"Pokoknya kalau Sena belum bilang buka. Jangan buka!"
"Ngintip dikit ya."
"Jangan!" Sena menutup mata Dion dengan telapak tangannya.
"Hahaha," Dion tertawa, "Kamu bikin aku gemas, Sen."
"Dion jangan ngintip!"
"Iya iya, nih aku udah tutup mata."
"Ga bohong, kan?"
"Engga Sena."
Sena menjauhkan tangannya dari mata Dion. Kemudian menuntun Dion berjalan, Sena membuka pintu kamar perlahan-lahan, "Kalau Dion buka mata, Sena marah."
"Emang apa sih?"
"Kalau Sena ngasih tau ga surprise lagi dong."
"Oh jadi ceritanya kamu ngasih surprise buat aku?"
"Bukan bukan kok, eh iya-eh engg-"
"Iya apa engga," goda Dion.
"Aaaa Dion mah. Jadi ga surprise lagi, kan. Kan harusnya Dion gatau gitu … jadi pas Dion ngeliat kayak Oh my god, kaget, terkejut, terkesima, terharu gitu kayak di film-film. Sekarang Dion udah tau. Ga jadi dong surprise-nya."
"Hahaha, kan aku belum tau surprise nya apa."
"Oh iya ya."
"Berarti surprise-nya jadi," Sena menuntun Dion pelan-pelan masuk kamar.
"Sekarang Dion buka mata."
"Buka sekarang nih?"
Sena mengangguk, "Iya."
"Sekarang apa nanti?" goda Dion.
"Sekarang."
"Sekarang? Yakin? Kalau aku maunya besok gimana?" goda Dion lagi.
"Diooon! Sekarang!"
Dion terkekeh, kemudian membuka matanya perlahan-lahan menatap surprise yang Sena maksud. Dion tiba-tiba terdiam.
"Suka, kan?" tanya Sena penuh harap. Sena menaikturunkan alisnya bangga.
"Ini … lukisan … kamu?" tanya Dion pelan-pelan.
Sena mengangguk senang, "Gimana? Bagus, kan? Ini lukisan paling indah yang Sena buat. Sena buat ini dengan segenap jiwa dan raga. Gimana? Gimana? Sena udah cocok, kan jadi tangan seni?"
"Paling indah? Tangan seni?"
"Iya … indah, kan?"
"Indah?" Dion menatap lukisan itu lekat-lekat mencari letak keindahannya, namun sedetik kemudian.
"HAHAHA."
"HAHAHA."
"HAHAHA."
Sena mengeluarkan tatapan polosnya, "Kenapa?"
"Hahaha, aduh perut aku sakit. Tangan seni? Hahaha."
Dion membungkuk, memegangi perutnya yang sakit kebanyakan ketawa. Sebelah tangannya bersandar di dinding, menahan tubuhnya agar tidak jatuh.
"Sena kamu … kamu hahaha. Aduh ga kuat aku ketawa terus."
Dion kembali menegakan tubuhnya. Lalu menghapus air matanya yang mengumpul di pelupuk.
"Kenapa sih? Lukisan Sena bagus, kan? Ini indah loh," ucap Sena dengan wajah polosnya.
Dion menatap wajah Sena yang polos sekaligus kebingungan, "Hahaha."
"Aaaa Dioonnn mah! Diketawain."
"Aduh … sampe nangis aku," Dion mengusap air matanya yang menetes.
"Kamu lucu banget tau ga, Sen. Sampe ga ngerti lagi aku. Coba sekarang kamu jelasin ke aku ini gambar apa."
"Ini gambar pemandangan Dion. Yang ini gunung," tunjuk Sena pada dua buah lekukan besar di lukisannya.
"Oh ini gunung. Kenapa gunungnya kamu warnain pink?"
"Soalnya Sena suka warna pink."
"Terus ini," Dion menunjukan gambar yang membuatnya tertawa. Terletak di bawah kanan.
"Ini mobil."
"Mobil? Aku kira tadi kecoa warnanya coklat."
"Aaaaaa Dion! Ini tuh mobil."
"Kamu ngewarnain mobil kenapa coklat semua, sampai ke ban-nya warna coklat."
"Tadinya Sena mau warnain mobilnya coklat, tapi pas Sena lagi nge-warnain, ban-nya kecoret. Jadi yaudah sekalian aja Sena warnain biar sama semua."
"Hahaha."
"Dion!"
"Tapi aku suka kok, Sen. Dipajang aja disini ya."
"Dion beneran suka?" ucap Sena dengan mata berbinar.
"Suka. Kan Sena yang buat."
"Berarti Sena tangan seni, kan?"
"Jangan bilang tangan seni lagi. Setiap kali aku denger tangan seni, mau ketawa mulu."
"Dion!"
"Hahaha."
******
Drrt drrt!
Mira yang baru saja selesai mandi, menghampiri ponselnya di atas nakas. Bathrobe berwarna hijau masih menggantung di badannya.
Mira meraih ponselnya di atas nakas, dan duduk di ranjang. Sesekali ia mengusap rambutnya yang masih basah dengan handuk kecil.
"Daniel," ucap Mira tersenyum senang, ia tak sabar membuka pesan dari calon jodohnya. Hehe semoga.
Besok, kamu ada waktu?
Mira tersenyum girang, kemudian melempar handuk kecilnya tak tentu arah.
"Aaaaaaa," teriak Mira kegirangan. Begini ya rasanya jatuh cinta, dapat pesan aja seperti menang lotre.
Mira menjatuhkan badannya di ranjang. Membaca pesan itu berulang-kali. Tidak cukup tiga kali, pesan ini begitu berharga untuk Mira. Membaca pesannya saja membuat hatinya melambung tinggi.
Mira mengetik cepat.
Ada kok. Kapanpun aku ada waktu. Kapan? Dimana?
Send.
"Yess!" jerit Mira kesenangan.
Kafe kopi, jam 10 pagi.
Mira membalas lagi.
Oke sayang.
Mira membalikan badannya, telungkup, "Aaaaa besok kencan," ucapnya senang tak karuan.
"Hah … Daniel … ngebayangin aja pipi aku merah. Gimana besok."
*****
"Dion, Sena tidur sini ya."
"Hah? Apa? Ga! Ga boleh!"
Dion menggaruk-garuk rambutnya yang tak gatal. Tadinya ia mengusir Sena untuk balik ke kamarnya, dan Sena pun balik ke kamarnya, namun selang beberapa detik wanita itu malah datang lagi kesini seperti orang mau pindahan.
Wanita yang tingginya hanya sebatas bahu Dion meringsek masuk. Namun Dion menghadangnya, tak mengizinkan Sena masuk.
Dan pada akhirnya disinilah mereka.
Dion berdiri di depan pintu, dengan pintu sedikit terbuka. Ia berjaga-jaga agar Sena tak nyelonong masuk. Dan Sena, wanita itu berdiri di hadapan Dion membawa bantal, guling, dan selimut Hello Kitty. Benarkan, seperti yang Dion bilang. Sena seperti orang pindahan.
"Tapi Sena maunya disini."
"Sena, kan udah punya kamar. Itu di sebelah."
"Sena bosen disitu. Sena maunya disini."
"Sena …" Dion menarik nafas panjang, alasan apalagi yang bisa membuat Sena balik ke habitatnya.
"Kamar kamu di sebelah loh, ga cukup lima langkah. Lagu dangdut aja lima langkah. Ini cuma dua langkah. Kurang deket apa lagi?"
"Sena maunya disini, kamar Dion enak."
"Yaudah kita tukeran kamar aja gimana?"
Sena menggeleng, "Ga mau."
"Loh kok ga mau? Balik kamar ga mau, tukaran kamar ga mau juga."
"Sena maunya sama Dion, hehe."
Dion menarik nafas panjang, kalau begini bisa berabe urusannya, "Sena, kan aku udah bilang kalau cewek dan cowok berduaan dalam satu kamar, yang ketiganya-"
Jlek...!
"Tuhkan lampunya mati. Sena takut loh tidur sendirian. Jadi gapapa, kan Sena tidur disini. Yaudah Dion minggir."
Sena menggeser sedikit tubuh Dion menghalangi pintu, ia pun melangkah masuk tanpa izin. Mati lampu tadi, anggap saja sebagai izin. Karena Sena tahu Dion pasti akan menolaknya.
"Yeeeeey! Akhirnya tidur di kamar Dion!"
Dion yang berdiri di depan pintu, menutup wajahnya, pasrah. Dion pun menutup pintu kamar.
Sena menghamparkan selimut hello kitty-nya ke ranjang Dion, berikut bantal dan juga guling.
Dion mengeluarkan ponselnya di balik celana piyama, menyalakan senter.
"Sena, kita bukan kemah. Kenapa harus tidur di satu tempat sih."
"Sena takut kalo tidur sendirian."
"Oke, sekarang aku izinin karena mati lampu. Tapi besok balik ke kamar ya."
Sena menggeleng, "Ga mau. Sena maunya disini."
Dion menarik nafas dalam-dalam, kemudian menghembuskanya, "Astaga, Senaaaaa."