14

1250 Words
Gior POV   Drew berhenti melangkah saat pengakuan bodoh itu menguar begitu saja dari mulutku. Ya, harusnya aku menguji Drew lebih lama lagi. Tetapi mendengar semua pengakuannya bagiku itu sudah cukup. Tujuan pertamaku adalah melindungi calon bayi kami. Dan Drew sudah melakukannya. Dia akan melindungi aku dan bayiku. Aku masih tidak mengerti keinginan Drew untuk pergi dariku. Apakah dia tega? "A-apa maksudmu, G?" tanya Drew tidak percaya. Dia masih belum berbalik ke arahku. Ya, tentu saja dia belum percaya jika aku bicara! "Apa ini hanya ilusiku, G?" tanyanya lagi. Perlahan dia berbalik. Tatapannya bertemu dengan mataku. Saat itulah aku menangis. Aku menangis saat Drew menatap langsung ke mataku. Ya Tuhan, aku benar-benar mencintainya! "Apa ini hanya mimpi?" Dia kembali bertanya. Aku menggeleng, "Apa didalam mimpimu aku menangis?" Saat itulah Drew langsung berlari ke arahku. Bukan memeluk atau pun merangkul. Pria itu malah bersujud tepat di lututku. Aku bisa merasakannya, merasakan jika saat ini Drew menangis. Dengan usaha keras aku mencoba mengangkat tubuh itu. Namun gagal dan selalu gagal. Hingga akhirnya Drew tetap di sana, dia menangis bersamaku. Rasa bersalah menyelinap masuk ke dalam hati. Dengan teganya aku membohongi Drew seperti ini. Namun, jika ini tidak dilakukan, kami berdua tidak akan pernah sadar seberapa besar cinta yang kami milikki. Aku menganggap ini sebagai ujian, jika kami bertahan, maka artinya cinta ini cukup untuk saling menyayangi dan menjaga. Aku berharap kami bisa bertahan. "Maaf ... maaf ... maaf ... maaf. Maafkan aku, G. Maafkan aku atas semua rasa sakit itu. Rasanya aku lebih baik jatuh miskin atau bahkan mati jika melihatmu menderita lebih dari ini." Dia masih bersujud dan menangis. Hatiku tersengat aliran itu kembali. Detak cepat itu juga tak kalah memeriahkan parade cinta kami. "Drew ... " aku baru akan menjawab ketika dia mendongak dan menangkup kedua pipiku. "Aku mencintaimu, Gyorintt. Sangat mencintaimu." ∞∞∞ Dia menyerukan wajahnya pada leherku. Memberi hembusan menggelikan disana. "Jadi, bagaimana bisa kau melakukan penipuan sebersih ini, gadis nakal?" Aku tertawa ketika dengan gemas Drew memberi gigitan-gigitan kecil di sana. "Kau bahkan melupakan jika aku pemenang Piala Oscar lima kali berturut-turut. Cukup mudah bagiku untuk melakukannya," ujarku angkuh. Drew terkekeh dan kembali melakukan kegiatan sebelumnya. "Kau tidak marah?" Aku bertanya. Berharap Drew akan menumpahkan kemarahannya sedikit lebih cepat. Pria itu membalik tubuhku agar menghadap ke arahnya. Dia menatap mataku lekat. Sorot kelembutan dalam matanya memberiku sebuah semangat dan kehangatan yang baru. "Aku sangat bersyukur kau berpura-pura, G. Bahkan ketika kau 'depresi', aku berharap itu semua mimpi." Nada bicaranya melunak. "Ya, meskipun aku sedikit kecewa karena kau sudah berbohong dan membiarkanku mengeluarkan dana yang besar." Dia berpura-pura cemberut. "Kau punya banyak uang, Drew!" kataku balik menyudutkannya. Dia tertawa dan berkata, "Baiklah. Lagipula aku suka rumah ini. Bagaimana denganmu?" Aku mengangguk antusias. "Ini rumah impianku saat kecil, Drew. Kau tahu, saat di Skotlandia, aku tinggal di sebuah peternakan milik kakek. Jadi, aku selalu memimpikan rumah yang dimana aku bisa melihat sunset dan pantai. Bolehkah aku memakai bikini?" tanyaku menggodanya. Drew diam belum menjawab. Aku mengeluarkan puppy eyes yang terbukti mampu meluluhkan hati ibuku. Pria itu akhirnya mendesah panjang. Dia kalah. "Baiklah, kau bisa menikmati sepuasnya pantai pribadi kita, G." ∞∞∞ Dokter dan kedua perawat itu datang kembali, melakukan sekedar pemeriksaan rutin padaku. Entah harus bagaimana. Mengaku pada sang dokter dan memohon bantuan atau hanya diam hingga Laura datang begitu saja. Aku diam, seperti biasa. Sedikit heran ketika dokter ini tidak menyadari jika aku hanya berpura-pura. Apa mungkin dokter ini terlalu bodoh hingga tak menyadarinya? Cih. Pemeriksaan selesai sepuluh menit kemudian. Para perawat mulai berkemas. Satu yang berbeda hari ini. Jika biasanya Dokter Gerald akan lebih dulu keluar, namun kali ini justru dia menyuruh kedua perawat itu keluar lebih dulu. Deg. "Aku tak tahu apa motifmu melakukan hal seperti ini. Jika kau berpikir aku bodoh hingga tak menyadarinya, kau sangat salah, Nona," ujar Dokter Gerald yang sontak membuatku kaget setengah mati. Dokter Gerald adalah pria pertengahan tiga puluhan. Aku mengira, Dokter Gerald berasal dari Eropa. Dilihat dari perawakannya yang besar, dan hidungnya yang ramping. Wajahnya cukup tampan, tetapi sejujurnya belum bisa membuatku tertarik. Aku menengadah, dan tersenyum. "Aku tidak heran jika kau menyadarinya, Dokter. Aku malah merasa aneh saat kau berpura-pura tidak mengetahui kebohonganku." Dia mengangkat bahu, "Maaf, Nona. Sejak awal aku tak pernah memberikanmu obat penenang ataupun obat untuk orang-orang depresi. Tidakkah kau menyadarinya jika obat yang aku beri hanya sekedar vitamin penguat janin?" Dia tertawa renyah. Benar juga. Harusnya aku tahu! Predikat orang bodoh memang selalu pantas disematkan padaku. "Lalu kenapa kau menutupinya?" Pertanyaan yang sedari tadi tertahan akhirnya keluar begitu saja. Dokter Gerald menggeleng tak percaya sambil terkekeh. "Selalu menyenangkan melihat perempuan berusaha menarik perhatian kekasihnya. Istriku terkadang melakukan hal semacam ini. Namun aku selalu cepat menyadarinya. Aku tak tahu apa yang menjadi masalahmu dan Mr. Smart. Hanya ada dua kemungkinan disini, Mr. Smart yang tidak memiliki kepekaan atau kau yang terlalu pandai berperan." Jawaban tersebut membuatku berdecak kagum akan analisis sederhana sang dokter. Aku merasakan aura persaudaraan yang kuat dalam tubuh sang dokter. Ya, saat ini aku ikut melakukan analisis. Analisis sesat yang entah berasal dari mana. Bahkan aku pernah mengatakan bunga sakura pertama tumbuh pada bulan agustus. Benar-benar menyesatkan. "Kau sudah seperti kakakku saat ini!" balasku menggebu. Dia memandang wajahku sedih. "Andaikan saja kau tahu, Nona." "Aku selalu tahu, Dokter," ucapku tak mau kalah. Bahkan aku tak menghiraukan binar sedih di matanya. "Ya, kau bahkan tak mengingat kakakmu sendiri." ∞∞∞ "Drew, apa kau sudah menerima ... hmm." Entah kenapa lidahku kelu saat hendak mengucapkan hal tersebut. Drew berbalik kearahku dan tersenyum. "Anak kita?" Aku mengangguk ragu. Dia mengangkat daging yang ada di atas pemanggang dan mengambil duduk tepat di sebelahku. Meletakkan kedua piring disana. Tentu saja porsiku lebih banyak. Semenjak berdamai dengan Drew, porsi makanku bertambah. Entah itu karena janin atau masakan Drew yang enak. Dengan sabar dia mengiris-iris daging di piringku menjadi potongan kecil dan menyuapkan langsung ke dalam mulutku. "Ada beberapa hal yang tak aku sadari sebelumnya." Dia membuka pembicaraan. Wajahnya bersinar seolah tersenyum dengan mata menerawang. "Hal pertama yang aku sadari adalah kebahagianku saat bersamamu, itu adalah hal yang paling banyak aku sia-siakan. Yang kedua adalah pentingnya dirimu dalam hidupku, G. Aku baru menyadari hal tersebut saat kau terbaring lemah di rumah sakit. Rasanya aku ingin segera mati saat itu juga." Dia berhenti sejenak, mengambilkan air minum untukku. Aku kembali menuntut penjelasannya kembali. "Dan yang ketiga, aku menyadarinya saat datang ke rumah Rush dan Laura. Rush mengizinkanku menggendong Arthur saat itu. Meskipun Laura masih sangat kesal padaku." Aku terbahak mengingat bagaimana Laura berakting dengan bagus, memarahi Drew karena sikap brengseknya. Namun akhirnya, misiku dan Laura berhasil. Membuat Drew sadar akan apa yang dia perbuat. Aku tak menyesal meminjam ponsel Dokter Gerald dan memintanya menghubungi nomor Laura saat itu. Aku bekerja sama dengan Laura? Tentu saja! Dia sahabatku. "Hmm ... aku suka melihat kau tertawa seperti ini, G," ujarnya sambil mengusap rambutku gemas. "Aku akan mengucapkan terima kasih, Drew. Tapi nanti setelah kau selesai berpidato." Dia terkekeh dan mengangguk. "Aku baru menyadari saat melihat kebahagian Rush. Rush memiliki kebahagian sebagai seorang laki-laki yang nyata. Hal tersebut juga ingin aku miliki, hanya saja aku terlambat menyadarinya. Meskipun aku terlalu egois menginginkanmu menggugurkan janin itu, tapi kau harus tahu jika niatku baik pada awalnya." "Namun pesan Rush saat itu yang membuatku akhirnya memiliki keyakinan yang kokoh. Bahwa aku harus bersikap layaknya seorang pemimpin." "Owhh ... so sweet. Sepertinya kau harus menjadi seorang penulis, Drew," kataku sambil mencubit pipinya gemas. Dia bersemu, dan binar muncul dibalik kacamata bingkai hitamnya. "Kau sudah pandai menggoda sekarang," ujarnya dengan wajah memberengut. Aku mengambil tangan Drew dan meletakkannya tepat di atas perutku yang sudah tak rata lagi. "Terima kasih, Drew," ujarku yang disambut dengan raut bingung diwajahnya. "Untuk apa?" "Untuk menjadi calon ayah yang hebat untuk anak kita. Rasanya aku akan cepat menua karena terlalu sering terharu. Kau harus mendaftarkanku perawatan kulit, Drew." Saat ini alisnya menggodaku, dan bibirnya terukir senyum geli. "Aku dengar s*x adalah terapi awet muda terbaik, Baby." "DASAR m***m!!!!" ∞∞∞
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD