5

1646 Words
Carnegie Hall sangat sesak dipenuhi oleh penonton. Meskipun aku dan Drew duduk di kursi VVIP, penonton sudah berdesak-desakan sejak berada di lobi gedung ini. Carnegie Hall berada di arena konser di Midtown Manhattan, NYC. Gedung bergaya renaisans Italia berkapasitas lebih dari 2000 orang ini dalam satu tahun menyelenggarakan hingga 250 pertunjukkan musik klasik, pop, dan jazz. Sejujurnya ini bukan kali pertama aku datang ke Carnegie Hall ini. Tahun lalu aku dan Sam sempat menonton sebuah pertunjukan musik dari Berliner Philharmoniker. Sam. Dia amat sangat tak menyukai musik. Sejujurnya, dia terpaksa karena aku menyukainya. Saat itu aku hanya ingin pergi bersama Laura dan Rush yang memang menyukai musik, tetapi Sam memaksaku untuk membelikan satu tiket lagi untuknya. Pria bodoh. Malam ini aku memilih pakaian casual dan tak terkesan resmi. Hanya jeans, kaos dan sebuah jaket kulit yang dipadu padankan. Orang-orang mungkin akan berbisik-bisik melihat aku dan Drew yang tampak serasi. Ketika melihatku menggunakan jaket ini, Drew tiba-tiba meminta izin masuk ke dalam apartemennya sebentar. Ternyata dia mengambil sebuah jaket kulit yang nyaris sama dengan milikku. Kami tampil layaknya dua orang anggota club motor berdarah dingin. Tidak, itu tidak akan terjadi karena kacamata konyol milik Drew. Harusnya aku menuruh dia menggunakan lensa kontak malam ini. Tunggu, ini kencan? Kami berjalan melalui lobi, menerobos kerumunan orang-orang. Drew sedari tadi selalu menggenggam tanganku layaknya seorang anak berumur 5 tahun yang akan tersesat. Kebanyakan orang yang mengenaliku memandang ke arah kami intens. Wajar saja, aku baru saja diketahui putus dengan Sam dan sekarang sudah menggandeng seorang kutu buku tampan bertubuh sexy. Aku mulai gila. Kami duduk pada sayap kanan panggung yang hanya berjarak 20 meter. Aku tak tahu berapa banyak uang yang dikeluarkan Drew hanya untuk membeli tiket konser Coldplay yang terkenal tidak murah. Sejujurnya aku tak begitu tahu mengenai Coldplay, tetapi aku lumayan menyukai lagu-lagu mereka yang memang sangat enak didengar. Sedikit kebosanan. Itulah yang aku rasakan tentang menunggu mulainya konser ini. Sudah hampir 20 menit namun masih belum dimulai. Mungkin aku dan Drew yang terlalu cepat datang. Bahkan penonton masih bergiliran memasuki aula musik ini. Drew kini sibuk dengan ponselnya. Dia tidak bicara sejak di lobi. Di mobil pun dia hanya bertanya jika perlu, dan menjawab jika ditanya. Tak ada candaan sama sekali. Bahkan tak ada delikan seperti biasanya. Drew aneh. Aku pun melakukan hal yang sama, mengeluarkan ponsel dan mengambil foto beberapa bagian panggung lalu kemudian memasukkannya ke dalam akun i********: milikku. Drew sedikit tertarik, dia melirik ke arahku dan tekekeh pada saat aku mengambil foto diriku sendiri. Tanpa aba-aba, aku menariknya untuk mendekat. Dia mencoba menghindar namun terlambat karena aku sudah mengambil fotoku dan dia yang sedang terkekeh. "Apa yang kau lakukan?" tanyanya. Aku tersenyum manis dan mengecup pipinya sekilas. "Terima kasih karena sudah mengajakku kesini. Aku sangat menyukai musik. Dan aku memiliki bebrapa lagu Coldplay di dalam playlist," kataku sambil tersenyum. Drew balas tersenyum dan memamerkan kedua lesung pipi miliknya. "Aku sangat menyukai cara kau berterima kasih," ujar Drew dengan penuh maksud. Aku memukul bahunya, dan dia sedikit meringis meskipun aku tahu dia tak akan merasa sesakit itu. "Aku anggap itu pujian, Drew. Sekarang izinkan aku mengambil gambar kita berdua secara sadar. Aku ingin dunia tahu jika aku sudah berterima kasih dengan orang yang membawaku ke sini." Dia tertawa, "Baiklah hanya satu kali dan akan jadi yang terakhir. Berharaplah fotonya jelas dan fokus." "Okay. Aku ahli dalam melakukan ini jika kau ingin tahu," kataku sombong. Drew terkekeh dan mendekatkan diri kami ke dalam sebuah rangkulan mesra. Aku mengambil beberapa foto. Sebelum Drew sempat marah, aku segera menjauh dai rangkulannya. "Ini akan bagus jika digabungkan menjadi satu dan akan mendapat banyak like jika diupload ke i********:," kataku lagi dengan nada mengolok. Drew mendelik dan ingin merebut ponsel milikku. Namun dengan cepat aku mengelak. Dengan nada kesal Drew berkata, "Kau akan menyesal jika mengetahui apa yang akan wartawan katakan." Tunggu. Apa maksud dari perkataan Drew? Apakah yang dimaksud Drew adalah wartawan yang menyebar gosip jika kami berdua memiliki suatu hubungan? Aku tak masalah, serius. Aku malah senang ketika orang-orang menganggap Drew sebagai kekasihku. Setidaknya di antara aku dan Drew, ada yang berotak cerdas. Kalian harus tahu jika aku adalah manusia terbodoh di New York. Semua ini berawal dari ajang kecantikan yang mengundangku sebagai bintang tamu. Padahal saat itu aku aku hanya menyebutkan satu umpatan dan langsung menjadi trending di penjuru dunia. Mereka merutuki kebodohanku yang sudah menyebutkan umpatan di depan istri Barack Obama. Bukan hanya itu, aku beberapa kali pernah tertangkap salah menyebutkan petinggi negara. Lagi pula, apa pentingnya mengetahui siapa nama anggota dewan? Mereka tak pernah memberiku pekerjaan. Mereka malah menawariku sebagai simpanan. Konser dimulai beberapa menit kemudian. Hampir 35 menit sebelum seorang bintang tamu tampil sebagai pembuka. Seorang anak berumur sekitar 10 tahun yang sangat tampan. Dia tampil dengan setelan resmi. Aku tak pernah melihat anak itu sebelumnya. "Dia keponakanku," kata Drew seolah mengetahui apa yang aku pikirkan. Aku mengerutkan dahiku kebingungan. Drew penyuka anak-anak? "Ibunya adalah sepupuku. Kedua orang tua dan nenek kakeknya meninggal 3 tahun yang lalu. Tepat saat liburan natal. Dia sedang berlibur kerumahku saat itu. Namun kami mendapat kabar jika orang tua dan nenek kakeknya meninggal dalam sebuah insiden perampokan oleh sekelompok orang di Arizona," jelas Drew. Mataku langsung tertuju pada anak kecil tadi. Dia yang berkulit putih bersih dan wajahnya yang lucu. Betapa malangnya dia sudah hidup sendiri sejak berusia 7 tahun. Sejujurnya aku merasa tertegun dan kagum pada saat yang bersamaan. Drew memang sangat manis. "Dia tinggal bersama orang tuaku jika sedang tidak berada di asrama atau saat liburan. Mereka sudah menganggap Aiden sebagai cucu mereka sendiri selama aku masih belum memberi mereka cucu." Aku tak banyak bertanya setelahnya. Drew memasang wajah sendu yang membuatku ragu untuk mengetahui tentang Aiden lebih banyak. Anak laki-laki yang bernama Aiden itu kini mulai memainkan pianonya dengan tenang seolah kami tak ada disekitarnya. Dia tampil membawakan 3 lagu milik Coldplay. Di lagu terakhir, Chris Martin tiba-tiba masuk dan bergabung dengan Aiden. Seruan penonton amat sangat riuh. Kolaborasi yang mereka tampilkan sangat apik. Mereka tampil seolah sudah berlatih bersama selama bertahun-tahun hingga nyaris menyentuh kata sempurna. Aiden turun dari panggung setelah selesai. Dilanjutkan oleh Chris Martin yang mulai menyanyikan tembang andalan mereka. Drew tampak santai dan menikmati konser hingga selesai. Kami tak langsung keluar setelahnya, Drew mengajakku untuk ke belakang panggung menemui keponakannya terlebih dahulu. "Hey, Aiden. Kau tampak sempurna, boy," puji Drew sambil mengusap kepala Aiden sekilas. Aiden tersenyum dan langsung mendekap Drew yang menjulang didepannya. "Terima kasih, Paman Drew," ujar Aiden girang sambil tersenyum, memamerkan sederetan gigi putih kecil miliknya. Drew balas tersenyum, "Jadilah anak baik. Dan perkenalkan ini Gior. Gior ini adalah keponakanku Aiden, nama belakangmu sama dengan miliknya." Aku tersenyum kepada Aiden, namun yang Aiden berikan adalah delikan kejam serupa dengan milik Drew. Sial. Aku seperti melihat dua Drew sekarang. Aiden memandangku dengan tatapan meneliti, dan berkata. "Paman, aku tak tahu kau suka berdandan berlebihan seperti Bibi ini. Kalian tampak seperti ingin naik motor." Aku cemberut. Baru kali ini ada anak kecil yang menghinaku secara terang-terangan. Bahkan tepat disaat pertemuan pertama. "Aiden, ini keren. Ini namanya style kekinian," argumenku tak mau kalah. Aiden mendengus. "Paman, apakah Bibi ini kekasihmu?" tanya Aiden penasaran. Dia tak mengindahkan sama sekali pembelaanku. Mungkin dia pikir aku adalah bagian dari makhluk astral di gedung tua ini. Drew melirik sekilas kearahku, dan tersenyum pengertian pada Aiden. Dia tak menjawab apapun. Baguslah, aku menyukai sikap bijaksana milik Drew kali ini. Bijaksana dari mana? Bilang saja kau kecewa Gior. Aku teringat sesuatu dan merogoh ke dalam tas. Mencari benda yang mungkin bisa membuatku menjalin hubungan baik dengan Aiden. "Bibi punya permen, Aiden mau?" tanyaku polos sambil menyodorkan beberapa permen lollipop kepadanya. Tanpa aba-aba, mereka berdua langsung tertawa keras. Aku menatap Drew dan Aiden dengan pandangan tidak percaya. Apa yang salah? Drew mencoba menahan tawanya, "Maaf, Gior. Aku tak ingin kau tersinggung. Tapi Aiden berumur 10 tahun. Buku lebih menarik dari pada permen." Mau tak mau perkataan Drew membuatku mencebik dan cemberut. Lalu berbalik melangkah meninggalkan mereka berdua keluar dari backstage. Drew terus memanggilku, namun tidak aku hiraukan. Aku terfokus pada pintu keluar yang berada didepan mata. Apa-apaan mereka seenaknya menertawakan Gyorintt Aiden. Aku seorang supermodel, meskipun aku adalah wanita bodoh, setidaknya tidak ada yang menertawakan diriku selepas mereka. Aku bisa benar-benar Gila. Seseorang mencekal tanganku dan aku tahu itu Drew. Aku kira dia akan tetap berada disana bersama keponakannya yang menyebalkan itu. Ternyata dia mengejarku. Dia pasti akan menawarkanku tumpangan untuk pulang. Aku berbalik menghadapnya dan masih berpura-pura cemberut, "Ada apa?" Drew tampak tersengal, begitupula dengan Aiden yang melangkah dengan keringat bercucuran memenuhi wajahnya. "Kau berjalan sangat cepat, Gior," kata Drew masih mencoba menetralkan nafasnya. "Katakan apa yang ingin kau katakan. Aku ingin cepat-cepat pergi dari tempat ini," ujarku dengan nada malas. Lalu Drew menyodorkan tas yang sangat familiar di mataku. "Apa maksudmu meninggalkan ini? Membuatku mengejarmu dan itu melelahkan! Jika kau meninggalkan tasmu, bagaimana kau akan membayar taksi?" ‘Deg’. Dia menyuruhku pulang menggunakan taksi? Apakah dia tega? "Aku akan makan bersama Aiden. Jika kau ingin pulang aku tak masalah. Sepertinya kau sedang buru-buru jadi aku pikir-" "AKU IKUT!" potongku cepat. Habislah kau, Gyorintt. ∞∞∞ Aku tak pernah lagi bertegur sapa dengan Drew. Malam itu menjadi malam paling memalukan yang pernah aku rasakan. Saat itu Drew dan Aiden asik bercanda. Menceritakan kedua orang tua Drew yang sangat 'menarik'. Dan mereka sama sekali tidak menganggap keberadaanku sama sekali. Harusnya aku tak menerima ajakan menggiurkan milik Drew meskipun aku ingin. Perasaanku makin kesal ketika sejumlah channel di TV menampilkan berita tentang diriku dan Drew. Mereka bahkan membahas fotoku bersama Drew. Dan s**t. Darimana mereka mendapat fotoku ketika mencium pipi Drew? Bahkan mereka mendapatkan angle yang pas dimana aku ditampilkan layaknya w*************a yang mencium bibir Drew. Kenapa bisa terlihat seperti ini? Aku mendesah frustasi melihat berita-berita yang semakin tak terarah. Aku kira aku akan menyukai berita seperti ini, nyatanya aku salah. Dari semua channel, satu yang paling menarik minatku. "Gyorintt Aiden tampaknya sedang menjalin kasih dengan pemilik dari Smart Communication. Pria tersebut diketahui sebagai Andrew Smart, putra tunggal keluarga Smart. Andrew sendiri belum bisa mengkonfirmasi kabar ini. Namun jika dilihat, pastilah mereka tengah menjalin hubungan serius." Aku tertegun dan menggaris bawahi kalimat yang baru saja aku dengar. Menjalin kasih dengan pemilik dari Smart Communication? Dan orang itu adalah Andrew Smart. Tetangga menyebalkan. Bahkan aku meminta bantuannya jika suatu saat video-ku benar-benar tersebar. Aku benar-benar gila sekarang. ∞∞∞
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD