"Carry?" ucapku tanpa sadar.
Wanita itu mengangguk dan tersenyum.
Air mataku menetes tanpa sadar. Kupandangi Dokter Gerald, Drew dan wanita itu bergantian, semuanya tersenyum kepadaku.
Aku maju beberapa langkah menuju wanita itu. Dia merentangkan tangannya lebar, memintaku untuk masuk ke dalamnya.
Kupeluk tubuhnya erat. Dia masih hangat seperti saat aku memeluknya dulu. Aku bahkan tak bisa menghitung berapa lama kami tidak bertemu.
Pelukan kami terasa semakin dalam seiring dengan isak tangis yang kini tak hanya berasal dari bibirku, melainkan dari Carry juga. Kami menangis, beberapa kali Carry mengelus punggungku lembut. Aku semakin merasa hangat, seakan tak ingin melepaskan diri dari pelukannya.
Setelah beberapa menit kemudian kami memutuskan untuk berhenti berpelukan. Kutatap wajah cantiknya yang kini sudah berwarna cokelat. Sinar matahari nampaknya membakar dengan sempurna. Dan perut rampingnya!
Awas saja kalau Drew berani melirik perut rata Carry. Aku akan membunuhnya!
"Kau baik, G?" tanya Carry padaku. Aku mengangguk sambil berusaha menghapus sisa-sisa air mata yang kini terasa lengket di pipi.
"Aku baik, Carry. Dan kau? Kau semakin cantik. Ternyata kecantikan gen Aiden masih tertanam dalam dirimu," ujarku penuh candaan. Mereka semua tertawa karena leluconku.
Caroline, wanita itu adalah saudaraku satu-satunya. Sejujurnya aku senang bertemu dengannya meskipun merasa canggung. Wajar saja, kami sudah berpisah sejak aku berusia lima tahun, aku tak tahu. Itu sudah sangat lama, namun aku bisa mengenalinya kurang dari satu menit.
Aku harap itu berita bagus.
"Well, girls. Sepertinya kalian butuh waktu berbincang. Mungkin kami lelaki harus menyiapkan brunch. Bagaimana, dude?" kata Drew yang di sambut dengan tawa renyah Dokter Gerald. Namun tak lama kemudian mereka berjalan menuju halaman belakang.
Sedangkan aku dan Carry hanya menggeleng maklum melihat kekompakan para pria itu.
∞∞∞
"Jadi kalian suami istri?" tanya Drew kepada Carry maupun Dokter Gerald.
Aku menghentikan gerakan menyuap potongan daging panggang karya Drew dan Dokter Gerald.
Ah ya, harusnya aku menanyakan hubungan mereka dari tadi.
"Ya, Carry. Kenapa kau bisa berada disini bersama Dokter Gerald ini?" Aku ikut bertanya.
Keduanya tampak salah tingkah dan saling menatap untuk waktu yang lama. Carry yang memutuskan kontak itu untuk pertama kali. Sedangkan Dokter Gerald tampak lebih tenang.
"Kami terlibat hubungan yang rumit," ujar Dokter Gerald tenang. Aku dan Drew mengangguk mengerti dan memutuskan untuk mengganti topik pembicaraan.
"Kenapa kalian datang begitu lama? Harusnya kau membawanya saat tahu jika dia adalah kakakku, Dokter," rajukku pada Dokter Gerald.
Dokter Gerald tertawa sambil menggaruk tengkuknya. Dia menatap Carry sebelum beralih kepadaku. "Aku menyadari saat melihat kemiripan di antara kalian berdua. Aku pikir hanya kebetulan wajah kalian mirip. Tetapi saat melihat nama belakangmu, aku langsung sadar saat itu juga." Dia melirik Drew sekilas dan bergidik, "Namun tiba-tiba seseorang datang ke rumah sakit dan terlebih dahulu menghajarku. Ingatkan aku untuk tidak bergabung dalam rencanamu lagi, G."
Aku tertawa keras mendengar keterangan Dokter Gerald. Sadar betul jika orang yang dia maksud adalah Drew. Aku memakluminya karena saat itu Dokter Gerald sangat baik dalam berperan hingga membuat Drew nyaris gila.
Harusnya dia mendapat dua pukulan di kepala.
"Kau membohongiku, dude. Bahkan aku nyaris mati saat itu." Drew berucap sinis.
Kami semua kembali tertawa.
"Carry, kau tahu? Aku sangat sangat merindukanmu. Kalian bahkan pergi saat aku tidur di malam hari," ungkapku sedih.
Flashback
Malam di musim dingin. Ini adalah awal bulan Januari. Badai salju kerap kali datang tanpa diduga.
Aku dan kakakku Carry sedang meringkuk di dalam selimut hasil rajutan ibu malam itu. Selimut ini merupakan gabungan pakaian bekas milik kami.
Mommy dan Daddy hanya bekerja di ladang. Namun saat musim dingin seperti ini tak ada salah satu dari mereka yang bekerja.
Mom hanya merajut dan Dad mungkin sedang meminum anggur merah hasil racikan kakek kami terdahulu.
"G ... kenapa badanku terasa tidak enak? Bisakah kau panggilkan, Mom?" Aku berbalik dari posisi telungkup. Dan menghadap kearah Carry yang berbaring sambil memeluk dirinya sendiri.
Aku bangkit duduk dan menghadap ke arahnya. Carry sudah delapan tahun. Itu yang sering Mom katakan.
Dia terus mengigil menahan sesuatu. Aku tak tahu apa yang dia lakukan. Usiaku baru lima tahun untuk memahami apa maksud Carry. Dia kemudian menarik tangan kananku agar menyentuh dahinya. Hangat.
Aku berusaha memanggil Mom saat itu dan berkata jika Carry sakit. Namun tak ada jawaban yang aku terima. Mom tidak mendengar?
Langkah kecilku menyusuri lantai kayu rumah kami. Aku tak menemukan Mom dimanapun. Kamar tidur, ruang tamu, bahkan dapur.
Aku kembali ke kamar dan melihat Carry yang mulai mengerang dan mengeluh kedinginan. Dengan berlari-lari kecil aku pergi ke kamar Mom dan mengambil sebuah wadah berisikan minyak tradisional untuk dibalur saat kami di gigit serangga. Aku ingat saat itu minyak tersebut terasa hangat saat menyentuh kulit.
Dengan kecepatan maksimal aku berlari membawa minyak tersebut dan mulai mengoleskannya pada Carry.
Beberapa saat kemudian Carry mengerang. Namun kali ini bukan kedinginan. Melainkan tubuhnya terasa seperti terbakar.
Aku mulai panik.
Bagaimana ini? Apa aku terlalu banyak mengoleskannya?
Kepanikanku bertambah saat Carry bangkit berdiri dan menuju kamar mandi. Aku tak mengerti apa yang terjadi setelahnya.
Aku menjerit sambil menangis dan berteriak, "Mommy! Mommy!" Namun tak ada jawaban.
Merasa tak ada jawaban, aku berlari menuju ke luar rumah. Menerjang badai salju yang untungnya tidak menimbun diriku hidup-hidup.
Dari kejauhan aku melihat lampu ruang penyimpanan menyala dan berharap seseorang ada di sana.
Dan sialnya, aku baru merasakan dingin itu saat pakaian dan celanaku basah. Tanpa alas kaki. Sangat pintar.
Aku langsung mendorong pintu merah besar di sana. Benar saja. Memang ada seseorang di sana, maksudku tiga orang. Dad, Mom dan Uncle Peter semuanya berkumpul.
Sepertinya tak ada yang menyadari kehadiranku sama sekali.
Aku baru menyadari satu hal. Aku gadis lima tahun yang belum mengerti apapun.
Dan saat ini, aku menyaksikan Dad dengan brutalnya memukuli Uncle Peter—pekerja di ladang kami. Mom tampak menjerit berkali-kali. Dia mencoba berada di antara Dad dan Uncle Peter. Mom semakin kesulitan menghalangi kedua orang tersebut. Beberapa kali gaun malam yang dikenakannya melorot.
Uncle Peter tak bergerak. Wajahnya bengkak dengan banyak darah di sana. Aku ketakutan dan menutup mata rapat dengan kedua tangan. Sialnya rasa penasaranku masih menguasai sehingga beberapa kali aku berusaha melihat apa yang terjadi dari sela-sela jari.
‘Deg’
Carry.
"Mom!!" teriakku sambil menangis. Seketika semua gerakan itu terhenti.
Mereka berbalik dan nampak kaget dengan kehadiranku di dalam ruang penyimpanan ini.
Dad mengumpat dan berbicara kotor berkali-kali. Uncle Peter tampak sudah tergeletak di tanah.
Hal pertama yang aku ketahui, Mom sudah menggendongku dan berlari menembus salju ke dalam rumah. Tampaknya kami meninggalkan Dad di sana.
"Apa yang kau lakukan di luar pada malam hari seperti ini, G?" tanya Mom setengah membentak.
Mataku terasa panas saat mendengar nada bentakkan tersebut. Sesaat kemudian aku menangis, hal yang sangat umum dilakukan bocah berusia lima tahun.
Dia menurunkanku dekat perapian dan mengambilkan sebuah handuk besar untuk menyelimuti tubuhku.
Saat itulah aku ingat apa tujuanku ke ruang penyimpanan.
Namun rasanya terlambat saat mendengar ternyata Mom sudah berteriak dari dalam kamarku dan Carry.
Beberapa hari kemudian rumah tampak kembali mencekam. Carry sudah perlahan pulih. Namun seringkali dia menangis sendiri.
Aku tak tahu apa penyebabnya. Dia sedih karena aku melumurinya dengan minyak gosok itu?
"Ada apa, Carry?" tanyaku sambil membawakannya sebungkus snack kentang kesukaan kakakku itu.
Dia tampak menghapus air matanya dan berbalik kearahku dengan senyum merekah.
"Hey, princess," ujarnya sambil tersenyum.
Aku menghampirinya dan ikut berbaring di atas ranjang kami. Tak perduli jika remahan snack kentang tersebut akan mengotori ranjang tersebut.
"Kau menangis karena aku membalurmu dengan minyak serangga itu?" tanyaku polos.
Dia terkekeh, namun tetap memandangku dengan sedih.
"Aku menangis karena Dad akan membawaku ke ujung pelangi, G."
Aku berbinar. "Pelangi? Bukankah di sana banyak bidadari? Kenapa Dad tidak mengajakku juga?" Aku cemberut bahkan nyaris menangis.
Carry mengusap rambut pirangku dan kembali berkata, "Bidadarinya sedang berlibur ke surga, G. Mereka akan kembali akhir musim semi. Dad akan menjemputmu juga saat mereka sudah kembali." Aku mengangguk dan kembali mengunyah snack kentang tersebut.
"Uhmm ... Gior." Aku mendongak dan menatap manik mata Carry. Bukan, aku hanya merasa heran saat dia memanggilku dengan sebutan 'Gior'.
"Bisakah kau menjaga Mom selama aku dan Dad pergi? Jangan pernah tinggalkan dia, okay? Kami akan menjemputmu akhir musim semi," sambung Carry.
Aku kembali mengangguk, "Aku akan menjaga, Mom. Kau tenang saja. Aku sudah dewasa. Memangnya kapan kalian akan pergi?"
Carry tersenyum sedih sebelum berkata, "Malam ini. Dad akan membawaku saat bulan mulai tinggi."
Flashback off
∞∞∞