Peringatan Bahaya

2239 Words
Pria yang dikatanya dingin dan tidak berperikemanusiaan itu nyatanya m***m, Raisa jadi takut dekat dekat dengan Juan apalagi pria itu selalu memberikan senyuman yang memberikan tanda seolah ingin menerkamnya. Bagaimana bisa dia hidup tenang? “Tante gendong,” ucap Kenzo setelah lelah bermain. Tanpa berkata apa apa lagi, Raisa menggendongnya dan melangkah lebih dulu. “Papa mana?” “Papa lagi ke mini market dulu.” “Ditinggal?” “Enggak kok.” Nyatanya memang begitu, entah mengapa Raisa ingin memberikan pelajaran pada Juan karena berani menggodanya. Dia ke apartemen lebih dulu, mengajak Kenzo ke kamar mandi untuk membersihkan diri. “Nanti abis ini kerjain Pr ya, Tante bantu.” “Okee, tapi mau main lego gak papa?” “Gak papa, kalau udah beres PR nya.” Raisa membantu anak itu mandi dengan mengawasinya dan membersihkan beberapa bagian tubuh yang kotor. Melihat Kenzo yang kesehariannya membosankan membuat Raisa bertanya, “Kenzo emang gak punya temen main? Di apartemen gitu?” “Semua temen temen Kenzo tinggalnya di perumahan, Tante. Gak di sini. di sini anak kecilnya dikit.” “Suka main ke tetangga gak?” “Ngapain? Bapak bapak semua itu, sama ibu ibu,” ucapnya sambil memainkan bebek karet. Huh, sepertinya Raisa harus sabar karena Kenzo dibesarkan oleh seorang Juan yang berhati dingin dan juga sikapnya yang menyebalkan. “Ya emangnya Kenzo gak bosen di sini terus? Ke sekolah, main di apartemen terus keluar lagi, gitu aja terus. Gak mau ada less tambahan? Kayak main bola atau apa gitu?” Matanya seketika menatap Raisa dengan berkaca kaca. “Mau.” “Loh, kok malah mau nangis? Mau? Yaudah bilang aja sama Papa.” “Hmm, kata Papa jangan kecapean dulu.” “Tapikan Kenzo bosen kan di rumah? lagian itu gak kecapean,” ucap Raisa mencoba membujuk. Sebagai anak yang dulunya dibesarkan oleh orangtua lengkap, Raisa merasakan bagaimana serunya beraktivitas di luar ruangan. Mencoba berbagai pengalaman. Tidak terkurung dalam sangkar emas dipenuhi makanan seperti Kenzo. “Mau gak? Nanti Tante yang bilang sama Papa.” “Kenzo belum pernah bilang sama Papa, takut Papa marah.” “Kenapa takut Papa marah?” Menggelengkan kepala sebagai jawaban. Ah, anak ini memang manja dan penurut pada Papanya. Mungkin karena mereka tidak terlalu akrab satu sama lain. “Nanti Tante yang bantu ngomong ya. yuk udah mandinya, mau Tante siapin makanan malam ini.” Tangannya merentang meminta digendong, dengan senang hati melakukannya. Menghela napasnya ketika melihat baju milik Kenzo kebanyakan kemeja dan kaos warna gelap. “Kenzo suka spiderman kan?” “Suka.” “Suka lego?” “Suka.” “Kenapa bajunya ini gak ada baju gambar spiderman sama lego?” “Gak tau. Papa yang pesen di manaaaa gitu.” “Kalau Nenek sama Kakek emang gak pernah beliin?” tanya Raisa sambil memakaikan pakaian paada Kenzo. “Um, Papa larang soalnya kainnya gak bagus buat kulit Kenzo katanya.” “Mereka sering datang?” ingin saja bertanya perihal keluarga Kenzo. Anak sekecil ini biasanya dikerumuni dengan orang orang yang menyayanginya. “Enggak, Kenzo sama Papa yang ke Bandung, Papa bilang Eyang Putri sama Eyang Sepuh suka bikin riweuh kalau datang ke sini. jadi Papa gak mau barangnya berantakan.” Oh, tidak aneh. Pantas saja Juan menyebalkan, pada orangtuanya sendiri juga begitu. “Mau ambil lego main di karpet sambil nonton TV ya?” “Boleh. Jangan lari.” Begitu selesai disisir dan diberikan bedak, Juan langsung berlari ke arah pintu. “Eh Papa!” teriaknya begitu melihat sang Papa sedang berdiri di ambang pintu. “Kenzo udah mandi, udah wangi.” Tangannya merentang minta digendong, Juan terkekeh dan melakukannya. Dia memberikan kecupan di pipi sang anak. “Udah kayak mochi aja ini pipi.” “Hehehehe, mau ambil mainan. Main sama Papa ya?” “Oke, Papanya mau mandi dulu ya.” Raisa menelan saliva kasar saat Juan menurunkan Kenzo dan membiarkan anak itu melangkah pergi dari sana. apalagi ketika tatapan pria itu beralih padanya dengan tajam, pasti dirinya akan dimarahi karena meninggalkan pria itu. “Pak?” “Kamu kalau mau tanya tanya tentang keluarga saya sama saya aja langsung. Atau kamu mau langsung datengin calon mertua ke Bandung?” “Ih apaan sih.” rasa takutnya hilang seketika tergantikan oleh perasaan kesal. *** Semakin waktu berputar, semakin takut Raisa karena dia akan di test untuk perbaikan nilai. Apalagi Juan mengatakan, “Harusnya kamu bersyukur dong. Kamu itu bisa di test kapan saja, apalagi saya yang menentukan nilai kamu apa nantinya.” Tidak paham! Setiap materi yang dibaca olehnya selalu keluar kembali. Mual rasanya ketika mendapatkan tulisan itu, ingin resign saja jadi mahasiswa. Tapi dulu orangtuanya bersikeras Raisa harus mendapatkan gelar sarjana hukum. “Tante kenapa?” tanya kenzo saat Raisa diam saja. “Nggak makan?” “Mau disuapin kayaknya sama Papa,” ucap Juan yang langsung mendapatkan pelototan dari Raisa. “Biasa, dia mau pendekatan sama Pap─Aw!” kakinya sakit diinjak oleh Raisa di bawah sana. “Kenapa, Papa?” “Enggak, ini ada gajah gak tau diri,” ucapnya dan mengusak rambut sang anak. “Makan lagi ya.” Raisa masih bisa menahannya jika sendirian, tapi pria ini menggoda di hadapan anaknya sendiri. Bagaimana bisa ada pria semacam itu? melihat Kenzo yang murung, Raisa jadi ingat sesuatu. “Pak? Kenapa Kenzo gak dimasukin less olahraga atau semacamnya? Biar pas pulang sekolah dia gak bosen? Jangan pelajaran mulu, kasian anaknya butuh kesenangan.” “Kenzo mau?” tanya Juan pada sang anak. “Um, mau, Papa.” Beralih pada Raisa. “Kamu yang anter anter lah. Kan saya kerja, di rumah baru bisa nyampe sore hari. Kalau kamu bersedia anter anter dia ya silahkan. Saya gak masalah.” Raisa mentap Kenzo yang berbinar. Haduh, sekarang malah menjadi tugas tambahan untuknya. Kalau Kenzo tidak less sepertinya dia akan memiliki banyak waktu untuk memperbaiki nilai. Sayangnya Raisa tidak setega itu, jadi dia mengangguk. Apalagi dirinya sendiri yang mengatakan ide tersebut. “Sama anu loh pak.” “Anu?” kini mata Juan yang berbinar. “Ih dengerin dulu.” benar benar kesal dengan pria ini. “Kenzo mau beli baju spiderman sama lego. Itukan favorite nya dia. Boleh kan kalau saya ajak ke mall abis dia pulang sekolah besok?” “Oh, boleh. Beliin aja. Ketemu kan kartu kredit yang Bibi pengasuh bilang sebelumnya?” Raisa mengangguk, dia mendapatkan informasi kalau semua kebutuhan khusus Kenzo dan kebutuhan rumah tangga itu terpisah, mereka memiliki kartu tersendiri. “Iya, udah ketemu kok.” “Bagus bagus. Pake uang itu buat kebutuhan. BTW besok kamu beli daging sapi ya. kita barbeque-an.” “Hmm, iya liat besok aja.” “Buat tempat less sepak bolanya mau dimana?” Juan bertanya pada sang anak. “Gimana tante aja, mau sama Tante milihnya.” Anak itu tiba tiba menyandarkan kepalanya pada Raisa dengan manja. Juan mengerucutkan bibirnya, dia juga ingin bermanja seperti itu. “Pak, malu sama umur. Kenapa manyun gitu? Mana kacamatanya mau jatuh.” Seketika Raisa menutup mulutnya sendiri. Demi Tuhan! Dia tidak berniat mengatakannya, tapi kalimat itu tiba tiba saja keluar dengan kurang ajarnya. “Maksudnya Papa jelek ya, Tan?” tanya kenzo “Bukan, bukan gitu.” Dengan takut takut Raisa menatap lagi Juan, yang kini menatapnya dengan tajam. “Ca, nanti malam kamu sama saya ngomong berdua ya. kita deeptalk. Okey?” Takut! Raisa takut! *** “Kenzo cepetan tidur. Kalau tidur, besok Papa beliin series lego terbaru.” “Pak, jangan dikebiasain gitu. Nanti anaknya kalau mau apa apa harus dikasih imbalan dulu,” ucap Raisa tidak tahan mengatakan itu. untung saja Kenzo tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Papanya. “Tuh kan, Ca. kamu cocok deh jadi ibu dari anak anak saya. Pinter banget parentingnya, Cuma oon di mata kuliah aja.” Entah itu mengejek atau memuji, Raisa tidak suka. Dia juga harus menyelesaikan nilai perkuliahannya, dan ini sudah hampir pukul Sembilan. Anak ini biasanya tidur jam delapan. “Kenzo, udah malem. Ayok bobo, kan besok kita mau ke tempat less sepak bola. Nanti kalau kurang tidur, besoknya pasti ngantuk. Nanti gak bisa ikut main.” Dengan kalimat itu, Kenzo langsung membereskan mainannya. “Ayok, mau ditemenin sama Tante dulu bobonya.” “Boleh.” Raisa bantu membereskan. “Nanti aku ya yang temenin bobo.” “Pak, saya lagi pegang palu Thor nih, diem atau saya pukul lagi.” “Uh, kamu tau gak ancaman kayak gitu masuknya pasal apa?” Seketika Raisa menghentikan gerakan tubuhnya, matanya menatap ke atas sambil bertanya tanya. “Gak tau ya? Oon banget kamu, Raisa.” “Udah ya ngejeknya.” Kenzo sedang menyimpan kotak mainan itu ke ruangan bermain. Begitu Kenzo kembali, Raisa langsung menggendongnya. “Yuk ah bobo.” “Mau pamit dulu sama Papa.” memberontak dalam gendongan Raisa. Dia mendekat pada Papanya dan memeluknya. “Good night, Papa. mimpi dikejar harimau biar Papa olahraga di alam mimpi.” Juan berdecak, anaknya tau saja kalau dia jarang berolahraga akhir akhir ini. “Langsung tidur ya, langsung pingsan. Tante Raisanya mau Papa pinjem soalnya.” “Ih, inikan pengasuhnya Kenzo, bukan pengasuhnya Papa.” anak itu membubuhkan kecupan di pipi Juan, kemudian berbalik dan merentangkan tangannya pada Raisa. “Gendong.” Juan hanya tersenyum melihat bagaimana sang anak lebih ceria dengan Raisa. “Duh, harus di gass nih. Mentokin sekalian,” gumamnya bersiap untuk memulai eksekusi pada Raisa. Juan pergi ke perpustakaan pribadinya untuk membuka buku buku tentang kemahiran hukum IV. Juan juga menyusun beberapa penghargaan dan kejuaraan miliknya yang pernah didapatkan untuk dipamerkan pada Raisa. “Habis kamu malam ini sama saya, Raisa,” ucap Juan sambil tersenyum dengan misterius. Sampai telponnya berbunyi, itu dari ibunya. Juan buru buru mengubah setelan menjadi silent, supaya tidak perlu mengangkat panggilan itu dan ibunya menganggap kalau dirinya sudah tidur. Namun begitu sebuah pesan masuk berisikan kalimat, ‘Ibu mau ke apartemen kamu kalau kamu gak angkat telpon.’ Seketika Juan menelpon balik sang Ibu. “Bu, nanti Juan ke sana sama Kenzo kok. Tenang aja, lagian kan jadwal ke sana sebulan sekali. Jangan ke sini, Juan banyak kerjaan.” “Ibu mau ketemu sama Kenzo, bukan sama kamu.” “Aduh, Bu. Nanti aja ketemunya di rumah Ibu.” “Juan, Ibu gak bisa tenang kalau kamu belum nikah lagi. Coba kamu udah ada calon, Ibu gak khawatir tentang Kenzo. Mau bagaimanapun, Kenzo butuh sosok Ibu di sampingnya, bukan pengasuh.” Juan terkekeh. “Bentar lagi, Bu, sabar ya. anaknya agak lemot, tapi sayang sama Kenzo kok.” “Sayang sama Kenzo doang? Sama kamu enggak.” Seketika senyuman Juan memudar. “Bu, tutup dulu telponnya ya. bye.” *** Raisa dengan tegang mencari keberadaan Juan. “Pak?” panggilnya mengitari seluruh ruangan. Tapi tidak mendapatkan Juan di manapun. Pepustakaan juga tidak ada, kemana pria itu? “Pak?” mengetuk pintu kamarnya. Tetap tidak ada jawaban, mungkin pria itu sedang berada di toilet. Raisa memutuskan pergi ke perpustakaan, di sana masih berantakan dan dirinya yakin akan di test di sana. “Bodo amat lah yang penting dapet nilai C juga gak papa.” melihat betapa banyaknya penghargaan yang diterima oleh Juan. Oh banyak juga foto foto di sana, Raisa menatapnya satu per satu. Banyak foto foto Juan saat menempuh pendidikan. Saat kelulusan S1, ada foto Juan dan keluarga besarnya. Saat S2, masih dengan orang orang yang sama tapi dengan Negara berbeda. “Gila, kuliahnya dimana mana.” Sampai foto wisuda S3, dia melihat Juan menggendong seorang bayi di tangannya. Dengan orang orang di sekitar yang sama. Membuatnya bertanya tanya, kemana ibu dari Kenzo? Bahkan tidak ada jejak jejaknya di sini. “Gila, udah jadi pemateri seminar berapa kali dia. Nyampe banyak banget ini plakatnya.” Raisa yang basicnya memang selalu penasaran itu mencari satu per satu hal menarik. Sampai dia melihat sebuah amplop yang bertuliskan namanya di sana. “Buat gue ini. apa ya?” Raisa dengan antusias membukanya. Namun senyumannya langsung luntur ketika dirinya mendapatkan peringatan karena nilai menurun. Disertai ada surat keputusan rector di sana, dimana mahasiswa lulusan yayasan universitas itu memiliki ipk minimal dan tidak akan lulus sebelum mendapatkan hasil yang dimaksud. Dan Raisa mendapatkan peringatannya? Apa yang harus dia lakukan? Mengulang lagi semester? Itu membutuhkan banyak biaya. Atau melakukan semester pendek? Dia belum menguasai semua pelajaran itu. “Raisa, ngapain kamu di sini?” Juan datang dan berdiri di belakang Raisa. Perempuan itu pendek, jadi Juan bisa melihat apa yang sedang dibaca Raisa. “Nah udah liat kamu. Tuh, kamu dapet surat peringatan. Ini keputusan rector dan yaayasan loh ya. kamu gak bisa lulus, Raisa. Nilai kamu jelek semua soalnya.” “Hiks…” air matanya jatuh menetes di atas kertas. Juan terdiam seketika, tidak menyangka kalimat yang dikatakannya akan membuat Raisa menangis. “Hiks…” padahal Raisa sudah menahan tangisannya sejak tadi, tapi air mata itu mengalir begitu saja menetes di surat untuknya. Juan menarik napasnya dalam, dia membalik tubuh Raisa hingga menghadapnya kemudian memeluknya. Raisa malah menangis semakin kencang. “Kamu Cuma kurang pintar aja kok. Perlu diasah dikit, Raisa. Kalau kamu jadi istri saya, saya akan permudah jalan kamu. Les private sama saya, belajar sama saya, bonusnya nanti punya anak dari saya. Coba kamu pertimbangkan, saya serius loh. Nanti skripsinya saya bantu ya?” “Hiks…. Hiks…” Raisa malah menangis semakin kencang. “Eh udah nangisnya. Udah malem nanti ada kunti ikutan nangis.” Kini Raisa memeluk Juan, menangis semakin kencang. Pria itu menggigit bibirnya sendiri, harusnya dia tidak bicara saja daripada membuat Raisa menangis semakin kencang seperti ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD