Malam itu berakhir dengan Raisa yang diajari sepenuhnya oleh Juan tentang pelajaran kemahiran hukum IV. Metode pematerian yang Juan berikan seidkit berbeda, dimana dia selalu menjelaskan implemetasi kenyataannya seperti apa hingga mudah dipahami. Dimulai dari dasar sampai akhirnya diringkas membuat Raisa paham. Ini mudah, pikir Raisa seperti itu dalam otaknya.
“Paham kan?”
Raisa mengangguk dengan wajahnya yang sembab akibat menangis. Dia meraih tissue dan kembali membuang ingusnya. Juan menatap dengan eskpresi antara jijik, kasihan dan menggemaskan juga.
“Pak, saya capek kuliah,” ucapnya tiba tiba mengeluh. “Mau udah aja.”
“Kalau mau putus kuliah, nantinya mau jadi apa? Sarjana aja sekarang udah dipandang sebelah mata, dianggap gak guna lah. Lah kamu mau gimana sama ijazah SMA? Bukannya meng-under estimate, tapikan seenggaknya kamu punya modal kalau punya ijazah S1, Raisa.”
“Saya capek.”
“Mau jadi apa?”
Raisa tetap terdiam, iya, dia mau jadi apa setelah putus kuliah? Dia mungkin tidak akan mendapatkan gelar, dan tenang karena tidak harus berurusan seperti ini. tapi, nanti dia akan bekerja di mana?
“Kecuali kamu mau jadi istri saya, ya itu sih terjamin. Kamu tinggal layanin saya, sayangi saya, beuh digaji puluhan juta. Bukan Cuma itu, saya juga bakalan berjuang buat kamu biar bisa lulus sekarang. Skripsi sikat, nilai bisa diaturlah, ada belajar kayak gini.”
Ingin memaki, tapi sadar Juan sudah membantunya cukup banyak. Jadi Raisa memberikan senyuman manisnya. “Makasih udah mau ngasih saya pembelajaran sebelum di test lisan. Sekarang, saya siap buat di test lisan, Pak.”
Senyuman Juan luntur, dia bisa dengan mudah mengubah nilai Raisa. Tapi Juan tidak ingin ada gossip yang tidak tidak pada anak ini. ada beberapa jalan yang bisa ditempuh oleh Raisa supaya mendapatkan nilai yang bagus, salah satunya dengan Juan sebagai penanggung jawab.
Wewenangnya sendiri memberikan keputusan, apa yang pantas untuk mahasiswa yang nilainya kurang ini. apakah mengulang semester? Dikembalikan pada dosen atau dirinya sendiri yang memberikan nilai?
Kerusakan nilai Raisa cukup banyak. Jika oleh Juan sendiri, maka akan ada kecurigaan. Juan tidak masalah jika diperuntukan baginya. Hanya saja, Juan ingin Raisa berjuang sendiri, berusaha sendiri.
“Pak?”
“Saya mau kembaliin kamu ke dosen yang bersangkutan. Nanti biar Pak Iwan sendiri yang test kamu ya, jadi dia yang kasih kamu nilai.”
“Kok? Kenapa enggak bapak aja?”
“Saya yang bantu kamu belajar.”
“Pak?” Mata raisa berkaca kaca enggan untuk berurusan dengan dosen lain. Padahal dia sudah siap jika harus melewati test ini oleh Juan. Kenapa dilempar. “Bapak jangan mentang mentang dekan jadinya bisa seenaknya putar saya ke sana ke sini. saya gak akan punya nilai nilai kalau kayak gini.”
“Raisa, saya bisa dengan mudah ubah semua nilai kamu jadi A. tapi apakah kamu paham dengan semua mata kuliah ini? kenapa saya lempar kamu kembali ke dosen yang bersangkutan? Karena saya mau kamu tunjukin pada mereka kalau kamu menguasai ini. dan kamu gak berhak dapet nilai kosong atau dibawah C.”
Raisa terdiam, memang para dosen selalu memandangnya sebelah mata karena dia malas, bodoh dan tidak paham juga. “Tapi saya takut, Pak. Gimana kalau malah ditanya yang aneh aneh.”
“Yang aneh gimana? Kamu udah punya pacar atau belum?”
“Pak,” rengeknya.
Membuat Juan mengepalkan tangan kuat, dia mati matian menahan diri untuk tidak menerjang Raisa. Lucuuuuuu!
“Gak, saya jamin dia Cuma nanyain seputar yang saya jelasin tadi. Senin nanti, saya panggil Pak Iwan ke ruangan saya. Nanti kamu juga di sana. Saya yang awasin kalian langsung.”
Raisa menghela napasnya dalam. “Buat mata kuliah yang lain, boleh gak saya diajarin sama bapak lagi?”
“Boleh, asal jadi istri saya dulu ya?”
“Pak ih!”
“Hari minggu nanti ke Bandung, baru saya mau ajarin kamu.”
“Ke Bandung ngapain?” tanya Raisa dengan wajah bersiap untuk marah.
“Ketemu calon mertua kamu lah, alias orangtua saya.”
“Pak.”
“Kamu ngerengek mulu, saya grepe nih lama lama.”
Seketika tangan itu tersilang di dadanya dan beringsut mundur. “Pak!”
“Iya, Sayang?”
Raisa menutup telinganya saat Juan tertawa menggelegar dengan begitu menyebalkan.
***
“Kamu hebat, kamu udah bertahan sejauh ini.”
Kalimat itu terngiang ngiang di kepala Raisa, kejadian itu berlangsung saat dirinya menangis dan mendapatkan usapan di kepala dari Juan. Entahlah, pria itu kadang menyebalkan kadang juga manis. Hanya saja Raisa tetap tidak suka dengan tingkahnya yang m***m dan menyebalkan.
Raisa memainkan ponselnya sebelum tidur. Kamar yang dia tempati ini lebih baik dari kamarnya di flat sewaan. Lebih luas dan juga nyaman, juga pemandangan yang indah ke langit yang dipenuhi bintang bintang. “Selamat bobo, Bunda,” ucapnya pada langit sebelum akhirnya memejamkan mata.
Raisa bermimpi buruk, dimana Juan duduk di bibir ranjang sambil membisikan, “Kamu jatuh cinta sama Juan, sama dekan fakultas hukum yang paling keren, sama dosen paling ganteng, sama pengacara paling hebat.”
Kalimat yang terus berulang di telinga Rais, hingga saat dirinya bangun, Raisa merasa sangat lelah. Dia menarik napasnya dalam dan melihat jam di nakas. sudah jam lima, dia harus bersiap dengan membereskan apartemen dan menyiapkan makanan
“Dih anjir, gue udah kayak ibu rumah tangga aja. jam segini bersih bersih, nyuci baju, setrika.” Seketika terdiam saat sedang memasukan baju ke dalam mesin cuci. “Nggak, gue pembantu. Jangan posisiin diri sebagai istri, nanti si Bapak gede kepala.”
Untungnya untuk membersihkan lantai, Raisa hanya tinggal menyalakan robot pembersih itu dan melakukan hal yang lainnya.
“Ughhh….”
Suara itu, Raisa terdiam. Siapa yang mendesah di jam seperti ini? apa tetangganya? Kenapa apartemen semewah ini bocor, kenapa Raisa bisa mendengar suara?
“Ughhh…”
Oh tunggu, ini di dalam apartemen. Apa yang sedang Juan lakukan? Diam diam Raisa mengikuti arah suara tersebut. Oh astaga, di sana ternyata Juan sedang berolahraga. Dengan tubuhnya yang begitu atletis, keringat meluncur di tubuhnya.
Raisa segera mengalihkan pandangan, tidak sopan untuknya melihat pemandangan seperti ini di pagi hari. Juan baru berhenti bergerak saat ponselnya berbunyi. “Hallo?” mengangkat panggilan tersebut.
“Oh oke. Nanti saya langsung ke lokasi.”
Juan mengambil kacamatanya dan memakai, keluar dari ruangan itu. mendapati Raisa yang sedang membereskan piring, membuat pria itu tersenyum. “Aduh, enak ya punya calon istri, jam segini udah bangun. Seger saya liatnya.”
“Mimpi saya jadi istri situ,” gumam Raisa enggan berbalik menatap tubuh Juan yang pasti tidak memakai atasan.
“Raisa? Saya mau ke hotel.”
“Jangan aneh aneh deh, Pak. Saya laporin juga nih lama lama.”
“Apaan? Emang yang ada di pikiran kamu gimana? Saya mau ada acara pelepasan mahasiswa FH yang udah lulus sidang skrispsi. Kan mereka bentar lagi wisudaan.”
Raisa diam seketika.
“Malu ya? dipikir saya mau ngajak kamu grepek grepek ya?”
“Apaan sih enggak.”
***
Ketika teman teman menyebar kabar mereka akan tunangan, judul diterima atau membuka café, yang Raisa lakukan hanyalah tersenyum. Termasuk temannya juga akan membuka café, mala mini Raisa diminta datang untuk acara pembukaannya. Jelas Raisa ikut bahagia untuk Arum, hanya saja dia selalu melihat dirinya sendiri dan membandingkan.
“Nggak, gue gak boleh gitu,” ucapnya pada diri sendiri.
“Tante, mau dibedakin!”
“Raisa, dasi saya yang ini gak matching!”
Di saat teman temannta merajut mimpi mereka, Raisa malah terjebak dengan dua orang ini. masuk ke kamar Kenzo dulu, membantunya bersiap. “Abis ini langsung keluar kamar ya. jangan lupa itu bekasnya beresin lagi.”
“Iya, Tante.”
Kemudian masuk ke kamar Juan. “Masa warnanya ini? gak cocok loh.”
“Kan saya udah bilang. Bapak mendingan nyari baju yang cocok sendiri, saya kan gak tau sekarang mau gimana atau acara apa aja.”
“Bawain yang navy.”
Menghentakan kakinya kesal, Raisa mencari dasi yang dimaksud. “Nih.”
“Pakein lah sama kamu, masa iya saya pake sendiri.”
“Aduh, Pak. Untung gak saya cekek ini,” gumamnya dengan kesal.
“Berani ya kamu, ini luka dari kamu aja belum sembuh.”
“Maaf, saya bawaannya pengen ngomong yang kasar kasar mulu kalau sama bapak. Aslian saya minta maaf yang sebesar besarnya.” Sambil mengomel sambil memakaikan dasi pada Juan.
Gemas sekali melihatnya.
“Jadi pulang malam, Pak?”
“Nggak, normal kalau sekarang. Cuma ada beberapa yang bimbingan juga sama saya. Jadi nanti kalau kamu nelpon atau apapun itu, kalau saya gak bales berarti lagi sibuk loh ya. bukan selingkuh.”
Kalimat itu mengingatkan Atalia pada hal lain. “Pak, serius kita akhir pekan ke Bandung?”
“Iyalah, kamu pokoknya harus ngaku jadi pacar saya.”
“Mana bisa gitu dong, Pak. Itu namanya penipuan. Kasian juga nanti sama mereka. lagian saya gak mau.”
“Heh, kamu mau dipenjara, Raisa? Terus nilai kamu apa kabar? Lagian saya butuh gitu biar orangtua saya gak nanya mulu kapan saya nikah.”
“Tapikan, Pak….”
“Pilih aaja, mau nilainya jelek terus gak lulus lulus atau ngaku jadi pacar saya. Kalau ngaku, saya nanti ajarin kamu tiap malem.”
Juan selalu seperti ini, mengancam membuat Raisa berkaca kaca. Diusapnya kepala itu oleh si pria. “Jangan nangis, saya Cuma kasih kamu kesempatan. Kalau kamu mau jadi istri saya lebih bagus itu. saya jamin kalau kamu mati, lahannya luas.”
“Tanteee?!” panggil Kenzo dari luar. “Mau mam!”
“Tuh, anak kita mau makan katanya, Sayang.”
“Ih!” raisa benar benar kesal, dia ingin membuat batasan antara dirinya dan Juan. Tapi sadar membutuhkan pria itu sebagai penolong hidupnya.
“Tante, kenapa keluar dari kamar Papa mulu?”
“Eh? Itu tadi papanya minta bantuan sama Tante. Kenapa emangnya?”
“Dulu Bibi gak dikasih izin sama Papa masuk ke ruangannya. Sekarang Tante boleh. Tante pacarnya Papa ya?”
“Eh bukan.” Apalagi melibatkan anak kecil, Raisa enggan terlibat hal serius dengan Juan, hih mana mau dia dengan pria m***m semacam dia.
Mengalihkan pikiran Kenzo dengan memberikan jatah sarapannya. “Woah, bagus banget! Spiderman omelet ya?!” antusias melihat saus yang dijadikan pena menggambar di atas telur.
“Duh, mana buat saya?” tanya Juan yang baru saja keluar.
***
Sesuai agenda hari ini, Raisa mengantarkan Kenzo ke sekolah. Sepulang sekolah nanti, dia akan pergi ke mall dan mencari tempat less yang bagus dengan diskusi bersama guru sekolah di sana.
Saat ada waktu luang, Raisa menuliskan tugas apa saja yang belum dia kerjakan. Ternyata banyak, hanya saja Raisa malas dan merasa tidak ada tugas sama sekali.
“Raisa!” teriak sang sahabat ketika dia mengangkat panggilan video call. “Lu dimana hah?!”
“Gue di rumah majikan ini, lagi nunggu anak majikan pulang. kenapa?”
“Lu nanti malem datang kan?”
“Gak tau, liat nanti aja,” ucapnya dengan wajah yang santai. “Bukannya gak mau, gue mesti izin dulu soalnya gue jaga 24 jam buat sekarang.”
“Majikannya yang mana sih? gue mau ngobrol sama dia. Dia gak tau kalau bapak gue polisi?”
Raisa ingin tertawa, Arum akan pingsan kalau tau orang yang menjadi majikannya adalah sang penguasa Fakultas yaitu dekan Fakultas Hukum. Arum akan mati jika berani padanya. “Iyadeh gue usahain ke sana ya. jangan khawatir. Masa iya gak dateng ke pembukaan vafe punya lu.”
“Iya, sekalian gue mau cerita ke elu. Tentang Pak Juan.”
“Hah? Mau apa?”
“Gue diminta nyokap sama bokap buat konsultasi kalau mau jadi pengacara katanya. Hiks, gak mau sama Pak Juan. Nanti deh gue cerita lengkapnya. Gue mau boker dulu. bye bye.”
Diitutup panggilan, Raisa menghela napasnya dalam dan menggelengkan kepala. Baru juga hendak focus pada tugasnya, ada notifikasi masuk. Itu dari Juan yang mengirimkan foto padanya dengan caption, ‘Baru mulai. Bentar lagi ini mau pidato ke depan.’
“Terus? Gue harus bilang wow gitu?” Raisa mendengus kesal.
Di sisi lain, Juan mengerutkan keningnya tidak mendapatkan balasan.
“Pacar, Pak Dekan?” tanya ketua prodi yang duduk di sampingnya.
Juan tertawa dan mengangguk. “Ya, begitulah.”
“Wah, sebentar lagi sebar undangan dong.”
“Doakan saja, Pak.”
“Oh iya, Pak. Perihal kerjasama dengan lembaga penyelenggara pendidikan khusus profesi advokat bagaimana?”
“Saya belum memberikan feedback, dilihat dulu dengan jadwal yang saat ini padat.”
“Tapi alangkah baiknya kalau fakultas kita kerjasama dengan lembaga tersebut, Pak. Nanti mahasiswa yang sudah lulus bisa langsung daftar jika berprofesi sebagai advokat.”
“Inginnya seperti itu, tapi lembaga itu menginginkan saya yang mengajar. Kalau ingin saya menerimanya, coba tolong tekankan pada setiap dosen untuk segera memuat jurnal mereka karena pihak yayasan sudah menekan saya supaya akreditasi tetapp bertahan di hufuf A.”
“Baik, Pak.” Ketua prodi itu kembali duduk menghadap ke depan, menahan napasnya sejenak dan meyakinkan diri sendiri untuk tidak bicara lagi dengan Juan selama beberapa jam ke depan.