4

1568 Words
Seluruh badanku terasa kaku, sangat sulit untuk digerakkan. Bahkan mulutku sangat sulit untuk dibuka. Benda kenyal meyapu wajahku tanpa melewatkan satu titik pun. Ketika aku membuka mata, yang aku temukan adalah Joo dan Coo. "KYAAAAAAAAAAAAAA!!!! Kenapa setan-setan ini ada disini?" teriakku berharap si pemilik datang dan menyelamatkan aku. Okay, G. Calm down. Aku teringat ketika Drew memerintahkan mereka untuk berhenti. "Joo, Coo berhenti, aku nona manis, ingat?" Aku nyaris berteriak senang ketika kedua anjing putih itu turun dari atas tempat tidur, dan menungguku untuk bangun dari atas karpet. Sayangnya aku baru menyadari sesuatu. Drew bertopang dagu duduk disisi ruangan, masih menggunakan kaos dan celana piyama gelap miliknya. "Well, kau sangat berbakat pada anjing," katanya santai sambil bangkit berdiri dan berjalan kearahku. "Kenapa aku di apartemenmu?" tanyaku bingung. Dia menghela nafas dan menatapku malas. "Setelah kau muntah di seluruh pakaianku, tak ada satu pun yang kau ingat?" tanyanya balik sambil melotot. Aku menatap Drew tidak percaya, seolah-olah yang dikatakannya hanya sebuah bualan belaka. Namun tatapanku jatuh pada tubuhku sendiri. "Kau membuka pakaianku!" tuduhku sambil mengacungkan jari telunjuk padanya. Dia mengernyit lalu mengangguk, "Kurasa itu bukanlah sebuah dosa besar. Seluruh dunia tahu bagaimana tubuhmu itu! Bagian mana yang harus kau tutupi? Dan kau saat ini masih menggunakan pakaian dalam, jangan berlebihan." "Pasti kau mengambil kesempatan tidur disampingku," tuduhku lagi yang membuat wajahnya merah padam, aku tak tahu itu karena malu atau kesal. Dia mengacuhkanku dan membuka lemari pakaian miliknya sendiri. "Pakai ini," dia melemparkan kaos berwarna biru gelap, "Pakaianmu sedang dilaundry atau aku tak tahu, mungkin sudah dibuang karena mereka tak tahan dengan baunya." "Dan turunlah dari sana, kita akan sarapan," lanjutnya lagi sambil berjalan menuju pintu. "Tidak ada sarapan di atas kasur?" tanyaku padanya dan dia mendelik, ekspresi yang sudah lama aku rindukan. "Kau akan membuatku tidur dengan ratusan semut nanti malam jika kau makan di atas kasur!" kemudian dia keluar tanpa menutup pintu diikuti oleh kedua anjingnya yang seolah ikut mendelik padaku. "Majikan kalian bodoh, Joo," Gerutuku pelan. Aku memakai pakaianku dan turun dari kasur yang ternyata milik Drew. Kamar ini sangat-sangat maskulin dengan banyak hiasan dinding yang menunjukkan sisi pria. Mulai dari perlengkapan bermain football sampai seragam resmi milik New York Giants. Anehnya, tak ada buku disini. Ini benar-benar tempat khusus untuk tidur. Dan apa itu, sebuah potret keluarga dengan Drew kecil ditengahnya, duduk diantara kedua orang tuanya. Apakah dia anak tunggal? "Sudah aku duga kalau kau adalah manusia yang memiliki rasa ingin tahu paling tinggi." Aku terkejut ketika mendengar Drew muncul dari balik pintu sambil berkacak pinggang. Aku segera berlari ke arahnya, dan dia menatapku dengan malas. Kami berdua berjalan menuju dapur beriringan. Joo dan Coo ada di belahan ruangan yang berbeda dengan dipisahkan oleh pagar setinggi pinggangku. Mereka juga tampak menikmati sarapannya masing-masing. Tanpa terasa perutku ikut terasa lapar. "Nasi goreng?" Aku menatap heran pada menu sarapan yang tersaji diatas meja bar. Drew mengangkat bahunya acuh dan berbalik mengambil sendok untuk kami. Aku mulai mencicipi masakannya, lumayan untuk masakan seorang pria. Dia cukup berbakat. Aku tentu saja bisa memasak, hanya saja bukan masakan yang bervariasi. Hanya beberapa jenis masakan saja yang aku kuasai, mungkin memang karena aku terlalu sibuk. "Masakanmu enak," kataku sambil mengacungkan dua ibu jari ke atas. Dia tersenyum simpul, menerima pujianku. "Padahal aku hanya belajar cara memasaknya dari Laura dan mempraktekkannya sendiri," katanya santai sambil melanjutkan melahap sisa makanannya sampai tuntas. Sedangkan aku masih berkutat serius dengan nasi gorengku sendiri, menyingkirkan irisan sosis yang ada didalamnya. "Kau tak suka sosis?" tanyanya heran sambil terus memperhatikan gerak-gerikku. Aku menggeleng, "Aku pernah melihat kulit sosis terbuat dari bagian sistem pencernaan hewan. Dan itu membuatku mual," jawabku apa adanya. Memang benar adanya aku tak menyukai sosis. Sewaktu kecil, aku pernah datang ke tempat produksi sosis rumahan yang terletak di pinggiran Missouri. Saat itu mereka menggunakan usus sapi sebagai pembungkus daging tersebut. Sejak itulah aku nyaris muntah tiap kali melihat sosis. "Padahal rasanya enak," ujar Drew sambil mencomot sosis-sosis yang ada dipinggir piringku. Dan hal itu membuatku kembali bergidik. "Bahkan setelah aku menceritakannya, kau masih mau memakan benda panjang itu?" dia mengangguk antusias. Aku mengulum senyum, "Kalau aku, aku menyukai benda panjang yang lain," kataku sambil menaik-naikkan alisku jenaka. Sedangkan dia tersedak mendengar nada menggodaku. "Kau tahu? Yang aku maksud adalah popsicle." Dan aku tertawa melihat wajah cemberutnya. Drew yang malang. ∞∞∞ Aku kembali ke apartemen setelah sarapan bersamaku. Beberapa saat yang lalu, orang berseragam laundry apartemen ini mengantarkan pakaianku semalam. Sepertinya aku beruntung karena mereka tidak membuang dress penuh dengan muntahan milikku, itu yang Drew katakan. Aku senang bertemu dengan tetangga seperti Drew. Bukan orang yang ramah, namun tetap saja dia baik. Dia tidak terlihat nerdy yang aku kira awalnya. Sejauh ini dia berwawasan luar dan sangat pintar. Namun, disatu sisi keberadaan Drew akhir-akhir ini membuatku cemas setengah mati. Ini sama seperti kejadianku dulu, sama persis seperti awal mula kehadiran Sam. Ya, Sam adalah sesosok pelipur lara di dalam kesepianku. Saat itu aku masih berumur 23 tahun, aku tak kuliah seperti Laura. Sebetulnya sempat terpikir untuk melanjutkan kuliah, namun saat itu aku lebih memilih untuk mengikuti casting. Berharap akan menjadi satu diantara orang-orang yang beruntung bisa memasuki Hollywood. Ya, walaupun pada saat itu aku telah mendapatkan dua piala Oscar. Tidak ada usaha awal yang mulus. Hasil tidak akan mengkhianati proses. Pertama kali berada didepan kamera, aku adalah seorang model pakaian dalam. Bukan brand ternama seperti Sexy Elise. Namun aku bersyukur, semenjak bergabung dalam brand tersebut aku memiliki banyak info tentang berbagai macam casting. Barulah di awal 20-an aku mendapat film pertamaku sebagai pemeran pendukung. Disamping itu, aku masih melakukan pemotretan untuk majalah-majalah dewasa dan brand pakaian dalam. Aku tak semahal kelihatannya. Membayangkan banyaknya pria yang bermasturbasi dengan tubuhku adalah hal yang paling menjijikkan. Tetapi aku bukanlah korban casting couch atau semacamnya. Aku melejit betul-betul karena kecakapan dan kemahiranku dalam berakting. Tak jarang beberapa bintang senior memujiku dalam bidang tersebut. Kuncinya adalah, aku mencintai apa yang aku kerjakan. Dan mencintai datangnya dari hati. Lagi, aku tak akan meninggalkan apa yang aku cintai. Tiba-tiba aku mengingat kembali Sam dan Ibunya. Hanya merekalah yang berpendapat bahwa aku harus meninggalkan dunia peran. Gemerlapnya Hollywood. ∞∞∞ Sam berdiri disana. Dia berdiri tepat dipintu apartemenku, mungkin sejak tadi. Tampaknya dia tak menyadari kehadiranku, yang membuat aku bernafas lega dan segera beranjak meninggalkannya. "Gyorintt!" Sial. Aku berbalik dan melihat dia berlari kearahku, "Apa maumu sebenarnya?" tanyaku tanpa mengenal basa-basi. Dia tersenyum. Apakah ada yang salah dengan otaknya? Bahkan tak sampai satu bulan lalu dia mengancam akan menyebarkan video skandal kami. Dan sekarang dia bersikap seperti tak punya masalah apapun. "Apa kabarmu? Sepertinya berpisah denganmu bukan keputusan baik," katanya dengan ekspresi menyesal yang langsung membuatku berjengit jijik, "Tempat tidurku terasa berbeda jika tak ada dirimu," lanjutnya. Aku mendengus, "Aku tak punya urusan dengan ranjangmu, cari saja wanita jalang di luar sana yang bisa menghangatkan ranjangmu itu! Aku sudah tak tertarik." "Well, ada apa dengan Gyorintt manis yang aku kenal? Bukankah kau mencintaiku Gyorintt?" tanyanya dengan nada meremehkan. Benar, aku mencintainya. Apa yang harus aku lakukan? Tiba-tiba dentingan lift terdengar, menandakan seseorang keluar dari sana. Drew. Drew menatapku dan Sam bergantian. Namun, matanya kembali terfokus pada diriku. Aku menatapnya dengan pandangan memohon. Seketika ekspresi Drew langsung berubah menjadi 'kapas'. Dia menatap kami berdua dengan senyuman menusuk mata, jika kalian yang tak mengenal dirinya. Memang betul, Drew tak memberikan senyum manis, namun ada senyum sinis yang tersirat. "Cara mia, apa yang kau lakukan disini?" tanya Drew sambil tersenyum padaku. Aku balas tersenyum padanya. Walaupun aku tak mengerti arti dari panggilan tersebut. Sam menatapku dan Drew bergantian dengan pandangan meneliti yang aku balas dengan delikan serupa dengan milik Drew seperti biasanya. "Dia kekasih barumu?" tanya Sam sambil menyipitkan matanya. Aku mengerutkan dahiku bingung. Kenapa Sam menyimpulkan begitu? "Ya, Gior kekasihku," jawab Drew lantang tanpa mengajakku berkompromi. Aku melotot padanya, namun dia mengacuhkanku dan saling bertukar pandang. Menandai daerah kekuasaan masing-masing. Tiba-tiba Drew melangkah dan langsung mengecup bibirku sekilas. Aku sempat tersentak namun sedikit bersyukur ketika Sam tidak menyadarinya. Drew kemudian merangkulku mesra, menunjukkan aku adalah miliknya. Sam diam dan terpaku. Dia sangat jelas kalah kali ini. "Bagus, Gyorintt. Kau memang wanita jalang yang haus akan belaian. Bahkan baru satu bulan kita berpisah, dan kau sudah memiliki kekasih baru. Bukankah ini pria yang waktu itu makan bersama Laura di Per Se?" ‘Deg’ Kenapa aku baru menyadari satu hal? Aku pernah melihatnya meski aku tak ingat dimana. Perkataan sam bagaikan hantaman terberat untukku. Drew, pria ini menyukai Laura. Aku menenangkan dan memegang kendali akan diriku. Meskipun terasa sedikit menyakitkan ketika aku tak menyadarinya. Apakah Drew masih menyukai Laura? ∞∞∞ Suara dentingan sendok yang beradu dengan gelas terdengar di seluruh penjuru ruang tengah apartemen ini. Hal-hal yang sering kali aku lakukan ketika melamun. Bukan tanpa sengaja, aku hanya terbiasa melakukannya. Membuat jalan pikiranku kembali terbuka hanya dengan suara-suara dentingan menenangkan. Memikirkan kemungkinan Drew masih menyukai Laura membuat kepalaku benar-benar pusing. Aku tak mengerti kenapa seperti ini. Bahkan tak ada lagi tangisan, yang terakhir adalah malam itu ketika aku dan Sam putus. Padahal biasanya aku adalah orang yang benar-benar mudah merasa kesepian. Namun sekarang, aku sangat menikmati hidupku. Dan aku akan mengalami siklus aneh ketika bertemu dua pria itu. Hariku akan cerah berawan jika bertemu dengan Drew, namun tiba-tiba awan cumulonimbus datang dan menyebabkan badai hebat ketika melihat Sam. Aku mendengus ketika mengingat kembali Drew yang menyebutku sebagai kekasihnya. Tidak, tentu saja aku tak berharap benar-benar menjadi kekasihnya. Namun kecupan singkat itu? Sialnya jantungku berdegup tidak jelas ketika mengingat detik-detik Drew mendaratkan bibirnya pada bibirku sangat manis dan lembut. Huh. Bel tiba-tiba terdengar. Menghancurkan semua lamunanku tentang Drew. Dengan cepat aku melangkah menuju pintu dan membukanya. Drew berdiri disana, dengan sebuah kaos dan jeans berwarna gelap. Tak lupa dengan kacamatanya. Dia tampat sangat tampan. Sangat jauh dibandingkan aku yang berbalut sebuah kemeja linen kebesaran hingga menutupi celana pendek yang aku gunakan. "Aku punya dua tiket konser Coldplay untuk malam ini, mau ikut?" ∞∞∞
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD