8

2153 Words
“Mau pergi kemana kau?” teriak seseorang ketika aku sedang menurunkan koperku dari satu anak tangga ke yang lain. Suara itu. Aku mendongak dan menemukan Drew dengan wajah marah bercampur kecewa berdiri di ujung tangga. Aku menelan salivaku sendiri. kegugupan tiba-tiba datang, mengingat Drew yang berkata dia akan kembali ke New York untuk beberapa hari. “Baru satu hari aku meninggalkanmu, dan kau sudah berani mencoba keluar dari rumah ini,” ujarnya sambil berjalan ke arahku. Saat dia ada di depanku, aku kembali tidak bisa berkutik. “Aku ingin pergi, Drew. Aku tidak pantas dan tidak akan pernah bisa untuk berdiri di sampingmu. Aku…” “CUKUP!” Drew berteriak didepan wajahku. Aku memejamkan mataku dan merasakan air mataku sendiri mengalir. Tiba-tiba Drew merampas koper yang tadinya aku genggam dengan erat. Ketika aku membuka mata, dia sudah kembali berjalan ke atas menuju ke kamar kami. Dengan langkah tertatih, aku mengikutinya. Tadinya aku ingin berlari keluar dan pergi dari rumah ini jika tidak mengingat semua keperluanku berada didalam koper sialan itu. Aku meringis ketika melihat Drew yang mendorong koperku ke dinding dengan keras ketika dia sudah masuk terlebih dahulu ke dalam kamar. Aku yakin dia telah merusak koperku. “Gyorintt, dengarkan aku,” kata Drew sambil menangkup kedua pipiku. Dia menatap langsung kedalam mataku. “Di luar, ada Laura, Rush, dan Arthur.” Apa?! “Aku harap kau bisa bersikap biasa, kita bisa membicarakan ini ketika mereka sudah kembali ke New York. Okay?” Aku mengangguk sebagai jawaban. “Aku akan keluar 10 menit lagi.” lirihku. Drew mengangguk dan meninggalkan kamar. Tak lupa menutup pintu. Tubuhku merosot seiring rasa sakit yang tiba-tiba tumbuh di hatiku. Apa sebenarnya aku belum siap untuk pergi dari Drew? Kenyataannya hatiku bersorak ketika dia berada di ujung tangga. Meskipun kenyataannya menyakitkan jika dia—orang yang kau cintai—memperlakukanmu bagaikan wanita tak memiliki harga diri. Meskipun begitu, aku memastikan dalam hati jika aku memang sudah tidak memiliki harga diri semenjak adanya skandal video itu. Aku bangkit berdiri sesaat kemudian, menukar pakaianku menjadi lebih santai dan memperbaiki dandananku di cermin. Terlihat lebih baik meskipun masih dengan mata sembab merah akibat menangis. Dengan mengaplikasikan sedikit concealer pada sepuratan mata, sembab itu sudah sedikit berkurang dan menyisakan warna merahnya saja. Itu bisa diatasai dengan tetes mata. ∞∞∞ Aku melangkah dengan gugup menuruni tangga mansion ini. Sedikit takut karena pastinya Laura mendengarkan keributan yang kami akibatkan. Dia pasti akan menyerangku dengan berbagai macam pertanyaan aneh seputar ‘bagaimana bisa kau bersama dengan Drew?’. Wajar saja, aku tak menghubunginya lagi sejak tiga minggu yang lalu, itu mungkin jika aku tak salah ingat. Dan bahkan aku belum menghubungi ibuku karena memang ponselku belum kembali. Ingatkan aku untuk memintanya. “Apa aku ketinggalan sesuatu?” Mereka langsung mengalihkan pandangan kearahku yang kini berdiri dengan kikuk. Mata Laura menyipit dan menilai, meskipun sesaat kemudian dia dapat menguasai dirinya lagi. “Kemarilah, sayang,” perintah Drew sambil menepuk-nepuk sofa yang ada disampingnya. Sejujurnya aku sedikit tercekat ketika Drew memanggilku dengan sebutan ‘sayang’. Kuakui, rasa senang itu muncul benar-benar dari dalam hati. Aku berjalan ke arah Drew dan duduk di sampingnya tanpa berbalik menatap wajahnya meskipun aku ingin. Berpura-pura menjadi pasangan bahagia bagiku sudah cukup memuakkan. Aku mengangkat wajahku dan bertemu pandang dengan Laura. Dia tentu saja menyadari perubahan sikapku. Dan aku bersyukur ketika tawa Arthur segera merenggut perhatiannya. “Well, sepertinya Arthur merindukanmu, G,” ujar Rush bersemangat. Dia selalu bersemangat terutama jika berhubungan dengan anaknya. Andaikan dulunya Sam bersikap seperti Rush. Dan sekarang aku melontarkan penyesalan secara tidak langsung. “Kau tidak mau menggendongku, Aunty?” tanya Laura dengan menirukan suara seperti anak-anak yang kami sambut dengan kekehan. Aku bangkit dan mengambil Arthur ke dalam gendonganku, sebelum akhirnya kembali duduk bersama Drew. “Hey, Buddy. Ternyata sekarang kau lebih menggemaskan dibanding terakhir kita bertemu,” kataku sambil menciumi perut buncit Arthur. Anak itu tertawa terbahak hingga wajahnya memerah. Laura hanya bisa menggeleng-geleng melihat tingkahku. Sesaat kemudian kami larut dalam obrolan dengan Arthur masih berada dalam gendonganku. Dia tampak sangat tenang dengan tangan mencoba menggapai bandul dikalungku dan memasukkannya ke dalam mulut. Saat ini dia berusia 8 bulan, di usianya Arthur sudah memiliki 4 gigi. Mungkin itu sebabnya dia sangat suka memasukkan sesuatu ke dalam mulut. Sesekali Drew melirikku dengan pandangan berbinar. Dia tampak sangat menikmati interaksiku dan Arthur. Laura dan Rush hanya tersenyum maklum melihat sikap penuh maksud kami. Hingga saat ini pun aku bersyukur karena Laura belum mulai bertanya. Jika saat itu tiba, maka aku tak akan bisa menyembunyikan apapun lagi. “Aku sempat kagum saat kau dengan hebatnya dapat mengalihkan perhatian media, Bung. Dan aku masih penasaran bagaimana caramu membuat video itu tampak seperti hanya Sam dan perempuan lain.” Perkataan Rush sontak membuat aku menoleh ke arah Drew. Dia masih tampak tenang meskipun aku bisa melihat ada keringat muncul di sekitaran rambutnya. Drew berdeham, “Aku hanya melakukan apa yang masih bisa aku lakukan. Meskipun pada awalnya video itu di upload dalam versi asli. Untungnya para pegawaiku bergerak cepat dan video itu dihapus meskipun memiliki beberapa viewers tentu saja.” Aku hanya menyimak pembicaraan mereka, meskipun topik mereka sebenarnya adalah diriku. Tentu saja aku tidak mengerti. Selama hampir satu bulan di sini, hidupku tanpa ponsel dan TV. Bukan karena dia kekurangan uang dan tak bisa membeli TV. Aku yang menghindari mereka. Aku tak ingin melihat bagaimana orang-orang dengan mudahnya menghancurkan karierku. Rush dan Laura saling berpandangan dan mengangguk, “Aku dengar kalian akan menikah,” tanya Laura yang langsung membuat aku tersedak liurku sendiri.  Sedangkan Drew bersikap biasa dan bisa dikatakan dia bahagia. “Ya, rencananya begitu, tinggal beberapa persiapan lagi. Mungkin sekitar sepuluh persen.” APA?! “Drew!” dia berbalik menatapku dengan wajah bingung. “Kau tak melibatkan aku sama sekali dalam masalah ini!” teriakku tanpa sadar. Drew masih bersikap tenang dan terkekeh. Namun aku tahu dia hanya berusaha terlihat baik dihadapan Laura dan Rush. “Aku tak ingin membuatmu lelah, sayang,” ujarnya santai yang langsung aku balas dengan delikan. Sepertinya hidup dengan Drew hampir satu bulan ini membuatku jadi lebih pandai mendelik. “Okay, kami tak ingin mengganggu perdebatan mesra kalian jadi mungkin kami akan kembali ke hotel saja. Dan besok rencananya kami akan berkencan, Laura ingin kalian berdua juga hadir. Arthur akan dijaga oleh pengasuhnya,” ujar Rush yang akhirnya melerai perdebatan kecil aku dan Drew. “Baiklah, tetapi akan lebih baik jika Arthur dijaga oleh Ibuku. Meskipun saat ini dia sedang berada di luar, dia sangat ingin bertemu dengan Arthur.” Drew tersenyum, “Kau bisa mengantar Arthur dan pengasuhnya kemari besok. Dan Ibuku dengan senangnya akan mengawasi bocah tampan ini.” Akhirnya Rush dan Laura pamit. Tak lupa aku memberikan beberapa ciuman kembali pada Arthur yang sudah tertidur didalam gendongan ibunya. Astaga, dia benar-benar menggemaskan. Laura sempat menyuruhku menceritakan kembali bagaimana kronologi aku bisa menikah dengan Drew. Meskipun pada awalnya aku tahu, dia tak setuju jika aku berhubungan dengan Drew. ∞∞∞ “Apa maksudmu persiapan pernikahannya tinggal sepuluh persen. Aku bahkan tidak melakukan apapun!” tanyaku dengan nada ketus saat melihat Drew keluar dari kamar mandi. Dia melirikku yang kini duduk di tepi ranjang. Dan dia akhirnya dia duduk tepat di sebelahku, sangat dekat. Sebenarnya sejak Rush dan Laura pulang aku sudah ingin menanyakan hal ini. Namun saat mobil keluarga kecil tersebut hilang dari pandangan, Drew langsung masuk ke dalam ruang kerjanya tanpa melirikku sama sekali. Aku hanya bisa menghembuskan nafas berat. Aksi kaburku gagal, dan Drew berubah dingin. Perpaduan yang sangat sempurna. “Ya, aku melakukannya. Bukankah aku sudah katakan jika aku akan memilikimu dengan cara apapun, G,” katanya dengan tenang. Nafasku tercekat. Ada apa dengan dia yang seenaknya mengklaimku dengan cara seperti ini. Aku merasa tak dianggap. Kutatap matanya. “Tapi aku bukan barang yang bisa  kau beli atau tender yang bisa kau menangkan, Drew. Aku bukan keduanya. Kenapa kau memperlakukan aku seperti ini?” tanyaku lirih. “Kau bukan, Gyorintt!” bentaknya yang membuat aku tersentak. “Tidakkah kau paham jika aku menginginkanmu meskipun Tuhan harus menukarnya dengan Smart sekalipun. Aku tidak peduli!” Tiba-tiba saja nyaliku menjadi ciut mendengar Drew mengatakan hal tersebut. Drew berdiri dan mengacak rambutnya yang basah dengan geram. Tak lama, dia menatapku frustasi dengan berkacak pinggang. Dan aku baru sadar dia sedang tidak menggunakan kacamatanya. Bisakah aku mengatakan dia sangat hawt? Dengan sebuah kaos  ketat yang membungkus tubuh berototnya, dan tetap manis dengan menggunakan celana piyama kotak-kotak itu. Bukan saatnya Gior! “Kau tahu, G.” Drew kembali bicara, saat itupula fokusku kembali. “Awalnya aku tak pernah tertarik padamu. Demi Tuhan, anggaplah aku tidak normal karena tidak tertarik pada tubuhmu yang paling sexy menurut orang seluruh dunia. Ya anggaplah seperti itu.” Dia mengambil jeda sesaat sebelum melanjutkan. “Aku kira kau adalah gadis bodoh yang hanya bisa memamerkan tubuhmu untuk mendapatkan popularitas dan uang. Namun anggapanku ternyata salah. Saat kau mabuk dan tidur di apartemenku, kau merubah segalanya.”  Drew tersenyum kecil, “Saat itu aku baru saja mengganti pakaianmu yang terkena muntahan dan hendak meletakkanmu di atas kasur. Saat itu juga aku jatuh cinta padamu. Kau bahkan menyatakan cintamu padaku saat tidur. Aku selalu mengingat bagian dimana kau mengatakan ‘kenapa Tuhan bersikap tidak adil? Drew bisa mencintai Laura, dan tidak denganku. Apa yang salah dengan aku mencintainya?’. meskipun kau mengatakannya dengan lirih, kalimat-kalimat itu bagaikan sebuah lullaby untukku.” Aku meringis ketika Drew mengatakannya. Ya, walaupun dia mengatakannya dengan cara yang manis. Tetap saja aku merasa malu! Ingatkan aku untuk tidak mabuk lagi. “Kau bohong! Mana mungkin aku jatuh cinta padamu secepat itu,” sanggahku tak terima. Yang benar saja, aku tidak mungkin mengatakannya. Meskipun aku tertarik! Bahkan aku baru menyadarinya satu bulan ini. Dan aku yakin wajahku sudah merona sekarang. Drew terkekeh. Wajah frustasi dan geramnya entah sudah berlayar kemana. Dia menjadi lebih rileks dan tampan. “Kau memerah. Itu sudah cukup bagiku untuk pembuktian bahwa yang aku katakan itu benar.” Drew kembali mendekat dan berjongkok didepanku. “Jujur saja aku senang mendengarnya. Ternyata ada wanita pantang menyerah yang diam-diam mencintaiku. Saat aku selalu memperlakukannya dengan kasar dan acuh. Dia tetap tak mengubah perasaannya.” “Aku hendak keluar kamar saat itu, tetapi kubatalkan karena kau terus-terusan memanggil namaku. Itu sangat manis, G. Jadi yang aku lakukan saat itu adalah memperhatikanmu tidur dan mendengarkanmu yang bergumam aneh. Tetapi hal itulah yang membuat aku akhirnya bertekad untuk memilikimu.” Aku kembali meringis. “Tetapi aku tak pernah mengatakan itu!” Aku kembali menyanggah, mencoba menutupi perasaan malu yang kini melanda. “Kau selalu mengatakannya hingga saat ini.” “Tidak mungkin!” balasku masih dengan keras kepala. Drew mengambil ponsel miliknya yang berada di atas nakas. Dengan senyum geli yang masih mengembang di bibirnya, dia memperdengarkan aku rekaman itu. Rekaman yang membuat aku berharap bumi bisa menelanku saat itu juga. “Kau mencintai Drew?” tanya  pria dalam rekaman itu. “Ya, aku mencintai Andrew Smart.” Sial itu suaraku! “Kau ingin menikahinya?” tanya pria itu lagi. “Tentu saja, dia sangat hot.” Apa-apaan itu?! “Cukup!” perintahku ketus pada Drew. Saat ini pria itu memasang senyum kemenangan miliknya. Aku membuang pandanganku, tak sanggup harus menanggung malu lebih dari ini. “Sudah kubilang, kau mengatakannya,” kata Drew disusul dengan kekehan. Aku mencebik tak suka, “Lagipula aku mengatakannya dengan tidak sadar!” “Jika kau mengatakannya dengan tidak sadar, apakah itu artinya kau berbohong? Dari yang aku dengar, saat seseorang berada di alam bawah sadarnya, kemungkinan untuk berbohong sangatlah kecil.” Aku terdiam dan mengakui kesalahanku secara tidak langsung. “Jadi Gyorintt Aiden, dengarkan baik-baik karena aku tak akan mengatakannya dua kali.” Aku mendelik dan mengangguk secara bersamaan. Tunggu, respon apa itu? “Baiklah, katakan saja,” ujarku berpura-pura tak tertarik. “Gyorintt Aiden. Kau adalah wanita yang membuat hidupku perlahan berubah. Membuatku menjadi kurang tidur karena lebih tertarik memperhatikan dirimu yang terlelap. Membuatku tidak bisa bekerja dengan fokus hanya karena merindukanmu. Membuatku selalu bermasturbasi karena—“ “Awww!” ringis Drew saat aku memukul kepalanya dengan keras. “Kau harus melewatkan bagian bermasturbasi, bodoh!” sergahku cepat. Sedangkan Drew tertawa dan meringis disaat bersamaan. Dia masih berjongkok namun kali ini menggenggam kedua tanganku yang bebas. “Aku Andrew Robert Smart, ingin meminta secara resmi kepada Gyorintt Debora Aiden untuk menjadi istriku. Aku harap kau menerimanya, G. Karena aku tahu kau amat sangat mencintaku.” Dan ini sangat manis. Air mataku yang bodoh ini akhirnya mengalir dengan deras. Aku tak akan menyangka jika Drew kembali melamarku, lagi. “Kau percaya diri sekali, Mr. Smart. Sayangnya kau masih melamarku tanpa cincin. Kau kira aku ini wanita macam apa?” jawabku dengan nada sombong. Dugaanku salah. Drew ternyata tertawa terbahak ketika mendengar responku. “Maaf harus membuatmu kecewa, Miss Aiden. Tetapi ini sudah ketiga kalinya aku melamarmu, dan aku adalah orang yang selalu belajar dari pengalaman.” Aku mengerutkan dahiku bingung. Namun akhirnya paham dan kembali terharu saat Drew mengambil sesuatu dari dalam laci nakas. Sebuah kotak berwarna hitam. Saat dibuka, isi di dalam kota itu membuatku menjadi terisak. Sebuah cincin dengan berlian kecil tertempel tepat di tengah-tengahnya. Demi Tuhan, ini berlebihan. Drew sangat manis! “Tak keberatan jika pertunangan ini hanya dihadiri oleh kita berdua?” tanyanya sambil menggenggam tanganku meyakinkan. Aku terkekeh disela isak tangis. “Segera pasangkan cincin itu, Drew. Sebelum aku berubah pikiran.” Akhirnya Drew memasangkan cincin bermata indah itu pada jari manisku. Adakah yang lebih manis daripada ini? Tidak ada, bahkan ini jauh lebih romantis dari yang aku harapkan. “Kau menyukainya?” tanya Drew yang sadar jika sedari tadi aku memperhatikan cincin indah ini. Tanpa diduga olehnya, aku menabrakkan diriku sendiri kepadanya. Sehingga kami jatuh terguling ke lantai yang dingin. “Tentu saja aku menyukainya!” Drew menatap kedalam mataku, yang membuat aku langsung tersenyum lembut. Meskipun sadar, kata cantik jauh dari deskripsi wajahku saat ini. Sembab dan merah. Dia menngecup bibirku sekilas, “Terima kasih karena sudah menerimaku, G.” dan dia kembali menciumku. Menciumku dengan ganas seolah ini adalah akhir dari dunianya. Aku memutuskan ciuman ini pertama kali dan berkata, “Tidak ada s*x sebelum menikah, Drew.” “APA?!” Aku tertawa dan naik ke atas ranjang terlebih dahulu, meninggalkan dia yang masih terkejut karena ucapanku. Rasakan itu Andrew Smart! Ck! ∞∞∞
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD