"Akhirnya nyampe juga," ucap Glenn lega, setelah encok mendaki beberapa menit.
"Ini sungainya? Serius?" tanya Erick terkejut. Erick mengedarkan pandangannya menatap hamparan sungai yang membentang panjang. Sungainya terlihat kecoklatan dan keruh. Ini pertama kalinya ia harus mandi di tempat terbuka seperti ini. Aliran air di sungai ini cukup deras, dan banyak bebatuan besar di sana.
"Iyalah Erick, kan sungai disini cuma satu," jawab Dion seadanya.
Erick menggaruk rambutnya yang tak gatal. Ia dilema, ragu-ragu mau mandi atau tidak.
"Mandi engga, mandi engga," gumam Erick pelan.
"Lah ini letakin peralatannya dimana?" ucap Dion mondar-mandir mencari tempat yang bisa meletakan baju bersihnya. Tidak mungkin, kan ia meletakkannya di jalan.
Sungai disini plong begitu saja. Tak ada tempat untuk meletakkan baju. Dion jadi kepikiran, orang-orang di desa ini meletakan bajunya dimana.
"Busett … ini serius kita mandi bertiga?" tanya Glenn terkejut.
"Lah iya, masa berempat," jawab Dion masih mondar-mandir.
"Gue bingung mandinya anjir," ucap Glenn yang masih amatir.
"Bingung kenapa njir? Tinggal nyemplung doang," jawab Dion seadanya, masih mondar-mandir mencari tempat.
"Kak ... aku kayaknya ga berani mandi deh," ucap Erick.
"Lah ngapa?" tanya Glenn.
"Ngeliat airnya, jadi ragu mau mandi apa engga," jawab Erick to the point.
"Yaa justru itu Rick, dengan adanya kita disini. Kita bisa ngerasain mandi di sungai. Jaman dulu, kan sebelum ada kamar mandi, orang-orang mandinya kalau ga di sumur ya di sungai," jawab Dion.
"Aku rasanya agak gimana gitu kak, mereka mandi disini, nyuci disini, apa ga kecampur sama limbah? Gimana dengan air minum mereka?"
"Ambil dari sini," jawab Dion membuat Glenn dan Erick terkejut.
"Haaa serius?" ucap Glenn dan Erick bersamaan.
"Sebelum kita pergi kesini. Aku, kan riset dulu desa mana yang ketinggalan jauh dari peradaban. Dan aku nemu desa ini. Desa ini perlu uluran tangan. Mereka nyuci disini, mandi disini, ambil air minum disini. Yang kalau kita pikir secara realistis, itu udah pasti ga sehat. Ambil air minum dari sungai bekas mandi atau mencuci."
"Terus kak?" tanya Erick menyimak.
"Disini akses air bersihnya ga ada. Listrik juga ga ada, jadi mereka cuma bisa hidup seadanya."
Erick menghela nafas, "Kasihan ya."
"Ah!" Dion menjentikkan jarinya, setelah mendapatkan sebuah ide cemerlang," Gimana kalau kita bikin pembangkit listrik aja dari sungai ini!" ucap Dion semangat.
"Emangnya bisa?!" tanya Glenn dan Erick bersamaan.
"Bisa, tapi kita mandi dulu yuk. Entar keburu siang, kan kita harus bagiin bansos," jawab Dion menyunggingkan senyuman.
"Masa naik motor bertiga njir udah kayak cabe-cabean pasar minggu. Kalau ditilang polisi gimana anjirrrrr?!" protes Mira menatap Mario yang duduk di atas motor.
Mira dan Sena diajak Mario untuk pergi ke suatu tempat. Ia juga telah merapikan dandanan Sena seperti semula, tidak seperti anak punk lagi. Padahal ia sudah melakukan sebaik-baiknya seperti make up artis profesional. Iya, kan?
"Berisik anjir suara lu. Ntar disangkanya gue ngapa-ngapain."
"Lagi ... yakali kita naik motor boncengan bertiga, ga ada yang lebih elitan dikit apa?!" protes Mira keras. Mario harus tahan dengan suara Mira cempreng kalau berteriak. Entah kenapa Mira selalu cempreng jika berbicara dengannya, tapi jika berbicara dengan Dion dan Sena lembut banget seperti p*ntat bayi.
Mario, Sena, dan Mira berada di depan basement apartemen. Mario mengambil motornya di tempat parkir tadi, dan menyuruh mereka berdua menunggu di depan basement apartemen.
"Lagi lu ngapain ikut si Juleha ... gue berasa bawa anak jalan-jalan tau ga. Biarin aja si gue ama yayang Sena jalan romantis. Ganggu kencan raja sama ratu aja deh ni dayang-dayang."
"Kencan kencan, enak aja tuh congor ngomong mau kencan. Ga bisa! Nyari kesempatan dalam kesempitan mulu lu anjir. Masih gue pantau ye, belum aje gue selepet."
"Gue tau lu cemburu bini kedua. Entar dulu ye ... Abang jalan dulu ama yang ini, baru abis itu ama neng Mira."
Buk..!
"Aw," ringis Mario memegangi kepalanya yang tertutup helm.
"Ogah banget gue jadi bini kedua lu. Pokoknya ini terakhir kalinya ye lu tidur di apartemen Dion. Malam ini dan seterusnya-"
"Tidur lagi," potong Mario.
Buk...!
Mira kembali memukul helm Mario keras.
"Memukul kepala raja, menyalahi aturan, dan perundang-undangan, dan harus dihukum menurut aturan raja Mario."
"Hukum apaan lu ..."
"Menikah denganku," jawab Mario santai.
Bak..! Buk..! Buk..!
"Ah keseeeeeel," Mira memukul-mukul helm Mario tanpa ampun.
Bak...!
Buk...!
Buk...!
Sena menutup kedua telinganya dengan jari telunjuk, "Aduh ... kalian bisa ga sih ga ribut mulu ..."
*****
"Pas 250!" ucap seorang pria, sang ketua BEM fakultas ekonomi setelah menghitung total karung beras di teras pondok.
"Bansos pas 250!" teriak seorang lagi di luar pondok. Anggota BEM yang lain.
"Berarti oke nih?" teriak yang sang ketua BEM fakultas ekonomi.
"Oke!"
"Sip," jawab sang ketua tersenyum bangga.
Semuanya telah selesai, tinggal membagikannya aja lagi.
Sementara di luar pondok yang wanita juga sibuk menyiapkan makanan, beberapa pria membantu menyalakan api. Membuat tungku dari kayu bakar. Dan wajan besar, mereka ambil dari dalam pondok.
Pondok ini juga ada berbagai macam peralatan masak tradisional untuk membuat makanan saat acara adat tertentu. Masyarakat akan bergotong-royong memasak dalam jumlah banyak.
Para wanita ada yang memotong sosis, memotong kentang, memotong tangkai cabai, mengupas kulit bawang, dan lain-lain.
"Chik, tolong bantu masak ya ..." ucap salah seorang wanita berhijab.
Chika yang saat itu sedang duduk-duduk santai sambil main ponsel, merasa terusik, "Yaudah masak aja kali, ga usah ngajak-ngajak."
"Kan tujuan kita disini saling kerja sama. Kamu tugasnya ga susah kok. Cuma ngocok telur aja."
"Aduh, cari orang lain aja deh. Cewek-cewek disono banyak kan, kenapa harus gue," jawab Mira ketus tak memandang wanita itu, ia asyik melihat-lihat foto i********: yang fashionable.
"Kamu, kan bagian dari panitia abdi desa juga. Apa salahnya kamu bantu dikit aja."
"Aaah, bawel banget sih. Kerja tinggal kerja. Kalau orang ga mau ya jangan dipaksa lah. Lagijuga gue ngikut ini ga bareng sama fakultas gue, kan? Gue dateng sendiri karena kemauan gue sendiri. Gue ga terikat kayak fakultas lu, yang harus ini harus itu. Jadi ya terserah gue lah, mau ngapain juga."
"Tapi seengganya kamu bisa bantu dikit aja. Orang lagi pada sibuk, kamu malah leha-leha disini. Kalau kak Dion lihat, gimana?"
"Apaan si. Bawel banget dah. Udah pergi sana. Jauh-jauh! Ga tau orang lagi santai apa."
Wanita itu menarik nafas panjang, kemudian menghembuskanya kasar, "Hemm ... yaudah deh."
"Yaudah sono pergi. Ganggu ketenangan aja."