6

1445 Words
Bugh bugh bugh Aku menggedor pintu apartemen milik Drew hingga aku yakini nyaris roboh. Tak ada lagi kesempatan menggunakan bel, kesabaranku sudah habis. Bagaimana bisa laki-laki itu menganggap aku ini mudah dibodohi? Sejujurnya memang begitu, hanya saja tidak bisakah dia membodohiku sedikit saja. Dia bertindak seolah-olah aku tidak perlu mengenalnya. Mungkin dia tak ingin aku menganggapnya sombong, baiklah. Dan salahkan aku yang tak pernah bertanya apa pekerjaannya dan ada apa dengan nama 'Smart' sialannya itu. Masih tak ada jawaban dari Drew yang membuatku makin geram. Tak mungkin ia ada urusan di akhir pekan seperti ini. Drew adalah tipe orang yang sangat-sangat bisa mengatur waktu. Suara pintu berderit, menandakan seseorang baru saja membukakan penghalang tersebut. "DREW-" suaraku tercekat ketika Drew dengan beraninya mengecup bibirku. Aku masih terpaku pada ciuman Drew dia masih belum melepaskannya, namun juga tidak ada peningkatan dengan apa yang dia lakukan. Cukup lama ia melakukannya, sesaat kemudian tautan kami pun terlepas. "Jangan berisik." Drew dengan wajah megantuknya memandangi diriku dengan tatapan menilai. Tak lama dia mengusap wajahnya kasar lalu masuk ke dalam. Aku mengekorinya seperti seekor anak ayam. Pria itu kemudian membanting tubuhnya ke sofa dan mendongak. "Ada apa?" tanyanya dengan suara serak khas orang bangun tidur. Berbagai macam pertanyaan tiba-tiba muncul di kepalaku. Drew selalu bangun tidur tepat waktu meskipun itu pada akhir pekan. Dan ini sudah hampir pukul 1 siang. Bahkan dia tak mengajak Joo dan Coo untuk jalan-jalan ke taman. Benar-benar aneh. "Kenapa kau baru bangun?" Dia menggeliat dan bangkit duduk sedikit tegak. Matanya menyipit tajam menatapku. Cara Drew menatapku langsung membuat salah tingkah. Aku berdeham beberapa kali, barulah dia memutuskan kontak diantara kami. "Bagaimana bisa aku tidur jika semalaman para wartawan gila itu terus meneleponku meminta konfirmasi?" Aku tertegun. Benarkah? "Kenapa kau? Maksudku disini aku lebih terkenal dibandingkan dirimu, tapi kenapa kau malah yang dimintai konfirmasi?" sungutku kesal. Dia mendengus, "Mungkin semua orang sepertimu penuh dengan drama." Drew selalu menyebalkan. Tanpa menjawab pertanyaan Drew aku keluar dari apartemennya dan kembali ke apartemenku sendiri. Aku langsung masuk ke kamar mencari ponselku. Dan disana hanya ada panggilan tak terjawab dari Ibuku, Laura, dan Agensi. Untuk yang pertama aku melakukan panggilan kepada agensi terlebih dahulu. "Rick, ada apa?" tanyaku langsung pada topik. Rick adalah manager yang aku dapatkan dari agensi. Dia yang mengurusi semua jadwal dan pekerjaan yang aku terima. Dia adalah seorang pria gay. Terdengar tawa milik Rick diseberang sana. "Gior, kau gadis pintar," katanya masih dengan tawa menggelegar. Aku mengerutkan dahiku bingung, "Apa maksudmu?" "Para piranha di sana menginginkan kau memiliki pengganti Sam. Dan kau dapatkan orang yang tepat." "Maksudku, Andrew Smart. Dia tangkapan bagus, Love," sambungnya dengan nada senang yang membuatku berang seketika. "BERHENTI MEMANFAATKAN KEHIDUPANKU ATAU AKU TIDAK AKAN MEMPERPANJANG KONTRAK KITA PADA AKHIR MUSIM INI. DAN AKU INGIN BERITA INI MEREDA," teriakku sambil memutuskan sambungan telepon kami. Bisakah ini menjadi lebih buruk? Awalnya aku mengira berita tentang Drew dan aku akan menaikkan pamorku di kalangan Hollywood. Namun aku lupa satu fakta. Jika aku tak bisa memilikimu, maka orang lain juga tak bisa ... Samuel. ∞∞∞ Sial. Ini adalah hari tersial dalam hidupku. Menghadapi seorang pria gila yang memerintah di bawah ancaman. Saat ini aku sedang berada di taman dekat apartemen. Membawa dua setan berbulu putih yang menyebalkan, Joo dan Coo. Mereka sangat menikmati apa yang mereka lihat. Aku bersyukur karena mereka menjadi anjing yang baik dan kompak sehingga tidak menyulitkan aku menggiring mereka menuju taman. Drew sialan. Tadi pagi pria itu datang ke apartemen membawa serta Joo dan Coo. Dia menitipkan dua anjing tersebut padaku karena harus berangkat ke Los Angeles untuk menghadiri kelulusan Aiden bersama orang tuanya. Katanya dia tak akan menitipkan Joo dan Coo ke hotel hewan karena takut tidak dirawat dengan baik. Tentu saja aku menolak awalnya. Aku benci anjing. Dengan Laura memiliki Tosser pun aku sudah cukup tersiksa. Tapi pria itu mengancam tidak akan membantu masalah video-ku yang akan tersebar nantinya. Dasar pria licik! Joo dan Coo tampak antusias memperhatikan orang-orang yang melintas. Beberapa kali Joo tebar pesona kepada anjing betina yang ada di sana. Sedangkan Coo tampak cuek dan mengacuhkan Joo. Benar-benar kisah romansa yang rumit. Sembari terus memperhatikan Joo dan Coo, aku memikirkan nasibku sendiri. berita tentangku dan Drew sama sekali belum meredup. Hanya saja saat ini para wartawan juga ikut memburuku untuk dimintai klarifikasi. Aku hanya menjawab mereka dengan senyuman tanpa kata-kata. Lain halnya dengan Drew yang malah memberi respon seolah-olah berita itu benar adanya. Ponselku berdering, nama Drew muncul disana. Padahal baru tadi pagi dia menyerahkan Joo dan Coo. Dan pria itu sudah merindukan mereka? Aku menolak panggilan tersebut. Namun, ponselku lagi-lagi berdering. "Ada apa?" tanyaku ketus setelah mengangkatnya. Dia tak langsung menjawab. Tampaknya dia sedang berbicara dengan orang lain dengan nada yang penuh dengan amarah. Beberapa kali aku mendengar umpatan keluar dari bibirnya. Aku menunggu lumayan lama hingga ia bersuara. "Kau ada dimana?" tanyanya dengan nada khawatir. "Aku ada di taman. Kau merindukanku, hmm?" candaku. Dia tak merespon dan kembali berbicara pada orang lain sebelum akhirnya dia kembali bersuara. "Tunggu di sana. Dan jangan kemana-mana. Kalau bisa bersembunyi ditempat yang sepi. Aku akan meneleponmu jika sudah ada di sana." Sambungan terputus. Jantungku berdegup kencang. Perasaanku tiba-tiba menjadi tidak enak. Keadaan taman hari ini tidak terlalu ramai. Jadi aku tak harus mendatangi tempat sepi untuk bersembunyi. Kemungkinan orang mengenaliku juga sangat kecil karena aku hanya menggunakan kaos, jeans, sandal jepit dan sunglasses. Sangat jauh dari kesan elegan yang biasanya aku tampilkan. Terbukti beberapa orang tak melirikku dua kali ketika melintas. Ponsel milikku kembali berdering, Drew. "Kau dimana?" tanyanya sebelum aku bicara. Aku mendengus ketika mendengar kata-kata to the point miliknya. "Sebelah selatan taman dekat dengan air mancur Johnson." "Jangan bergerak, aku akan kesana." Kemudian dia memutuskan sambungan. Ada apa sebenarnya dengan Drew? Bukankah dia harus ke Los Angeles? Tak lama seseorang menepuk pundakku, aku berbalik dan menemukan Drew di sana. Dia tetap tampan meskipun tubuhnya penuh dengan keringat seperti sedang melakukan marathon. Drew mengambil alih Joo dan Coo dari tanganku. Aku menatapnya bingung. Sedangkan Drew menghela nafas panjang dan berlalu. Aku masih terpaku di tempat, bingung atas apa yang sudah terjadi. Kepalaku terasa sakit karena memikirkan hal tersebut. "Cepatlah! Ada yang mau aku bicarakan," katanya ketus. Aku bangkit berdiri dan mengikutinya berjalan ke sebuah Lexus berwarna hitam, mobil Drew. Setahuku, Drew bukanlah orang yang suka berganti-ganti mobil. Terbukti, dia hanya memiliki satu buah mobil. Drew amat sangat diam saat mengemudi. Begitupun Joo dan Coo. Mereka seperti tampak memahami isi hati majikannya. "Bukannya kau harus ke Los Angles?" tanyaku tanpa menoleh ke arahnya. Dia berbalik menghadapku sekilas lalu menggeleng. Aku kesal setengah mati ketika dia tak menjawab pertanyaanku. Apa yang sebenarnya dia pikirkan? Kenapa pria seperti dia benar-benar menyulitkan? Trotoar jalan hingga pelataran apartemen tampak ramai oleh orang-orang. Aku tak tahu apa yang terjadi di sana. Aku melirik Drew, dia tampak mengumpat berkali-kali dan membuat perasaanku langsung nelangsa. "Apa terjadi kecelakaan lalu lintas?" Drew tampak tegang dan dia menggeleng. Aku tak berani banyak bertanya lagi setelahnya. Dia tampak memutar mobilnya menjauhi apartemen kami. Ada apa? "Drew, sebenarnya ada apa?" aku bertanya lirih hingga nyaris tak terdengar. "Kita akan pindah ke Los Angeles. Aku tak peduli kau mau atau tidak." What? ∞∞∞ Butuh waktu tujuh jam sebelum keberangkatan kami ke Los Angeles berjalan mulus. Tujuh jam yang dihabiskan hanya untuk mengurus semua keperluanku dan Drew. Bagaimana bisa dia mengajakku pindah pada saat dan tempat yang tidak tepat. Selama tujuh jam pula aku dilarang menggunakan ponsel dan harus berdiam diri didalam ruangan tunggu khusus tamu VVIP bandara, tanpa TV. Aku mendengar beberapa orang keamanan berbicara tentang keributan yang terjadi di Bandara. Aku ingin bertanya, namun aku urungkan karena melihat mereka yang sibuk. Saat hendak bertanya pada Drew, dia sedang sibuk mengurusi Joo dan Coo yang juga ikut pindah bersama kami. Sejak keputusannya menculikku, aku tak bicara lagi pada Drew. Dan dia bersikap acuh padaku. Aku tak tahu mengapa atau apa yang sedang terjadi, aku menjadi seperti orang bodoh dari yang terbodoh. Beberapa tamu VVIP yang kebanyakan para pengusaha berumur tampak menatapku dengan tatapan heran.Tatapan yang langsung membuat rasa percaya diriku musnah. Mereka menatapku dengan tatapan, penuh nafsu? Aku tak tahu. Drew datang beberapa saat kemudian dan langsung menjatuhkan bokongnya tepat disampingku. "Dengarkan aku." dia memerintah. Aku masih diam dan menatap kosong ke depan. Terserahlah, siapa peduli? "Gyorintt!" Aku masih tetap diam. Dia tertawa merendahkan, dan mengusap wajahnya frustasi. "Dengarkan aku," perintahnya sambil menarik pundakku agar menghadap ke arahnya. "Aku tak akan ikut terjerat masalah ini jika bukan karena dirimu. Kau yang datang padaku meminta bantuan. Aku sedang membantumu saat ini. Maaf aku tak bisa mengatakan apapun padamu. Aku sedang membantumu sekarang, bersabarlah. Sebentar lagi akan selesai." Air mata terasa menusuk mataku, memaksakan diri mereka agar bisa keluar dari dalam pelupuk. Aku tak mengerti. Apa yang sebenarnya terjadi? "Kau kekasihku, ingat? Kita akan membuat ini menjadi baik." Aku kekasihnya. Dan saat itu air mataku mengalir deras tanpa bisa dihentikan. Sekarang waktunya, semua yang aku takutkan sudah terjadi. "Maafkan aku tak bisa mencegah mereka," ucapnya lirih, "Maafkan aku tak bisa membantumu, Gior." Tangisku semakin pecah. Tak ada lagi hal yang bisa aku lakukan selain menangis. Menangis keras hingga rasanya amat sangat sesak. Hingga sebuah rengkuhan mengurungku ke dalam dekapan hangatnya. "Menikahlah denganku, Gior. Kita akan melewatinya bersama-sama." ∞∞∞
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD