7

1876 Words
  “Kenapa kau tidak ikut saja ke acara kelulusan Aiden. Aku yakin dia akan sangat marah padaku karena dia mungkin berpikir aku membawa pengaruh buruk. Seperti biasa,” sungutku pada Drew yang masih terbaring diatas ranjang kami dengan mata yang mengikuti setiap gerakan senam lantaiku. Tadi pagi, Drew tidak jadi ikut pergi ke acara kelulusan Aiden dengan alasan lelah. Memang tidak bisa dipungkiri kami baru saja tiba dan mungkin hanya mendapat dua jam tidur. Sangat jauh dari kata cukup. Joo dan Choo juga baru tiba satu jam yang lalu. Mereka berangkat sesudah kami karena harus menjalani beberapa rangkaian tes kesehatan terlebih dahulu. “Aku tidak ingin, G. Mereka pasti menyuruhku berpidato,” ujarnya sambil mengerucutkan bibir dan melotot kearahku. Dasar pria aneh! “Mereka tidak mungkin menyuruhmu pidato, bodoh! Lagi pula, mereka pasti memberitahu terlebih dahulu jika kau disuruh menyampaikan pidato!” Aku melotot kearahnya. Namun tetap melanjutkan gerakan yang baru setengah jalan. Beberapa kali Drew berdeham. Namun dia tak membahas kata-kataku sama sekali. Matanya masih menatapku penuh kekaguman. Tentu saja, para pria tak akan bisa melakukan gerakan-gerakan lentur namun indah seperti ini. Lama kami terdiam. Beberapa kali Drew mencoba menalihkan perhatiannya pada ponsel, namun kembali lagi padaku. Melihat ekspresinya yang nyaris beberapa kali tertangkap basah menelan ludah, ide jahil baru saja terlintas di kepalaku. “Drew… bisa aku minta tolong?” Dia mengernyit bingung. Namun bangkit dari tempat tidur dan berjalan kearahku. Aku menatapnya sekilas lalu bangkit berdiri. “Aku akan melakukan hand stand, tugasmu hanya menjaga keseimbanganku. Cukup dengan menahan kedua pinggulku saja.” Jelasku dengan nada seolah hal ini adalah sesuatu yang biasa. Padahal, tanpa dirinya pun aku bisa melakukan sendiri. Tetapi rasanya menyenangkan jika bisa menggoda Drew. Dia mendelik, “Kau tidak sedang mengerjaiku ‘kan?” Aku menggeleng cepat, “Tentu tidak!” Tiba-tiba jantungku berdetak cepat, aku tak tahu ada apa sebenarnya dengan perasaanku saat ini. Benar-benar konyol, kenapa aku merasa grogi? Bukankah seharusnya Drew yang merasakan hal tersebut? Aku berjalan menuju ujung matras, sedangkan Drew berdiri tepat di tengah matras. Dia berkonsentrasi pada tubuhku, menungguku datang dan dengan segera menahannya. Namun sebelum itu terjadi, aku sudah ingin menyerah. Sepertinya aku mengambil cara yang salah karena aku tahu, aku tak akan pernah bisa menolak pesona seorang Andrew Smart. “Apa yang kau lakukan di sana? Berdiam diri dan menyuruhku menunggu?” tanya Drew dengan seringai nakal yang menghiasi bibirnya. Aku menelan ludah. Dengan berhati-hati dan menjaga degub jantungku, aku segera berjalan dan mulai bertumpu dengan satu tangan. Namun, sepertinya perhitunganku gagal, tubuhku tidak seimbang. Tak ada tangan yang menahanku, aku nyaris saja terjatuh saat akhirnya kedua tangan itu menyambutku. “Berhentilah menggodaku, atau kita akan berakhir ditempat tidur,” katanya dengan ekspresi gelap khas orang b*******h. Aku menelan ludah. Lagi-lagi dia berhasil membaca pikiranku. Harusnya di menjadi seorang cenayang dibandingkan CEO perusahaan. “A-aku tidak menggodamu,” jawabku terbata sambil berusaha bangkit berdiri. Tetapi tangannya malah menahanku agar tidak bergerak. Aku hanya diam tanpa sempat berpikir. Tak lama, kurasakan dia menggendongku ala bridal dan membawaku ke atas ranjang. “Istirahatlah. Jangan paksa organ tubuhmu bergerak. Mereka pasti lelah. Aku akan ke belakang memberi makan Joo dan Coo.” Dia mengecup keningku sekilas dan berjalan keluar menghilang di balik pintu kamar. ∞∞∞ Aku menatap ngeri pada Aiden yang duduk tepat diseberangku pada saat makan malam. Sangat tahu, pastilah dia membenciku karena membuat Drew tidak datang ke acara kelulusannya. Desahan berat keluar begitu saja. Dari sudut mataku, aku melihat Drew menghentikan kegiatan makannya sekilas. Sebelah tangannya turun mengelus pahaku menenangkan, seperti memahami kegundahan hatiku sekarang. Ya memang seharusnya aku mengalami kegundahan ini. Kurang dari 48 jam video skandalku menyebar ke seluruh dunia. Mustahil memang jika orang tak menghebohkan masalah ini. Ternyata ketenaranku membawa duka pada akhirnya. Memang seharusnya aku malu. Malu akan tingkah lakuku di masa lalu. Apa aku harus tetap berada di sini? Pikiranku kacau, benar-benar kacau. Aku tak mengerti, ketika kemarin hinggal sore tadi, aku tak merasakan atmosfer yang seperti ini. Berada dalam kecanggungan dengan pikiran yang berputar. Apakah orang-orang di ruangan ini pernah melihatku bercinta dan telanjang? Jika ia, biarkan aku termakan dalam lubang hitam besar. Semua ini membuatku kehilangan nafsu makan dan merasakan mual seketika. Aku adalah Gyorintt Aiden dengan predikat wanita jalang sekarang. Bukan lagi Gyorintt Aiden yang dielu-elukan sebagai seorang artis Hollywood dan supermodel. Tidak lagi. Setidaknya ketenaranku di dunia yang aku bangun selama hampir 10 tahun hilang sudah karena seorang Sam. Aku benar-benar membenci pria itu. Tiba-tiba gejolak ingin muntah kembali ketika mengingat Sam. Lebih tepatnya persetubuhanku dengan pria itu. Aku bangkit dari kursi dengan tangan berada di mulutku, menahan mereka agar tidak keluar. Aku berlari kearah kamar kami, kamar aku dan Drew karena di sanalah aku mengetahui letak kamar mandi. “Kau sakit?” tanya Drew ketika aku masih memuntahkan sisa makanan yang baru saja masuk ke dalam perut. Aku mendongak, mengintipnya dari kaca wastafel. Dia tampak khawatir, terlihat dari raut muka tegangnya. Rasa mual tiba-tiba menyerangku kembali. Aku sampai tak bisa mengetahui apa yang aku keluarkan. Sebuah handuk basah hangat sudah ada di tengkukku, diiringi dengan pijatan-pijatan kecil yang berasal dari tangan kekar Drew. “Aku benar-benar menjijikkan,” lirihku seraya menatap ngeri kearah cermin. Aku membenci kenyataan jika dulunya wajah ini yang disukai orang-orang. Aku sangat yakin saat ini mereka sudah tak peduli pada wajah ataupun tubuhku. Tidak, mungkin mereka masih membutuhkan tubuhku sebagai teman bermasturbasi. Drew diam tak merespon ucapanku. Tangannya masih sibuk menggosol tengkuk dan mengambil handuk baru untuk mengeringkan mulutku. Tak ada yang bicara setelahnya. Kami hanya bertukar pandang melalui kaca wastafel. Sesekali dia membetulkan letak kacamata berbingkai hitam itu. “Kau sakit?” dia bertanya pada akhirnya. Aku menggeleng pelan sebagai jawabannya. Kenyataannya aku tak sakit. Aku hanya mengingat Sam. Dan itu membuatku mual dan jijik. “Tidakkah kau merasa jijik padaku?” Air mataku menetes ketika melontarkan pertanyaan itu. Ini salah. Jelas sangat salah ketika aku berdiri di sini, bersama dengan laki-laki yang menanggung malu karena kesalahanku. Drew terdiam. Tampak berpikir dan ragu ketika ingin menjawab. Namun bagiku itu sudah cukup sebagai jawaban. Dia merasa jijik padaku, seorang wanita yang tubuhnya ditonton dan menjadi objek fantasi p****************g. Aku menggeleng dan terkekeh. “Aku tak bisa menerima semua kebaikanmu, Drew. Aku adalah seorang gadis yang kotor. Aku menarik kata-kataku yang mengatakan aku menerima lamaranmu. Aku tidak pantas.” Sial. Mataku terasa panas ketika berbicara seperti itu pada Drew. Aku tak mengerti kenapa aku sesedih ini. Dan aku berharap aku benar-benar tak jatuh cinta padanya. Hal yang akan membuatku sakit berkali-kali. “Tidak, kau harus tetap menikah denganku, Gyorintt.” Aku benci ketika dia memanggilku Gyorintt, bahkan terkadang dia menganggapku sebagai orang asing. “Kau tak bisa memaksaku, Drew. Aku selalu punya pilihan meskipun itu disaat tersulit yang aku hadapi. Terima kasih kau telah membantuku untuk kabur dari masalah. Tetapi aku tak bisa Drew. Aku tak akan bisa.” Aku berbalik agar bisa menatap wajahnya secara langsung. “Bahagialah, Drew. Terima kasih karena telah membantuku. Aku tak ingin merepotkan dirimu lebih dari ini. Dan besok aku akan menyuruh managerku mentransfer uang jasamu.” Seketika itu juga ekspresi Drew berubah nyalang. Dia menatapku dengan wajah penuh kemarahan. Sepanjang aku mengenalnya, ini adalah kemarahan terbesar yang pernah aku lihat. “TIDAK!” teriaknya kasar sambil menarik tubuhku agar masuk ke dalam kamar kemudian membanting tubuhku ke ranjang besar miliknya. “AKU TAK AKAN MELEPASKANMU. APAPUN AKAN AKU LAKUKAN AGAR KAU TAK MERASA JIJIK PADA DIRIMU SENDIRI. DAN KAU BERTANYA APA AKU MERASA JIJIK PADAMU? TIDAK! AKU MERASA JIJIK PADA DIRIKU SENDIRI YANG TAK BERANI MENGATAKAN APAPUN PADAMU.” Drew kemudian menciumku dengan kasar. Menelusuri dan menjelajah bibirku dan bagian dalam mulutku. Aku hanya diam tak membalas ciumannya. Hanya diam terpaku. Tanpa melakukan apapun, menolak ataupun membalas perbuatannya padaku. Semua rasa itu menguar begitu saja. Aku benar-benar seorang jalang. Bahkan Drew akhirnya memperlakukanku seperti seharusnya. Seperti seorang jalang yang mau melayani siapa saja. Dadaku bahkan terasa sakit. Tapi ini Drew. Aku tak tahu apa yang harus aku rasakan kecuali rasa sakit yang berasal dari kedua tangan besar Drew. Aku tahu ini salah. Aku tak boleh diperlakukan seperti ini. Aku bukan seorang p*****r! Namun kata-kata itu tak kunjung keluar. Jalang. Jalang. Jalang. Kata-kata itu terus terngiang di kepalaku. Aku merasakan sebuah dorongan akan meledak, namun aku kembali menahannya. Aku tak boleh menikmatinya untuk pria ini. Biarlah dia menikmatiku sebagai p*****r kecilnya. Aku terkekeh ditengah tangisanku ketika melihat wajah khawatir Drew. “Aku baik-baik saja. Kau baru saja menyadarkan aku, kalau aku memang p*****r yang layak diperlakukan seperti seharusnya,” ucapku dengan nada datar namun sedikit bergetar. Dia tampak kaget. Sepertinya dia baru saja menyadari perbuatan kejinya itu. Sebelum dia mengatakan sesuatu, aku sudah berbalik memunggunginya. “Maaf,” “Maafkan aku,” “Aku mencintaimu.” Kata-kata itulah yang aku dengar dengan jelas sebelum kegelapan merenggutku ke dalam lubang tanpa ujung. ∞∞∞ “Kau tak makan, sayang?” tanya wanita paruh baya yang merupakan ibu Drew. Kini wanita itu duduk ditepi ranjangku. Dia memegang sebuah nampan berisi buah dan makan siang hari ini. Sudah tiga minggu semenjak kejadian itu. Drew tetap berada di sampingku, dia bersikap seperti biasa, malah cenderung lebih manis. Namun, aku tak pernah meresponnya. Maksudku, aku tak pernah berbicara ketika dirasa tidak perlu. Awalnya memang penuh kecanggungan. Akhirnya aku pun terbiasa. Dengan Drew yang memberi banyak perhatian, dan aku yang merespon seadanya saja. Sialnya aku tak bisa pergi dari rumah ini. Drew selalu memantau keberadaanku. Meskipun aku tak pernah bisa berpindah dari kasur ini. Kecuali pada sore dan pagi hari ketika aku mandi. Dan untungnya hari ini Drew kembali ke New York untuk sementara waktu. Aku menggeleng sebagai jawaban. Seperti yang biasa aku lakukan, hanya menggeleng dan mengangguk sebagai jawaban. “Jangan membuat dirimu sulit, Gior. Drew mencintaimu.” Dan aku juga mencintainya. “Drew adalah anak yang penuh obsesi,” ujar Ibu Drew pada akhirnya ketika aku tak menjawab. “Mungkin kau akan melihatnya sebagai kutu buku pada awalnya. Ya, kutu buku itu adalah putraku. Seseorang yang hanya ingin berjuang sendiri untuk mendapatkan sesuatu. Dia adalah pria yang tak membuka dirinya sembarangan, bahkan padaku. Disaat orang tua lain mengetahui kapan pertama kali anaknya mengalami pubertas, aku tidak. Sangat menyedihkan ketika hidupmu sebagai orang tua tak pernah dibutuhkan anakmu sendiri. Terakhir kali aku memakaikan pakaian untuknya, itu saat dia berumur satu setengah tahun. Tapi itulah Drew-ku. Dia menyayangi kami dengan caranya. Kau percaya jika dia tak pernah mengatakan perasaannya padaku?” Aku menggeleng sebagai jawaban. “Dia tak pernah melakukannya. Ayah Drew selalu menginginkan Drew menjadi yang terbaik. Dengan obsesi yang dimiliki anak itu, tentu saja itu bukan hal yang sulit. Aku kira dia hidup tanpa rasa. Aku bahkan baru mengetahui jika Drew pernah memiliki kekasih saat seorang wanita datang sambil membawa sebuah pisau lipat dan mengancam ingin memotong nadinya jika Drew memutuskan hubungan mereka. Saat itu dia berumur 18, dia sangat sibuk dengan segala yang berbau teknologi, sama seperti ayahnya. Jadi sangat mengejutkan ketika seorang gadis datang dan menceritakan kehidupan s*x-nya bersama Drew,” ujar wanita itu sambil tersenyum sendu. Jika saja ini dalam keadaan normal, mungkin aku akan penasaran dan mendengarkan cerita s*x Drew. Tapi … “Mrs. Smart bisa aku bertanya sesuatu?” Wanita itu tampak berbinar mendengarku bertanya sesuatu. Dia langsung menggangguk sumringah. “Jika kau adalah aku dan Drew adalah orang yang kau cintai, apa yang akan membuatmu yakin dengan pernyataan cintanya?” Dahinya berkerut dalam dan dia akhirnya tersenyum. “Cukup dengan cara melihat usaha apa yang dia lakukan. Aku tak pernah menginginkan kesempurnaan, sayang.  Buatlah dia memperjuangkan dan mempertahankanmu di tengah badai. Bahkan seorang bajak laut pun rela tenggelam bersama kapalnya dibandingkan berenang menuju ke tepi.” Aku tertegun. Sebuah ide muncul begitu saja di dalam kepalaku. Bukan ide licik, hanya sebuah pembuktian. “Aku ingin keluar dari sini, Mrs.Smart.  Aku akan kembali jika saatnya tiba. Aku berjanji.” Dia tampak kaget dan salah tingkah. Tentu saja, pastilah Drew memerintahkan orang-orang di rumah ini untuk memantau dan menjagaku. “Ini berat, sayang. Drew mencintaimu.” “Aku mengerti, dan aku akan kembali. Itu janjiku.” Dia tampak berpikir dan kemudian mengangguk. “Syaratnya kau harus memberitahu ke mana tujuanmu. Aku akan memastikan kau sampai disana dengan selamat.” ∞∞∞
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD