15

1251 Words
Gior POV   "Drew? Kau masih di sana?" Tanyaku ketika tiba-tiba ada keheningan di antara kami. "Tentu saja, Baby. Aku masih disini. Ada yang ingin kau katakan?" tanya Drew di ujung sambungan. Aku mendengus pelan. Hal ini biasa terjadi sejak persiapan pernikahan kami mulai dijalankan. "Kau sibuk rupanya. Aku akan menelponmu lain waktu kalau begitu." "Hey,G! Tidak aku sedang tidak sibuk, hanya saja-" Aku memutuskan sambungan kami. Sejujurnya aku sedikit geram dengan Drew yang sudah sangat jarang bersamaku. Memang persiapan pernikahan hingga souvenir semua yang mengurusnya adalah Drew. Tetapi, tidak seharusnya dia mengorbankan aku seperti ini. Ya, bulan depan kami akan melangsungkan pernikahan di Long Beach yang sekarang menjadi rumah kami. Selain berada di pinggir pantai yang indah, kami tidak perlu melakukan perjalanan ke Los Angeles yang memakan waktu lumayan lama dan melelahkan. Tentu saja Drew tidak akan mengizinkanku melakukan perjalanan jauh. Itu masih belum seberapa. Drew bahkan menyewa tujuah asisten rumah tangga. Tujuh. Dan itu jumlah yang sangat banyak. Memang betul rumah pinggir pantai kami cukup besar. Namun, bukan karena itu Drew menyewa banyak asisten rumah tangga. Para asisten tersebut memiliki tugas masing masing. Memasak, mencuci pakaian, mempersiapkan perlengkapan mandi milikku, membawakan makanan—kemanapun aku ingin makan, memeriksa setiap pakaian yang akan aku pakai, menjagaku, dan satu lagi hanya akan mempersiapkan dirinya jika ada sesuatu yang mendesak. Dan semua itu dilakukan oleh orang yang berbeda. Itu tidak termasuk perawat yang akan mengecek keadaanku setiap harinya. Perkerjaan Drew? Pria itu bekerja dari rumah. Mungkin hanya sekitar dua kali dalam satu minggu dia kembali ke Los Angeles untuk mengecek kantor lalu pulang pada malam harinya. Satu bulan terakhir adalah bulan paling sibuk bagi kami. Persiapan pernikahan, siklus ngidamku yang selalu datang, dan Smart yang masih berada dalam krisis. Ya, aku baru mengetahui jika krisis Smart merupakan buntut permasalahan videoku dan Sam. Smart dituntut karena kelalaian mereka dalam meloloskan suatu konten. Drew mengatakan saat video itu tersebar mungkin hanya sekitar nol koma nol sebelas persen yang berhasil dan tanpa sengaja melihat wajahku disana. Dalam waktu lima detik tersebut, sistem Smart baru bisa menghapus konten videoku dan Sam. Beberapa jam setelahnya video Sam dan seorang gadis jalang yang entah siapa kembali tersebar. Video itu hanyalah video rekayasa semata. Sedangkan video aslinya memang milikku dan Sam. Drew mengupload ulang video tersebut dalam bentuk yang berbeda. Ya, maksudku video itu menampakkan wajah gadis lain dan bukan diriku. Sedangkan wajah Sam? Jernih tanpa blur sama sekali. Aku tak tahu bagaimana Drew bisa melakukannya. Dan saat itu Drew dapat memastikan perusahaan Sam akan segera bangkrut. Terkejut? Tentu saja! Ternyata kekasih nerdy-ku itu telah membalas Sam telak. Meskipun dengan balasan akun official Smart—sebagai penyebar konten tersebut—harus rela terlibat dalam masalah hukum dan krisis hanya demi diriku. Well, Drew begitu manis dan betapa pintarnya dia. Awalnya aku masih bertanya-tanya mengapa saat di taman waktu itu ada banyak sekali media yang ternyata telah menungguku. Dan aku kembali terkekeh saat Drew mengatakan, "Mereka hanya ingin menjual fotomu yang menangis kasihan pada pemberitaan Sam, G." Aku hanya mengangguk saat itu. Masih sedikit shock dengan cara berpikir Drew yang ternyata sangat-sangat tak disangka. Jika aku menjadi dia, aku hanya akan menghapus video itu dari sistem dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Bahkan tak terpikir olehku untuk membalas Sam dengan cara yang paling membuatnya malu. Katakanlah aku terlalu kejam pada Sam. Biarkan saja, aku sudah tak memperdulikannya semenjak ada Drew di sampingku. Sam hanyalah serpihan masa lalu yang menyedihkan. Pria pengecut yang tak pantas hidup di sini. Tunggu, kenapa aku membicarakan Samuel? Tidak, aku tak akan memikirkan pria itu untuk sementara. Dia pria payah yang tak memiliki waktu luang untuk mengajak kekasihnya berbicara. ∞∞∞ Aku mengaduk-aduk buah apel dan semangka potong yang ada di dalam mangkuk sarapan milikku sambil menatap Drew tajam. Sedangkan yang ditatap hanya tersenyum aneh. Dengan kasar aku menyuap potongan-potongan buah-buah tersebut sebelum akhirnya menyingkirkan mangkuk itu keras. "Menyebalkan sekali, bahkan dia tidak meminta maaf," gerutuku kepada diri sendiri. Aku berjalan sambil memegangi perutku. Minggu ini dokter mengatakan kandunganku sudah berusia empat bulan. Pantas saja aku kehilangan perut rataku. Bahkan saat ini aku tak terlihat seperti supermodel ataupun mantan model. Namun sejak bulan lalu, aku menuntut agar Drew memperbolehkan aku melakukan pemotretan kehamilan setiap bulannya untuk koleksi pribadi. Bahkan aku sudah berpikir untuk mengajaknya bergabung saat bulan ke sembilan nanti. Seperti keluarga bahagia yang ada di majalah-majalah. Kenyataannya, Drew tak pernah ingin di foto. Menyebalkan saat melihatnya memotret diri sendiri namun tidak ingin berpose layaknya model profesional. Padahal dia tampan. Ahhh bodohnya kau, G. Berhentilah memikirkan ketampanannya. Percuma saja tampan namun tidak memberimu waktu luang! jerit hatiku. Aku menghentakkan kaki kasar, menaiki tangga menuju balkon besar di atas rumah. Balkon yang langsung menghadap pantai. Sejenak aku teringat perkataan Drew saat aku masih terbaring di rumah sakit. Maksudku, saat aku masih berakting depresi. Aku terenyuh ketika melihat Drew membaca buku tentang kehamilan, lalu menceritakan apa yang dia baca padaku. "Matahari pagi sangat baik untuk menjaga kulitmu saat hamil, G." Dengan langkah pasti aku menuju ke kursi pantai yang ada di balkon ini. Tentu saja untuk berjemur. Well, musim semi memberikan kehangatan terbaik disini. Aku tersentak kaget ketika secara tiba-tiba Drew duduk di tempatku berbaring. Untung saja kursi pantai ini cukup luas dan kuat. Setidaknya aku tidak perlu khawatir akan terjungkal. "Apa kabar anak Daddy hari ini?" tanya Drew sambil mengelus perutku selembut bulu. Aku memasang wajah cemberut melihatnya yang bahkan tidak bertanya padaku. Sialan kau Drew. Awas saja kalau kau tidak mengajakku bicara dalam waktu satu menit, aku akan menyuruhmu berendam di laut lepas sepanjang malam. "Mommy-mu sensitif sekali. Daddy sampai tak tahu harus bagaimana lagi menjelaskan betapa sibuk kantor kita. Bahkan Mommy sudah tak perduli lagi, dia tak bertanya apa saja kegiatan Daddy di kantor seperti biasanya," ucap Drew tak sampai satu menit aku merutukinya dalam hati. Dia terkekeh. Mungkin karena melihat raut wajahku yang berubah. Dia maju dan mengecup tepat pada dahi dan bibirku. Drew tersenyum dan maju sekali lagi untuk mengecup kedua bola mataku, "Maafkan Daddy, Mommy. Hanya sedikit lagi, G. Aku harap kau bersabar padaku dan aku yakin kita bisa melewati masa-masa krisis Smart. Janji?" Drew mengacungkan satu jari kelingkingnya, awalnya aku diam menahan geli. Namun, semua itu berlalu begitu saja saat Drew dengan tidak sabar menarikku ke arahnya, menciumku dengan ganas. "Rasanya aku masih ingin melanjutkan ini dan mengunjungi anak kita, G. Sayang sekali sebentar lagi kita akan kedatangan tamu penting." Aku menatapnya bingung dan mempertanyakan siapa tamu penting yang dimaksud. Namun, Drew hanya tersenyum dan mengusap kepalaku gemas. Tak lama bel berbunyi menandakan seseorang telah mengunjungi kami. Drew bangkit berdiri dan mengatakan jika tamu pentingnya sudah datang. Siapa yang akan bertamu sepagi ini? Meski masih bertanya-tanya, aku mengapit tangan Drew dan memutuskan untuk turun bersama-sama ke bawah. Jantungku berdebar seolah menandakan ada hal yang akan terjadi. Semacam firasat yang mungkin berarti baik dan buruk. Langkah demi langkah kami menuruni tangga. Dan ada beberapa pelayan yang menunggu kedatangan kami. Kalian pernah menonton film bertemakan kerajaan, dimana ada beberapa pelayan yang akan menunggu sang raja dan ratu dari tangga? Aku rasa kami sedang berperan dalam film itu. Beberapa kali aku mencuri pandang ke arah Drew yang tampak sama tegangnya. Aku menggenggam tangannya semkin erat sehigga dia menunduk dan tersenyum padaku. Senyum dipaksakan. Setibanya di ruang tamu, sepasang manusia sudah duduk di sana. Mereka tampak tidak nyaman dan tegang sama seperti kami. Langkah kami semakin mendekat. Betapa terkejutnya aku ketika mengenali salah satu dari orang yang tampak sangat faniliar itu. "Dok-Dokter Gerald," ucapku dengan nafas sedikit tersendat. Dokter Gerald tersenyum dipaksakan padaku sebelum akhirnya menarik sang wanita berdiri. Dan lagi, wajahnya sangat familiar. Hanya saja sangat sulit untuk aku ingat siapa wanita tersebut. Hidung mancung, rambut pirang, bibir tipis.... "Hi, G. A-Aku Caroline," ucapnya terbata. Sesaat aku mengangguk. Namun aku menyadari satu hal. NAMANYA CAROLINE?! "Carry?" ucap bibirku tanpa sadar. Dan air mataku mengalir saat melihat wanita itu mengangguk sambil tersenyum tulus. Benarkah dia? Benarkah wanita itu adalah... ∞∞∞
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD