PART 105 - BULAN DAN BINTANG

1030 Words
"Makasih udah nganterin gue sampe rumah, Mar." Mira dan Mario berdiri di depan pintu rumah Mira yang tertutup rapat. "Ga pulang ke apartemen Dion?" Mira menggeleng, tersenyum, "Mereka lagi sama-sama kangen. Kalau gue disana entar ganggu." "Oh, oke," ucap Mario berbalik badan, lalu berjalan meninggalkan rumah Mira. Namun panggilan keras menghentikan langkahnya. "Jaket lu gimana?" "Simpen aja," jawab Mario masih memunggungi Mira, lalu kembali melanjutkan perjalanannya. "Makasih ya Mario!" Mario hanya tersenyum tipis, tentu saja Mira tidak bisa melihatnya. Mario memutuskan pergi dari rumah Mira setelah memastikan gadis itu selamat sampai rumah. Di sepanjang perjalanan Mario terus merenung. Tatapannya kosong. Seolah-olah jiwanya menghilang. Suara klakson yang keras dari pengguna jalan tak terdengar. Mario mengendarai motornya dengan perasaan hampa. Mario tidak tahu ada apa dengannya hari ini. Peristiwa dimana Dion dan Sena berciuman terus saja berputar di otaknya. ***** Jari-jari mereka saling terpaut. Dion menggenggam erat tangan mungil Sena yang menghilang di balik genggamannya. Mereka menatap langit yang kosong tanpa bintang, hanya purnama yang bersinar terang tanpa awan. "Sena." "Hem …" "Setiap kali aku rindu kamu, aku selalu melihat langit." Sena menoleh menatap Dion yang masih terpaku melihat langit, "Kenapa?" "Karena cuma langit yang paham emosi dan perasaan seseorang. Langit adalah saksi pertama bagaimana perasaanmu. Saat kamu menyukai seseorang langitlah yang lebih dulu tahu. Saat kamu rindu, marah, sedih, kesal langit selalu menjadi saksi pertama." Sena diam mendengarkan. Hembusan angin menerbangkan helaian rambut mereka. Dion tersenyum, kemudian menunduk melihat gadisnya. "Kamu tahu gak setiap kali aku melihat bintang, aku selalu teringat wanita lugu." Sena tersenyum, "Wanita lugu? Apakah itu Sena?" Dion mengangguk. "Wanita lugu itu bersinar seperti bintang. Dan selalu memberikan cahayanya buat aku." "Jadi apakah Sena bintangnya Dion?" Dion mengangguk, "Kamu bintang. Dan aku adalah bulan. Bulan yang selalu melindungi bintang kemanapun." Sena tersenyum. Kalimat itu menggelitik hatinya, seolah ribuan kupu-kupu berterbangan di hatinya. "Dion?" "Ya?" Mata mereka saling beradu, menyiratkan rindu. Sena meletakkan tangannya di bahu Dion, dan berjinjit mendekati wajah tampan itu perlahan-lahan. Chup! Dion melebarkan matanya terkejut menerima ciuman di bibirnya tiba-tiba. Bibir lembut Sena menyentuhnya tanpa aba-aba. Wajah Sena tiba-tiba memerah, lalu buru-buru melepaskan ciumannya. Namun sebelum ciuman itu terlepas. "Karena kamu memulainya tanpa persetujuan aku, jadi aku akan meminta lebih," ucap Dion jahil, ia melingkarkan lengannya di pinggang Sena. Mempersempit jarak di antara mereka. Lalu mendaratkan bibirnya di bibir ranum gadis itu. Dion melumat bibir gadis itu lembut, menggerakkannya perlahan-lahan. Sena yang awalnya terkejut, kini menutup mata membiarkan Dion melakukannya. Di bawah cahya kunang-kunang dan rembulan mereka menyalurkan kerinduan yang selama ini terpendan. Ciuman Dion semakin intens, ia mengeratkan pelukannya di pinggang Sena sampai tak ada jarak. Dion melakukannya dengan sangat lembut, membuat Sena terbuai. Awalnya lembut, namun setelah sekian detik berubah liar dan menuntut. Dion memperdalam ciumannya membuat Sena kewalahan. Sena yang merasa kadar oksigennya mulai habis, mendorong bahu Dion. "Hah Hah Hah." Sena mengatur nafasnya yang terengah-engah. Dion tertawa kecil melihat wajah Sena yang merah padam. Pipinya mengeluarkan semburat merah. Dion melepaskan jaket kulitnya, dan menyelimuti bahu Sena yang terbuka, "Pakai ini … dingin." Ia membiarkan Sena tenggelam di dalam jaketnya. Sena terlihat lucu sekarang, jaketnya kepanjangan sampai ke paha, dan juga tangannya menghilang di balik jaket. Dion menarik resleting jaket ke atas, "Kalau gini, kamu ga kedinginan lagi." "Makasih Dion." "Iya," jawab Dion tersenyum menatap wajah seindah bintang Sirius. Namun tatapannya turun pada liontin yang melingkar di leher Sena, liontin itu– "Sena liontin kamu bersinar." "Ha?" Sena menurunkan pandangannya, menatap liontin blue diamond. "I-iya liontinnya bersinar," ucap Sena terkejut. Sena tidak tahu bahwa liontin ini mengeluarkan cahaya. Diana tak pernah mengatakannya. "K-k-kok bisa?" ucap Sena masih terkejut. "Sepertinya liontin ini bersinar kalau terkena cahaya bulan," ujar Dion kemudian memegang liontin yang menyilaukan matanya. Baru pertama kalinya Dion melihat fenomena liontin seperti ini. "M-mungkinkah?" "Mungkin saja begitu. Aku baru pertama kali melihatnya," Dion menatap liontin blue diamond itu lekat-lekat. Bahkan cahaya blue diamond ini lebih indah dari kunang-kunang yang beterbangan di atasnya. "Di-Dion." "Hem …" "Yang ngasih liontin ini sebenarnya, Mama Dion." Dion mematung, "Mama?" Sena menunduk, "Ma-maaf, Dion marah ya." "Ah?" Dion menggeleng pelan, "Eng-engga." Jujur saja setelah mengetahui itu Dion jadi kepikiran. Ia bukannya takut memperkenalkan Sena ke orang tuanya. Ia hanya takut orang tuanya tak menerima kondisi Sena saat ini. "Dulu Dion pernah suruh Sena ngumpet kalau ada mama sama tante Dion di apartemen. Tapi waktu mereka datang, mereka ramah sama Sena." Dion menatap mata gadis itu. Dion tahu bagaimana ekspresi Sena saat senang, sedih, tertawa, marah. Dan tatapan itu– Itu adalah tatapan senang. Dan nada bicara itu, nada bicara bahagia. "Ramah? Apakah mereka seramah itu?" Sena mengangguk semangat, "Iya! Sena diajak ke rumah Dion. Rumah Dion luaaaaaas banget. Sena suka! Terus makanannya enak-enak! Terus terus di rumah Dion pintunya lucu bisa kebuka otomatis gitu, terus makanannya banyaaaaaak banget, Sena sampe kenyang terus boleh di bawa pulang. Terus terus terus pas di rumah Dion, Sen-" Chup! Wajah Sena tiba-tiba memerah. Oh Tuhan, tolonglah. Rasanya jantungnya ingin copot saja. Dion mencium pipinya. "Kamu cerewet ya kalau lagi senang." "Dioooooon Sena malu tahu." Dion tertawa kecil. Sena selalu terlihat lucu di matanya. ****** Cklek…! Dion membuka pintu apartemen. Ah, ia rindu wangi apartemennya. Ehm, bukan apartemennya. Tapi apartemennya bersama Sena. Ya, sekarang apartemen ini milik mereka berdua. "Dion, Sena bantu bawa ya." Dion tertawa kecil, "Ga usah Sena." Sena mengerucutkan bibirnya, padahal ia ingin membantu tapi tidak diperbolehkan. Dion membiarkan Sena masuk terlebih dulu, baru dirinya. Dion membawa banyak barang. Koper, tas jinjing, dan juga beberapa tentengan yang berisi Pipi dan hadiah untuk Sena. Dion menatap tentengannya, haruskah ia memberikannya sekarang? Tapi sepertinya waktu belum tepat. Jadi Dion memilih untuk merahasiakannya sementara waktu. Dion berjalan menuju kamarnya, namun baru sampai di depan pintu. Sena telah berdiri di depan pintu dengan senyuman sumringah. "Dion!" Dion suka saat Sena memanggil namanya. "Apa Sena?" "Dion tutup mata dulu sebelum masuk." "Kenapa?" "Tutup mata aja." "Kenapa harus tutup mata?" "Aaaa pokoknya tutup mata." Dion tersenyum simpul, "Iya," ucapnya lalu menutup mata. Sena berjalan ke arah Dion, "Barang-barangnya letakin di lantai dulu." Dion menuruti ucapan Sena. Ia meletakan semua barang-barangnya di lantai. "Dion harus tutup mata ya!" "Ngintip dikit boleh?" "Ga boleh!" Dion tertawa kecil, "Kamu lucu kalo lagi protes gitu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD