnya, Dewi tidak keberatan. Dia merasa memang seharusnya dia membantu sang suami yang dalam kesulitan. Tetapi hatinya ingin berontak ketika menemukan bahwa semua itu bukannya memperkuat relasinya dengan Benny, malahan ada tembok tak kasat mata yang terbangun di antara dirinya dan suaminya. Bukannya membangun perusahaan, relasi pernikahan mereka malah terkikis sedikit demi sedikit. Dewi membuang kemasan s**u yang sudah kosong, membiarkan kotak karton itu bergabung dengan setengah bungkus roti tawar yang sudah rusak. Perutnya masih terasa tak nyaman. Rasanya dia salah memutuskan untuk minum s**u. Rasa nyeri makin melilit perutnya. Tiba-tiba nada dering berbunyi nyaring. Dengan merintih, Dewi melangkah dan meraih gawainya, melihat nama Ryan muncul di layar. “Halo?” sapa Dewi dengan rintihan menahan sakit. “Wi, kamu enggak apa? Kok kayak kesakitan gitu?” tanya Ryan di seberang sambungan. Dewi hanya bisa mengangguk, sejenak lupa bahwa dia sedang bicara dengan Ryan lewat sambungan telepon. “Kamu nih enggak berubah, masih aja suka lupa makan kalau udah asyik kerja,” kata Ryan tegas. Tanpa bicara saja, Ryan seakan tahu keadaan Dewi. Dan sekalipun Ryan seakan memarahi dirinya, ada rasa hangat yang menyelinap di hati Dewi. “Kasih aku alamat rumahmu, Wi. Aku kirim makanan sekarang.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD