PART 81 - JADI MANTU

1042 Words
Mereka berjalan menempuh lorong sekolah, sembari menilai kondisi sekolah satu persatu. Dimulai dari lantai, dinding, langit-langit, jendela, tempat sampah, kamar mandi, tempat cuci tangan, pintu kelas, dll. Mereka menilai sekolah ini sekaligus observasi untuk melihat kondisi kelayakan bangunan dan fasilitasnya. "Langit-langitnya aman kayaknya," ucap salah satu panitia pria menengadah melihat ke atas. "Langit-langitnya memang aman meskipun dari seng. Tapi pepohonan tua di sebelah sekolah mengkhawatirkan," jawab yang lain. Panitia wanita mengangguk setuju, "Pohon itu harusnya ditebang. Soalnya jarak batang pohon, hampir dekat dengan atap sekolah. Takutnya kalau kena badai, atau sambaran petir pohonnya jatuh menimpa sekolah." "Kita bisa bicarakan itu nanti ke kepala sekolah. Yang penting kita ngajar seni dulu disini." "Oke," jawab mereka semua mengangguk setuju. Di sekolah ini hanya ada 5 ruangan. 3 ruangan untuk ruang kelas. Dan sisanya 2 ruangan untuk ruang guru, dan ruang kepala sekolah. Tiga kelas dipakai secara bergantian. Jadwal pagi untuk kelas satu sampai kelas tiga, dan jadwal siang untuk kelas empat sampai kelas enam. Mereka pun berhenti tepat di depan pintu kelas. Salah satu panitia wanita mengetuk pintu kelas yang tertutup. Sedangkan yang lain mengintip di balik jendela kelas 3. Dari balik jendela mereka dapat melihat senyuman ceria anak-anak yang antusias belajar meskipun dengan kondisi seadanya. Dan tentu saja itu tidak luput dari perhatian mereka. Tuk tuk tuk "Sebentar ya anak-anak. Ibu buka pintu dulu," ucap guru paruh baya berhijab. "Baik bu," jawab mereka kompak. Bu guru pun melangkah mendekati pintu. Anak-anak yang tadinya serius belajar, kini menggunakan waktu senggang untuk bercanda sebentar bersama teman, bermain mejikuhibiniu, tidur menelungkup, atau bermain abc lima dasar. Cklek..! Bu guru membuka pintunya. Saat membuka pintu ia melihat para mahasiswa memakai almamater tengah berdiri di depan pintu. "Oh kalian, anak kuliah yang lagi abdi desa itu ya?" tanya sang guru ramah. "Iya bu," jawab mereka bersamaan. "Ada keperluan apa di sekolah kami?" Glenn yang ikut membantu fakultas seni angkat bicara, "Kita mau mengajarkan anak-anak tentang seni bu. Sebelumnya saya perkenalkan diri dulu. Nama saya Glenn dari Universitas Nusa Bangsa. Dan ini teman-teman saya." "Selamat pagi bu," ucap mereka tersenyum. "Pagi juga," Bu guru melemparkan senyum pada mereka. "Boleh, kan bu kami mengajarkan anak-anak tentang seni?" tanya Glenn ramah. Bu guru tersenyum, memperlihatkan kerutan di sekitar bibirnya. Ia mengangguk ramah, "Boleh, silakan masuk." Glenn dan para panitia mengangguk tersenyum. Mereka berbondong-bondong memasuki ruang kelas. "Haaaaai," anak-anak menggerakkan tangannya ceria menyambut kedatangan mereka. Mereka yang mendapatkan energi positif dari anak-anak pun membalas senyuman dan sapaan mereka. "Hai juga." Glenn yang berdiri paling tengah membuka sambutan, "Selamat pagi anak-anak." "Selamat pagi ka." Bu guru yang berdiri di dekat pintu tersenyum. "Mau ga hari ini kita bermain dan belajar bersama kakak-kakak?" ucap Glenn ramah. "Mau!" "Sebelumnya kakak memperkenalkan diri dulu ya. Nama kakak Glenn, dan ini semua teman-teman kakak." "Hai kak Glenn," jawab mereka serempak. Setelah Glenn memperkenalkan diri, kini gantian panitia yang lain memperkenalkan diri mereka satu persatu. Senyuman ceria dan semangat antusias anak-anak membuat para panitia semakin semangat menjalani kegiatan ini. Selain bisa mendapatkan kesempatan lebih dekat dengan anak-anak, kegiatan ini juga menyenangkan. Soleram~ Soleram~ Para panitia, anak-anak, dan bu guru bernyanyi bersama. Soleram, anak yang manis. Anak manis janganlah dicium sayang, kalau dicium merahlah pipinya. Anak manis Janganlah di cium sayang. Kalau dicium merahlah pipinya. Satu dua tiga dan empat. Lima enam dalam jambangan. Kalau tuan dapat kawan baru Sayang. Kawan lama di lupakan jangan. Kalau tuan dapat kawan baru Sayang. Kawan lama di lupakan jangan. ***** "Tekanan darah ibu tinggi sekali 160/120 mmHg. Kurangi mengkonsumsi makanan pemicu tekanan darah tinggi ya bu, seperti makanan yang mengandung banyak garam atau gula, durian, alkohol, produk olahan seperti kalengan, junkfood, makanan yang mengandung banyak lemak jenuh seperti daging merah. Ibu bisa menggantinya dengan sering-sering mengkonsumsi makanan yang bisa menurunkan tekanan darah tinggi ibu, seperti sayuran hijau, pisang, ikan yang banyak mengandung omega-3, alpukat, tomat, dan wortel," ucap Dion setelah mengecek tensi darah seorang ibu paruh baya. Dion membuka sabuk yang melilit lengan ibu paruh baya itu. "Siap dek," ucap ibu paruh baya tersenyum, lalu mengedipkan satu matanya genit. "Kamu ganteng banget si jadi suka," ucap ibu paruh baya berumur 58 tahun mencolek dagu Dion. "Waduh," jawab Dion tersentak, lalu tertawa kecil. "Mau ga jadi menantu ibu? Anak ibu cantik loh, rajin sholat, pinter masak, pinter bersih-bersih, mandi, suka mengayomi anak-anak, punya jiwa keibuan. Ga nyesel deh adek nikah sama dia. Mau ya?" "Hehehe makasih bu tawarannya," jawab Dion tertawa kecil. "Kamu menantu idaman ibu banget soalnya, kalau ibu masih muda pasti ibu mau jadiin kamu suami." "Waduh …" "Mau ya jadi mantu ibu?" Dion menggaruk-garuk rambutnya, kalau sudah diminta jadi mantu, ia harus jawab apa nih. "Aduh gimana ya bu?" Dion terkekeh kecil, mau menolak tidak enak, kalau terima tidak mungkin. Chika yang berdiri di samping Dion jadi panas sendiri. "Hayo gimana?" tanya ibu paruh baya itu tersenyum menatap Dion menunggu kepastian, tidak peduli pada orang yang mengantri di belakangnya, ngomel-ngomel. "Bu tolong ya! Itu yang dibelakang udah pada protes. Antrian masih panjang. Kalo udah selesai langsung keluar jangan kebanyakan ngobrol," ucap Chika nge-gas. Dion menengadah menatap Chika lewat tatapannya, mengisyaratkan kenapa ngomong itu, kan ga enak tau. Ia jadi tidak enak sendiri pada ibu-ibu itu. Dion hanya bisa tersenyum saja, menutupi rasa malunya. Ekspresi ibu itu berubah masam, lalu beranjak dari duduknya, "Yaudah." "Maaf ya bu, maaf," hanya ucapan itu yang bisa Dion katakan. Antrian pun berganti dengan bapak paruh baya yang duduk di depan Dion. "Saya cek tensinya ya pak," ucap Dion melakukan kegiatannya, mengukur tensi darah. Para mahasiswa kedokteran berbagi-bagi tugas. Di lapangan luas, mereka mengadakan cek kesehatan sukarela yang dipantau oleh bidan desa, dan kepala dusun. Ada 10 panitia ditambah Dion dan Chika. Jadi ada 12 orang yang terjun langsung menangani kesehatan masyarakat. Ada 4 meja yang memiliki tugas masing-masing. Meja pertama ada Dion yang bertugas menangani lansia, dimulai dari cek berat badan, mengukur tensi dan kadar gula, dan Chika sebagai tukang catatnya. Meja kedua ada 4 orang yang ikut membantu bidan desa mengerjakan posyandu bayi dan balita untuk mencegah stunting. Meja ketiga ada 3 orang wanita yang membantu mengecek kondisi kesehatan ibu hamil dan menyusui. Dan sisanya di meja ke empat, mereka memeriksa kondisi kesehatan anak-anak dari usia 6 sampai 12 tahun. Memeriksa kesehatan mata, gigi dan mulut, berat badan ideal, mental, dan pertumbuhan tulang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD