Cecar Pertanyaan

2128 Words
Raisa mengantarkan Kenzo ke sekolahnya sambil jalan kaki, tangannya menggenggam tangan mungil itu. “Nanti Tante jemput telat lagi gak?” “Enggak kok, Sayang. nanti Tante tepat waktu pokoknya.” “Okey, langsung pergi pergi ya?” “Iya.” Berjongkok untuk menyamakan tinggi badannya, Raisa membereskan rambut milik Kenzo. “Belajar yang rajin ya?” Mengangguk dan memeluk Raisa dengan erat, bahkan memberikan kecupan di pipinya. “Bye byee.” Raisa melambaikan tangan saat Kenzo beralih pada gurunya yang sudah menunggu di sana. menghela napasnya dalam, Raisa ingin mengecek keadaan Ayahnya. Mengingat kemarin adalah hari gajiannya dan sang ayah belum mengiriminya uang, dikirim pesan juga tidak dibalas sama sekali. Karena tidak memiliki uang sama sekali, Raisa mengambilnya dari atm. “Nanti saya ganti, Pak. Saya janji lagian kan saya perlu banget ini.” mengambilnya dulu dari uang untuk kebutuhan rumah tangga. “Anjir gede banget, ratusan juta. Gila! Kalau gue bawa kabur gimana?” Yang diambil oleh Raisa hanyalah uang lima puluh ribu, dia segera bergegas pergi menggunakan kendaraan umum untuk sampai di rumahnya. Rumah yang dulunya nyaman, berwarna pink sesuai kesukaan sang Bunda, kini terlihat tidak terurus dengan rumput yang tinggi dan cat yang luntur. Dulu selalu ada satpam di depan, kini posnya sudah seperti rumah hantu. Tidak ada mobil yang terparkir, Raisa yakin kalau ayahnya tidak ada di sini. “Ayah?” panggilnya lagi. Benar benar kosong, pintunya juga dikunci. Alhasil dia pulang dengan keadaan khawatir dan dompet yang masih menipis. Dalam perjalanan di bus, Raisa melihat sosok yang tidak asing. “Bi?” “Eh?” sosok itu sama terkejutnya. “Neng Raisa? Kok di sini?” “Abis pulang dari rumah, Bi.” Itu pengasuhnya Kenzo. “Bibi udah sembuh?” Raisa bertanya dengan tatapan menggebu. “Belum, inikan mau control hehehe. Kebetulan sakit juga demam, jadi sama anak pergi ke dokter sekarang.” “Oh ya ampun.” Mood Raisa langsung buruk, kapan dia bisa terbebas dari Juan? Ya meskipun ada manfaatnya juga bersama pria itu. hanya saja Raisa perlu banyak kesabaran. “Banyak amat kartunya, Neng.” “Hehehe, ini kan buat Kenzo, yang ini buat kebutuhan dapur.” Saat berhenti di halte, Raisa langsung pamitan. “Duluan ya, Bi. Semoga cepet sembuh. Kabarin aja kalau udah siapa ngasuh Kenzo lagi.” Sementara Bibi Nita terdiam di sana. “Wah, pak Juan kayaknya nemu calon istrinya deh. Itu kartu punya Pak Juan yang biasanya di dompetnya,” bisik Bibi Nita pada anaknya. Raisa langsung kembali ke apartemen, dia kembali mengerjakan tugas tugas yang diberikan dosen. Memang tidak semua dia pahami, tapi setidaknya dia berusaha kan? “Judul judul judul. Gue mesti ngapain ya? gue judulnya harus apa?” Baru juga Raisa merasakan ketenangan berfikir, ponselnya berbunyi. Itu telpon dari Juan, video call juga. Raisa membiarkannya hingga panggilan tidak terangkat. Namun saat Juan mengirimkan pesan, “Raisa, kamu gak mau lulus?” Langsung saja Raisa menelpon balik Juan. “Kenapa, Pak?” “Kamu kenapa gak bales pesan saya? Saya kan jadi mikirnya kamu kenapa kenapa.” “Gak papa, ini lagi rebahan lagi ngerjain tugas. Kenzo baru aja berangkat.” “Duh, calon istri. Betah ya di apartemen? Udah makan?” “Pak, jangan mulai deh.” Raisa memutar bola matanya malas. “Bapak mau apa nelpon saya?” “Kamu mau belanja kan sama Kenzo? Mau nyari tempat less juga? Jangan naik umum.” “Iya enggak. Kan naik taksi online.” “Jangan jajan yang aneh aneh juga.” “Enggak, Pak. Lagian saya bukan anak kecil lagi.” “Dih, dulu bilangnya kalau sentuh kamu, saya dapet dipidana ke perlindungan anak, lucunyaaaa─” BRAK! TUT! Raisa terdiam menatap layar ponselnya, Juan tiba tiba mematikan panggilan. Dimana sebelumnya Raisa mendengar kalau pintu ruangan Juan terbuka secara tiba tiba. *** “Maaf, Pak. Saya pikir bapak belum pulang,” ucap sekkretarisnya itu. Juan langsung memasang wajah yang dingin. “Kenapa?” “Ada undangan untuk menjadi pemateri seminar di Bandung, Pak.” “Untuk kapan?” “Hari sabtu nanti, Pak. Mereka minta konfirmasinya hari jumat maksimal.” Menerima undangan itu dan menganggukan kepalanya. “Kamu boleh keluar.” “Baik, Pak. Bapak mau ke hotel lagi?” “Gak tau, ada yang mau bimbingan dulu ini.” “Baik, Pak.” Sang sekretaris keluar dari ruangannya. Juan menghela napas dalam, menyebalkan saat seseorang tiba tiba masuk ke dalam ruangannya tanpa mengetuk seperti itu. lembaga sedang sepi, hanya beberapa dosen dengan kedudukan jabatan lebih tinggi yang berada di pesta pelepasan. Karena perkuliahan harus tetap berjalan. Sebagai seorang dekan, Juan juga memiliki program kerja di masa kepemimpinannya. Dia ingin semuanya sempurna, termasuk nilai dari mahasiswa itu sendiri. Mengawasi semuanya supaya berjalan dengan baik. Baru juga Juan hendak rehat sebentar, pintu ruangannya kembali diketuk. “Pak, ada pak WD III.” “Oh, persilahkan masuk.” Tidak lama kemudian, masuk wakil dekan III. “Pak Juan, mau ke sana lagi?” “Gak tau, kenapa memangnya, Pak?” “Ada yang mau saya bahas, Pak. Kalau bapak tidak ke sana lagi, saya bahas di sini tidak apa apa?” “Silahkan.” Ingin menolak pun sudah terlanjur ada di sini kan. “Jadi bagaimana?” “Kemarin ketua badan eksekutif mahasiswa menemui saya. Mereka yang akan menjalankan program kita yaitu latihan dasar kepemimpinan mahasiswa dan program tersebut akan diadakan di batalyon. Mereka ingin pembahasan lebih dalam tentang dana anggaran yang dijalankan. Kemarin saya mendengar dari Wakil Dekan I bagian akademik kalau sidang skripsi akan mewajibkan sertifikat itu untuk bisa daftar.” “Sebenarnya saya belum mengizinkan. Mahasiswa tingkat IV sekarang sedang disibukan dengan tugas tugas akhir mereka. Untuk pembahasan ini, saya membutuhkan lebih dari satu sudut pandang. Jadwalkan untuk hari senin, kita adakan rapat dengan semua ketua prodi dan ketua badan eksekutif mahasiswa.” “Baik, Pak. Saya sangat berterima kasih karena telah memberikan respon terhadap ini. mengingat fakultas teknik sudah mulai melaksanakan ldkm ini.” Juan mengangguk paham, mempersilahkan saat bagian kemahasiswaan itu keluar dari ruangannya. Dia menghela napasnya dalam. Semua keputusannya akan ditanggung oleh dirinya sendiri, harus dipikirkan masak masak. Untuk mengeluarkan kekesalannya, Juan membuka ponsel dan melihat foto Raisa yang dia potret diam diam. “Duh cantiknya calon istri saya,” ucapnya seperti itu. “Cocoknnya jadi istri, bukan jadi mahasiswa.” “Pak?” pintu kembali terbuka. Juan terdiam, mungkin dia harus memasang kunci dari dalam supaya tidak ada orang yang masuk dengan mudahnya. “Kenapa?” “Bapak ada bagian mengajar di kelas A semester lima.” Juan terdiam sejenak, mematung. Dia kabur dari acara supaya tidak mendapatkan rasa lelah ini. tapi nyatanya dia malah disuruh mengajar sekarang? “Baik, terima kasih.” “Ini materi yang bapak minta.” Juan mengangguk dan segera pergi ke ruangan 33 yang dimaksud dengan membawa buku di tangannya. “Woylahh! Balik yuk! Pak Juan gak bakalan masuk kayaknya, kan dosen lain juga lagi pelepasan mahasiswa yang mau sarjanaan,” ucap seorang anak laki laki hendak membuka pintu. Namun begitu pintu terbuka, di sana malah ada Juan yang membuatnya menelan saliva kasar. “Ampun, Pak,” ucapnya langsung bersujud seketika. “Saya gak ada maksud apapun.” “Ngapain kamu?” tanya Juan dengan dingin. Seluruh kelas langsung terdiam, takut dan enggan untuk berurusan dengan Juan. *** Kenzo melompat lompat dengan riang ketika masuk ke mall. Anak itu mengatakan kalau dia jarang pergi ke tempat seperti ini, mungkin hanya tempat bermain di sekitaran apartemen. Papanya selalu melarang Juan untuk jauh jauh, dan baru kali ini Raisa berani untuk mengajak anak itu melangkah jauh dari rumah. Tawanya begitu lebar, Raisa sampai memotretnya berulang kali apalagi saat Kenzo sedang berada di atas troli. “Hahahahaha!” “Jangan gerak gerak, Nak. Nanti jatuh.” Raisa memperingati. Anak itu malah menatapnya dengan binar dan memberikan kecupan di pipi Raisa. Oh, cara kerjanya seperti ini. “Tetep gak boleh gerak gerak, bahaya itu. duduknya yang betulan, Sayang.” Dikatakan sayang, anak itu langsung diam. Oh, Raisa tau bagaimana cara menaklukannya sekarang. Sebelumnya Raisa sudah mendapatkan tempat yang cocok untuk Kenzo bisa bermain sepak bola. Ternyata di sekolahnya juga ada ekstrakulikuler itu, hanya saja ada biaya tambahan. Lebih mudah untuk Raisa antar jemput nantinya. “Pap dulu sini, biar Papa kamu tenang. Senyum, Ganteng.” Kenzo narsis, dia langsung tersenyum pada Raisa yang memotretnya. “Cakep?” “Cakep dong. Kita makan siang di sini aja ya?” “Mau! Kenzo mau pizza.” “Ughh… kalau hari ini pizza, besok gak ada ice cream ataupun junk food ya?” “Iya.” “Bentaran, milih dulu belanjaannya.” Raisa tidak ingin kelaparan. Sebenarnya dia juga memiliki hobby memasak namun tidak tersalurkan karena uang yang kurang. Untungnya sekarang dia memiliki Kenzo sebagai perantara. Belanjaan yang cukup banyak, sepertinya nantinya Raisa membutuhkan orang lain untuk membantu mengangkatnya ke atas. “Pizza pizza,” ucap anak itu dengan semangat. Raisa memesan dan duduk di tempat yang diinginkan oleh Kenzo. “Di sana.” Kenzo menunjuknya. Saat melangkah ke sana, Raisa terdiam sejenak. Matanya focus pada seorang pria yang sedang bicara dengan temannya yang lain. “Hoi, Raisa,” sapa salah satu dari mereka. Pria yang sedari tadi diperhatikan oleh Raisa juga menoleh. Dan sama terkejutnya. “Hallo, Bang. Gimana kabarnya?” “Udah lama banget ya gak ketemu sama lu. Baik gue baik, yang lain juga baik. Lu sendiri gimana?” “Baik, Bang. Ini lagi ngasuh anak orang.” “Oalah, Mahen! Sapa nih mantan lu!” Haduh, Raisa sampai pusing diingatkan seperti itu. segera dia mencairkan kecanggungan dengan berpamitan pergi ke tempat duduknya. “Gak mau di sini aja?” “Nggak, ini anaknya nanti bau rokok. Bukan apa apa loh, nanti orangtuanya marah.” Segera membawa Kenzo pergi ke posisi yang sebelumnya diinginkan oleh anak itu. manik Kenzo menatap dengan penuh tanya. “Kenapa gak duduk di sana, Tante? Kan kenzo mau di sana.” “Gak bisa, ada setannya,” bisik Raisa. “Mantan tante jadi setan?” “Hehehe, mau tambahan salad gak? Yuk milih sendiri yuk.” Menyesal Raisa tuh pergi ke tempat seperti ini. dia berpura pura focus memainkan ponsel untuk menyembunyikan kegugupannya. *** Juan mendapatkan foto dari Raisa, hatinya berbunga bunga bukan main. Ingin tersenyum, namun ini masih ada di dalam kelas. Jadi Juan hanya diam dan menatapnya saja. Dia segera mengirimkan pesan, “Terus kamunya mana?” Namun tidak dibalas oleh Raisa. Membuat Juan menghela napasnya dalam. Helaan napas itu bahkan membuat seisi ruangan yang tadinya agak bising langsung diam seketika. “Ada yang mau mengajukan diri ke depan untuk test lisan?” Juan sadar keberadaannya di mana. Ketika keheningan melanda, Juan kembali berucap, “Atau mau saya panggil acak saja?” Terlihat wajah mereka yang seperti menahan mulas. Juan ingin tertawa saja, rasakan itu akibat tidak memahami perkuliahan. Juan sengaja mempercepat perkuliahan supaya dirinya bisa pulang dan bersama dengan Raisa. Aduh, memikirkannya saja sudah tidak tahan, apalagi mereka akan pergi ke kampung halaman Juan di Bandung. Raisa pasti akan suka. Selesai perkuliahan, Juan langsung kembali ke kantornya. Sayangnya tidak semudah itu untuknya pulang. banyak sekali yang harus dia urus mulai dari tamu yang datang ke fakultas, tentu saja Juan yang harus menjadi wajah dari seorang pimpinan fakultas. Belum lagi saat sore menjelang, dia dipanggil ke rektorat untuk berbicara dengan rector di sana. Membicarakan tentang dana triwulan yang diperuntukan bagi fakultas hukum. Ini bukan ranah Juan, harusnya dia mengajak wakil dekan II. Sayangnya rector ingin membicarakan ini dulu dengan Juan, walau bagaimanapun, Juan yang memimpin fakultas. “Saya akan berusaha mempertahankan akreditasi tetap di huruf A, Bu. Jangan khawatir. Saat ini saya sedang berusaha untuk mengundang beberapa professor untuk bisa mengajar di fakultas kita.” Mengingat syarat akreditasi adalah keberadaan professor, dan kebetulan orang orang pintar di fakultas hukum hanya tersisa beberapa. “Saya sangat mengharapkan sayap yang melebar dari fakultas hukum apalagi setelah berita dekan sebelumnya yang korupsi. Itu mencemarkan nama baik, saya harap Pak Juan mampu membangun kembali fakultas hukum menjadi fakultas nomor satu di Universitas.” “Tentu, Pak.” Juan berucap dengan mantap. Pertemuan itu baru selesai sekitar pukul empat sore. Juan diajak makan malam bersama, tapi dia menolak karena ingin bertemu Raisa. Oh astaga, pasti menyenangkan jika nantinya Raisa menjadi istrinya. Juan jadi memiliki penyemangat tersendiri. Seperti sekarang, dia membuka pintu dan langsung melihat keberadaan Raisa yang sedang memasak. “Mana anak kita?” “Di kamar lagi tidur. Capek dia. Nanti dibangunin kalau makan malam udah siap.” “Cie, anak kita,” ucap Juan merasa senang karena Raisa tidak complain. “Pak, malam ini teman saya ada pembukaan café. Saya mau datang ke sana ya? boleh?” Oh pantas saja Raisa manis, ternyata ada maunya. “Pulang jam berapa? Di mana lokasinya? Sama siapa ke sananya? Pesta pembukaannya semacam apa? Ada alcohol gak? Kamu juga mau pake baju yang mana?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD