ENAM

1570 Words
Ruangan meeting yang terletak di samping kantor Benny penuh dengan gelak tawa. Benny dan Dewi, didampingi Dinda, sekretaris Benny, duduk berhadapan dengan tiga orang perwakilan dari pengembang perumahan. Berada di tengah bapak-bapak yang gaya bercandanya agak garing, membuat Dewi terpaksa tersenyum sopan setiap kali tawa mereka pecah. Dewi hanya bisa menebak, pertemuan kali ini sebenarnya bukanlah yang terpenting. Pembicaraan terkait proyek dan hal-hal detailnya pasti sudah dilakukan sebelumnya. Entah mengapa Pak Akbar, founder dan pemimpin perusahaan pengembang itu secara khusus meminta Dewi untuk hadir dalam pertemuan pagi ini. Laki-laki paruh baya itu beberapa kali meminta pendapat Dewi tentang hal-hal yang berkaitan dengan interior. Sekalipun Benny berusaha untuk membuat batasan percakapan dan kembali pada pembahasan eksterior bangunan yang menjadi proyek mereka, Pak Akbar selalu punya alasan yang membuat Benny terdiam dan setengah memaksa Dewi untuk buka mulut. “Sekarang saya percaya dengan rumor yang beredar di luar,” ucap laki-laki yang sedang melihat Benny dengan raut wajah serius. “Rumor apa ya, Pak?” Dewi melihat keterkejutan di mata Benny dan getar di suara suaminya. Tangan kanan Benny menggenggam pulpen dengan lebih erat. “Kalau menantu Budi Suryadjaja itu desainer interior yang berbakat. Tidak heran banyak rekanan saya yang merekomendasikan Suryadjaja untuk pengerjaan interior. Padahal selama ini saya hanya tahu Suryadjaja fokus pada pembangunan eksterior.” Dewi bisa mendengar helaan napas lega dari Benny. Tegang di wajah suaminya berkurang dan ekspresinya kembali rileks. Benny bahkan menatap Dewi dan tangannya meraih tangan Dewi yang juga berada di atas meja panjang itu. “Rumor itu berlebihan, Pak Akbar. Saya tidak sehebat itu. Divisi interior di Suryadjaja juga termasuk baru. Kami masih harus banyak belajar,” ujar Dewi setulus hati. Dia tak ingin fokus kerja sama Pak Akbar dengan Benny malah teralihkan oleh hal lain. Benny tidak boleh diganggu, terutama tidak oleh Dewi sendiri. Dia tidak sanggup memikul beban tambahan menghadapi rasa insecure yang sering Benny tampilkan dalam keseharian mereka. Dewi terkejut mendengar tawa keras dari Pak Akbar dan wajahnya yang semringah. Tetapi dia lebih terkejut mendapati Benny meremas tangannya. Dari sudut mata, Dewi bisa melihat ekspresi Benny mulai mengeras lagi. “Ini! Saya suka attitude seperti ini. Bu Dewi tidak perlu merendah. Reputasi itu tidak perlu disembunyikan. Kualitas dan hasil kerja Bu Dewi sudah dipuji banyak orang.” “Terima kasih pujian untuk istri saya, Pak Akbar. Apakah kita bisa kembali membahas kapan pembangunan akan dimulai?” Suara Benny masih diwarnai getir. Pak Akbar tersenyum ramah dan menyilangkan tangan di dadanya. “Tunggu dulu, Pak Benny. Mengapa harus buru-buru? Hari ini saya minta Bu Dewi hadir karena ada maksud yang ingin kami sampaikan.” Detik itu Benny dan Dewi saling berpandangan. Satu alis Benny terangkat, seakan mempertanyakan maksud perkataan Pak Akbar barusan. Dewi hanya mengedikkan bahu karena dia tidak memahami apa-apa. Dia juga baru tahu harus hadir di pertemuan ini pagi tadi, sebelum mandi dan bersiap pergi ke kantor. Tawa Pak Akbar pecah lagi. “Tenang saja. Saya minta Bu Dewi hadir karena ingin mengajukan kerja sama yang akan melengkapi proyek kita kali ini, Pak Benny.” Dewi bergerak perlahan, menggunakan kursi beroda itu untuk mendekati Benny, dan menepuk paha suaminya dengan lembut. Dia hanya ingin menenangkan Benny dan berharap pembicaraan ini berakhir dengan baik. Dewi tersentak merasakan tangannya itu diremas lembut oleh Benny. Gestur yang sudah lama dia rindukan dari suaminya itu. “Kami mendengarkan, Pak Akbar,” respons Benny dengan suara yang jauh lebih tenang. “Saya berharap proyek pembangunan segera dimulai, Pak Benny. Jadwal sudah kita sepakati, jangan sampai molor juga. Saya berharap banyak pada Suryadjaja. Bersamaan dengan mulainya proses pembangunan, kami minta Bu Dewi untuk mengerjakan layout interiornya. Kita bisa segera mulai dengan desain awal dan harapan kami, segera setelah eksterior selesai, tim Bu Dewi bisa melanjutkan dengan interiornya.” Sekali lagi Benny dan Dewi berpandangan. Hanya selang beberapa detik kemudian, Benny memandang Pak Akbar dan berkata, “Kapan Pak Akbar mau mulai membahas interiornya dengan Dewi?” Laki-laki itu kemudian menoleh pada sekretarisnya. “Dinda, apa bisa bantu buatkan jadwal dengan asisten Pak Akbar?” – “Kamu gila ya, Ben? Besok aku harus ke Belitung seminggu untuk proyek resort di sana. Gimana caranya aku harus meeting sama Pak Akbar?” Dewi membanting tubuhnya ke sofa yang terletak ada di kantor Benny. “Ini kesempatan gede, Wi. Aku sudah mulai paham cara kerja Pak Akbar. Dia sepertinya pelit, tekan budget serendah mungkin. Tapi begitu kita kasih kerjaan yang terbaik, dia gak akan nego harga lagi. Dia tahu lah ada harga ada rupa. Dia cuma gak gampang percaya aja.” Dewi melipat lengan di depan dadanya. Mencoba berpikir bagaimana mengatur waktu dan prioritas. Masih ada beberapa proyek yang mengantre. Dewi harus benar-benar membagi beban pekerjaan di divisinya. Dia mendesah lelah. “Ben, aku gak yakin bisa. Desain butuh ide, butuh waktu, butuh momentum, Ben. Kamu juga pasti tahu kita gak bisa dipaksa kerja kayak robot.” Benny melangkah lebar dan segera duduk di samping Dewi, membuat perempuan itu menoleh ke arah suaminya. Satu tangan Benny kini berada di atas bahu Dewi dan satu tangan lainnya berusaha mengurai kedua tangan Dewi yang terlipat di depan dadanya. “Wi, aku percaya kamu pasti bisa. Kamu selalu bisa menangkap maksud klien dan membuatnya jadi desain yang cakep, rapi, dan unik. Please, Wi. Proyek ini bisa bantu menyelamatkan perusahaan.” Dewi memalingkan wajah. Hatinya tak karuan. Ada rasa senang melihat Benny merayunya, walaupun untuk urusan pekerjaan. Tetapi, ada rasa kecewa melihat Benny merayunya hanya untuk kepentingan kantor. Dewi ragu apakah rayuannya itu tulus atau hanya supaya Dewi luluh dan mau mengambil pekerjaan yang ditawarkan Pak Akbar. “Wi,” panggil Benny yang kemudian mengusap pipi Dewi, meminta perempuan itu untuk menatapnya. “Papi pernah bilang aku kurang visioner, karena aku menyia-nyiakan kamu, enggak mengajak kamu bergabung dan mengembangkan Suryadjaja. Papi bilang kamu yang bisa bantu aku menyelamatkan perusahaan ini. Sekarang aku makin sadar, Wi, kata-kata Papi waktu itu benar. Aku selama ini kurang bisa melihat itu.” “Enggak bisa, Ben.” Dewi menggeleng. “Kita udah nolak beberapa klien karena takut enggak bisa melayani semua permintaan dengan maksimal. Kalau dipaksain, enggak akan baik hasilnya.” “Wi, please,” pinta Benny. Laki-laki itu kemudian mencium tangan Dewi yang digenggamnya sejak tadi. “Aku butuh kamu, Wi. Kamu yang bisa bantu aku, bantu kita.” Dewi menatap lekat suaminya. Jangankan bersentuhan dekat seperti sekarang ini, beberapa bulan terakhir mereka lebih cocok dikatakan sebagai orang asing atau bahkan musuh. Benny hampir tidak pernah berkata-kata dengan ramah kepadanya. Apa yang keluar dari mulut laki-laki itu seperti berbisa; pedih dan menyakiti hati Dewi. Hati Dewi bergetar merasakan perlakuan manis Benny saat ini. Dia benar-benar merindukan sosok laki-laki yang memperlakukan dirinya sebagai kekasih hati, bukan membentaknya dengan keji. Dewi sering mengintip dari balik pintu kerja Benny, berharap menemukan senyum yang dulu selalu menyambutnya. Namun, akal sehatnya seakan memberontak. Mengapa baru sekarang Benny bersikap begini? Mengapa tiba-tiba? Akankah perlakuan ini untuk seterusnya? Atau hanya sandiwara belaka? Dewi berharap Benny-nya masih tetap ada di tubuh laki-laki yang duduk di sampingnya ini. Menghidu bau parfum yang sudah bercampur aroma tubuh laki-laki itu saja Dewi sudah ingin menyerah kalah. Dia tahu Benny ada, tetapi entah mengapa Benny-nya bersembunyi di balik semua topeng itu. Ditatap lekat seperti ini membuat Dewi benar-benar kalah. Dia hanya bisa berdoa, semoga usahanya kali ini akan membawa Benny-nya kembali. – Dewi sedang sibuk membuat sketsa di atas lembaran kertas. Benny sudah memberikan gambaran eksterior rumah dari perumahan milik Pak Akbar yang akan segera dikerjakan. “Konsepnya untuk keluarga muda, Wi. Compact, but cozy. Kamu bisa mulai bikin konsep dulu. Nanti setelah kamu pulang dari Belitung, aku kasih detail yang lain,” jelas Benny semalam. Untung saja semua layout dan berkas untuk proyek di Belitung sudah dibereskan Dewi dan timnya sejak beberapa hari yang lalu. Dewi sudah memastikan permintaan klein sudah terakomodasi. Dia hanya perlu menemui klien dengan percaya diri. Namun, proyek Pak Akbar ini membuatnya pusing. Masih ada beberapa proyek lain yang sudah dibagikan ke anggota tim Dewi yang lain. Mau tak mau, Dewi harus turun tangan sendiri mengerjakan proyek ini. Merasa tak puas dengan sketsa awalnya, Dewi meletakkan buku sketsa dan pensil ke atas meja, lalu meraih cangkir cappuccino di hadapannya. “Wi!” Dewi merasa dia pernah mengalami kejadian serupa seperti sekarang. Benar saja, ketika dia menoleh ke arah suara yang memanggilnya, ada Ryan di sana. “Emang jodoh kita ini, ketemu lagi di bandara. Jangan bilang pesawatmu di-delay lagi?” Tanpa diundang, laki-laki itu sudah duduk di hadapan Dewi. Dewi terkekeh mendengar kalimat Ryan itu. “Emangnya kamu mau ke mana, Yan?” “Jogja. Kamu juga?” Dewi menggeleng. “Aku ke Belitung.” “Wuih! Bener kan yang kubilang. Kamu emang keren, Wi! Proyekmu dari Sabang sampai Merauke kayaknya.” Perempuan itu mengibas tangannya, menganggap perkataan Ryan itu berlebihan. “Sendiri, Wi?” tanya Ryan lagi. “Iya. Kerja yang sendiri, kalo liburan ngajak sekampung.” Ryan terbahak mendengar jawaban itu. “Om suami kagak ikutan? Gile aje istrinya dilepas sendiri.” “Pertama, proyek ini emang aku yang handle, ngapain dia kudu ikut? Dan kedua, dia bukan om-om ya, Yan. Kamu jangan sok muda deh.” “Eh ciyeee, dibelain,” goda Ryan yang membuat Dewi tak bisa menahan tawa. Dewi meneguk lagi cappuccino-nya. Lalu dia menatap Ryan lekat. Mungkin ini jalan keluar yang dia cari. Mungkin Ryan bisa membantunya. Dewi berdeham lalu berkata, “Eh, Yan, kamu kan laki-laki ya. Aku boleh minta pendapatmu gak?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD