"Ini semua yang tuan Daniel minta."
Seorang detektif menyodorkan sebuah amplop cokelat.
Seperti yang Daniel inginkan tadi siang. Ia ingin semua orang yang terlibat dengan kasus Davina segera diusut tuntas malam ini.
Mereka duduk melingkar dengan meja bundar yang berada di tengah-tengah mereka. Kedua detektif memakai topi, dan masker untuk menutup identitas mereka dari orang-orang.
Tak ada satupun yang tahu mengenai siapa detektif itu, dan bagaimana wajahnya. Karena mereka bertemu secara rahasia di ruang bawah tanah milik Daniel.
Meskipun ruang bawah tanah terletak di rumah Daniel, namun tak ada seorangpun yang tahu mengenai itu, bahkan ibundanya sendiri.
Daniel menciptakan ruang bawah tanah untuk menciptakan privasinya sendiri.
Daniel meraih amplop cokelat yang menarik perhatiannya. Ia mengendurkan tali yang melingkari bulatan di atas amplop.
Setelah terbuka, Daniel mengeluarkan semua isinya. Dan meletakan amplop kosong itu di atas meja.
Daniel menatap 4 lembar kertas yang berisi biografi tentang Mira dan Mario.
"Oh jadi pria itu bernama Mario?" tanya Daniel menatap foto Mario berlatar belakang merah, ukuran 3x4 yang ditempel di atas kertas.
"Iya tuan Daniel," jawab salah satu detektif, sebut saja detektif 1.
Daniel membaca biografi Mario dengan teliti.
"Mario Dewa, 25 tahun, semester 5, universitas Nusa Bangsa, alamat di Jalan–"
Daniel membaca pelan-pelan biografi Mario sampai habis, kemudian senyuman miring tersungging di bibirnya. Ia puas sekarang, sudah mendapatkan dua umpan secara bersamaan, tinggal memakai dua umpan itu untuk menangkap ikan yang dia inginkan.
*****
Suara burung gereja bercicit dan angin sepoi-sepoi yang menggerakkan dedaunan menambah khidmat suasana di pagi itu. Sinar mentari yang hangat menyongsong tinggi memberikan cahya kehidupan di bumi.
Jam 7 pagi. Para panitia telah berbaris rapi di depan halaman pondok. Dion, Glenn, dan Dimas petinggi BEM berdiri di depan mereka. Sedangkan Erick ikut berbaris di belakang panitia fakultas ekonomi.
Ini adalah hari ketiga mereka mengabdi di desa Ujung Jawa.
Mulai hari ini Dimas mengikuti kegiatan abdi desa, setelah 2 hari vakum.
"Baiklah semuanya. Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh," ucap Dion di depan toak yang menyala.
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wa barakatuh," jawab mereka.
"Hari ini, adalah hari ketiga kita mengabdi di desa ini. Dan hari ini sampai seterusnya, kita akan berbagi tugas menurut fakultas masing-masing. Untuk yang fakultas bisnis dan ekonomi, kalian ditugaskan untuk memandu masyarakat-masyarakat disini untuk memajukan usaha kecil yang mereka punya. Untuk fakultas kedokteran bantu kesehatan mereka, mengecek stunting pada bayi dan balita, mengecek kesehatan dan kondisi ibu hamil dan menyusui, ikut memantau kegiatan posyandu, dan ikut mengecek kondisi lansia. Untuk fakultas seni, kembangkan seni di jiwa masyarakat sini, terutama anak-anak dan kaula muda yang punya semangat tinggi. Ajarkan mereka mengembangkan seni dan bakat yang mereka miliki. Dan untuk fakultas teknik. Fakultas teknik kan banyak yah jurusannya, dan disini saya mau kalian melakukan beberapa tugas yaitu membuat pembangkit listrik tenaga air, kita dapat memanfaatkan sungai yang keruh disana. Insyaa Allah kalau kita saling bekerja sama, pasti akan selesai selama beberapa hari ke depan. Apalagi disini paling banyak anak teknik, 20 orang."
"Segitu aja yang dapat sampaikan, kurang lebihnya mohon maaf. Mungkin ada yang mau bertanya dulu sebelum kita mengakhiri acara?"
Salah seorang panitia dari fakultas teknik mengacungkan jari.
"Yaa silakan," ujar Dion.
"Bagaimana jika seandainya sampai hari terakhir pembangkit listrik belum juga selesai?"
Dion mengangguk paham, "Kita kesini kurang lebih 50 orang. Dalam satu fakultas kecuali fakultas teknik, ada 10 orang. 5 orang diantara mereka harus turun tangan membantu anak fakultas teknik menyelesaikan pembangkit listrik. Kita akan membuat kincir air raksasa untuk mengubah air menjadi listrik."
Beberapa menit sesi tanya jawab dilangsungkan, dan Dion menjawab mereka dengan tenang.
*****
Pertempuran pun dimulai. Mereka pun bekerja sesuai yang Dion arahkan tadi pagi. Untuk ketua, wakil, sekretaris, dan bendahara BEM Universitas. Mereka juga ikut mengawasi dan membantu. Glenn membantu fakultas Seni, Roy membantu fakultas ekonomi, Dimas membantu fakultas teknik, dan Dion membantu fakultas kedokteran sesuai jurusannya. Dan Erick, anggota BEM ikut bersama Roy.
Panitia dari fakultas seni berjalan kaki sejauh 500 m menuju sekolah dasar di desa Ujung Jawa. Mereka jalan dengan modal nekat, karena salah satu jalan untuk mencapai sekolah adalah dengan menyebrangi sungai.
Sungai disini tidak dalam, jika diukur, hanya di bawah pinggang orang dewasa.
Anak-anak yang tidak punya uang, biasanya membawa dua baju ganti. Baju pertama untuk berangkat ke sekolah, lalu saat sampai di sekolah mereka menggantinya dengan seragam. Dan saat pulang, mereka melepas seragam mereka dan diganti dengan baju kedua untuk pulang sekolah. Mereka menyebrangi sungai dengan modal nekat. Agar mereka bisa sekolah seperti orang-orang, meskipun kehidupan mereka kurang beruntung.
Dan untuk anak-anak yang cukup uang jajan, mereka akan menyewa sampan untuk menyebarangi sungai. Dikenakan harga 1000 rupiah. Bolak-balik 2000 rupiah.
Mungkin salah satu masukan yang bisa dilontarkan untuk Ujung Jawa adalah pembangunan fasilitas jembatan untuk sungai ini.
Mereka sekolah sekaligus mengadu takdir. Jika hujan turun, aliran air sungai tinggi dan deras. Tubuh kecil mereka bertarung melewati derasnya air sungai.
Jika mereka berjalan, air sungai sampai sebatas d*da mereka. Namun jika hujan sampai sebatas leher, mereka harus mendongakkan dagu agar air sungai tidak terkena mulut.
Anak-anak yang masih kecil kelas 1 sampai kelas 4 SD, biasanya dibiayai orang tua untuk naik sampan.
"Aduh …" keluh seorang panitia berhijab hampir terpeleset saat kakinya tersandung batu sungai, untungnya panitia pria di belakang menahan tubuhnya.
"Hati-hati, licin," ucap panitia pria tersebut.
"Ini serius anak SD harus lewat sungai dulu biar sekolah?"
"Iya lah, sekolah di desa ini cuma satu."
"Bagaimana dengan SMP dan SMA-nya?"
"Mereka harus keluar dari desa ini. Pergi ke desa lain."
"Sulit sih bagi gue kalo sekolah harus basah-basahan gini. Apalagi deras banget ini loh, licin juga. Kalo ga hati-hati bisa hanyut."
"Iya, gue juga ngerasa kok. Apalagi dengan badan mereka yang kecil. Pasti gampang banget terseret arus."
Setengah jam mereka saling nimbrung bicara tentang desa ini. Hingga tak terasa mereka sampai di depan sekolah yang terlihat kecil dan tak layak.
mereka membaca papan nama yang terpampang besar.
SD 01 UJUNG BATU.
Mereka menatap sekolahan itu dari luar. Dinding-dindingnya telihat banyak retak, dan cat-nya menguning kecokelatan. Pepohonan rimbun dengan batang tinggi mengelilingi sekolah.
Pepohonan yang dikhawatirkan jika roboh, akan jatuh mengenai sekolah.
Selain sekolahnya kecil, tidak ada lapangan untuk bermain ataupun berolahraga untuk para murid.
"Yuk masuk," ucap salah satu panitia.
"Yuk," sahut yang lain.
Mereka pun masuk dengan baju dan celana yang basah. Meskipun begitu, mereka melakukannya ikhlas untuk membantu desa ini.
Mereka pun masuk dengan baju dan celana yang basah. Meskipun begitu, mereka melakukannya ikhlas untuk membantu desa ini.