"Dion ayo bobo."
Puk puk puk
Sena menepuk-nepuk ranjang di sebelahnya.
Sena bisa santai, tapi Dion tidak. Pria itu mati-matian menahan diri. Jangan tanya apa yang Dion pikirkan sekarang. Dion berusaha berpikir jernih untuk tidak berbuat yang iya-iya. Ehm, maksudnya yang tidak-tidak.
"Dion," panggil Sena lagi. Sena menatap Dion yang masih berdiri jauh 1 meter dari ranjangnya. Dan Sena dengan santainya berbaring di ranjang Dion, dengan selimut yang terpaut sampai batas d*da.
"Yaudah kamu tidur di atas. Aku tidur di lantai."
"Ih Dion kenapa sih?"
"Kenapa sih? Kamu bilang? Astaga Sena, kamu … kamu … Hah," Dion bahkan tak bisa melanjutkan ucapannya. Ingat, Sena adalah wanita polos yang pernah ia temui di muka bumi.
"Kenapa? Kan gapapa cuma tidur aja. Emang Dion mikirin apa?"
"Hah," Dion menghela nafas, lalu menggeleng cepat, "Ga ada."
Dion berjalan mendekati ranjang, dan menyandarkan ponselnya di pot bunga yang berada di atas nakas. Dion membiarkan senternya menyala. Setidaknya sampai lampu hidup.
"Yeeeeey! Dion tidur sini," ucap Sena kegirangan. Sena mengubah posisinya menjadi miring ke kiri, memperhatikan Dion yang naik ke atas ranjang.
"Dion seneng, kan?" tanya Sena tersenyum lebar.
"Sena … jangan tanya itu."
Dion meletakan guling sebagai pembatas. Bukan satu guling tapi dua. Guling Dion dan juga guling Sena.
"Ih Dion kok dikasih jarak? Sena ga bisa liat Dion dong," ucap Sena terduduk.
"Sena, inget ya aku ini cowo. Jadi harus dikasih batas."
Dion membaringkan tubuhnya terlentang, dan menarik selimut setinggi d*da. Ia menutup matanya, berusaha mengabaikan celotehan Sena. Kalau dibalas terus, bisa-bisa ia– tahan Dion. Pokoknya tahan. Keimananmu sedang diuji.
"Tapi, kan ga seru. Masa Sena harus duduk buat ngeliat Dion."
"Tidur aja Sena. Kan jaraknya udah deket, cuma beda dua guling," ucap Dion yang masih bertahan memejamkan mata.
"Lagi kenapa harus dikasih jarak sih?"
"Tidur Sena, jangan ngomong terus."
"Dion tidur?" ucap Sena menatap Dion yang sudah tertidur.
"Hemm."
"Kalau gitu Sena mau tidur juga," jawab Sena semangat lalu melempar kedua guling itu ke lantai.
Bam..!
Sontak suara itu membuat mata Dion tiba-tiba terbuka, Dion menoleh. Benteng yang ia buat dengan guling kini telah kosong.
"Sen- bantal gulingnya …" ujar Dion tercengang.
Sena menyengir, kemudian membaringkan tubuhnya di samping Dion, "Kalau gini, ga ada jarak lagi, hehe," ucap Sena memeluk tubuh Dion erat.
"Sen- jauh-jauh gih sana."
"Ga mau," tolak Sena mempererat pelukannya.
"Nanti kalo setan lewat tiba-tiba khilaf gimana."
"Sena maunya deket Dion."
"Cuma jarak dua guling udah deket Sen."
"Tapi, kan ga sedeket ini," balas Sena. Ia suka dengan wangi Citrus di piyama Dion. By the way, piyama mereka couple. Piyama lebah berwarna biru dongker.
"Hah," Dion menghela pasrah, "Yaudah deh."
"Tapi jangan gerak-gerak ya. Kalau gerak, tidur di kamar kamu," ucap Dion memberi peringatan.
"Kan kalau tidur gerak-gerak."
"Y-y-ya Iya sih, tapi, kan kalau kesenggol ..."
"Kesenggol apa?"
Dion menggeleng, "Gak, ga ada apa-apa. Udah tidur, jangan berisik. Nanti ga bisa tidur."
"Dion main yuk."
"Main apa sih Sena, udah malem gini," jawab Dion memejamkan mata, tak mengindahkan Sena.
"Emm ... olahraga lilin."
"Olahraga lilin apa?"
"Kata Mario kalau lagi mati lampu gini, enaknya olahraga lilin. Dapet duit lagi."
"Udah ya Sena, aku mau tidur. Jangan ngomong terus."
Sena merapatkan pelukannya, "Emm ... hangatnya."
"Kamu emang paling bisa ya kalau lagi modus."
"Emang Sena modus ya?" tanya gadis itu polos.
"He'em kalau lagi modus banyak maunya. Udah tidur."
"Dion?"
"Hemm," jawab Dion dengan mata terpejam.
"Dion."
"Hemm."
"Gapapa manggil aja. Sena suka manggil Dion."
"Hemm …" gumam Dion yang mengantuk.
"Dion, kalau senternya dimatiin gimana?"
"JANGAN!"
Dion membuka matanya terkejut.
*****
"Selamat pagi Dion."
Dion yang sedang mencuci piring terkejut hampir saja piring terjatuh dari genggamannya.
"Eh copot- untung ga jatoh."
"Pagi Dion."
"Pagi juga," Dion menghela nafas, "Kamu ngagetin aku aja, Sen."
"Hehehe," Sena menyengir senang. Pertama ia senang, karena Dion sudah pulang ke apartemen. Dan kedua ia senang karena semalam bisa tidur dengan pangeran impiannya. Ya meskipun saat bangun, pria itu tidak ada di sampingnya. Tapi tidak apa-apa, Sena tetap senang.
"Dion hari ini mau kemana?"
"Oh aku?" Dion melanjutkan kegiatan cuci piringnya. Membasuh piring di bawah keran wastafel, "Ke kampus."
"Dion, Sena ikut ya."
Dion meletakan piringnya yang sudah bersih di rak piring.
"Kamu sama Mira aja ya. Nanti Mira main kesini selesai ngajar."
Sena mengerucutkan bibirnya, "Ga mau, Sena mau ikut Dion," rengek Sena kemudian memeluk Dion dari belakang.
"Jam 4 atau 5, aku pulang kok."
Sena mengeratkan pelukannya di perut Dion, "Sena ga ganggu kok. Sena cuma pengen tahu aja bentuk sekolah Dion kayak gimana."
Dion meletakan piringnya di atas rak piring, kemudian berbalik, membuat pelukan Sena terlepas.
"Aku ga lama kok, Sena. Cuma sebentar."
Sena kembali memeluk Dion, menyembunyikan wajahnya di d*da Dion. Entah kenapa rasanya Sena ingin bermanja-manja setelah beberapa satu Minggu lebih tak bertemu.
Dion menghembuskan nafas pelan, lalu mengusap-usap rambut halus itu.
"Sena di rumah ya …"
Sena menggeleng, "Engga. Sena mau ikut."
Sena mengeratkan pelukannya, tak ingin berpisah dengan Dion.
"Nanti kalau kamu ikut, kamu bosen nunggu aku sampai sore."
Sena menggeleng, "Sena ga bosen. Sena mau sekolah, tapi sama Dion ga boleh. Sena mau ke sekolah Dion, ga boleh juga. Terus Sena bolehnya apa? Kalau Sena ga boleh sekolah. Seenggaknya Dion bolehin Sena liat sekolah Dion."
"Sena mau ke sekolah sama Dion."
Dion mengecup puncak kepala Sena, "Iya-iya kamu boleh ikut."
Sena melepaskan pelukannya dengan riang, "Asyiiiik! Dion ga bohong, kan?"
Dion menggeleng, "Engga."
"Yeeyyy!" Sena kembali memeluk Dion. Pelukan Dion sangat nyaman, sampai Sena tak ingin lepas rasanya.
Dion diam-diam tersenyum. Lalu membalas pelukan Sena. Pelukan yang ia rindukan. Ia rindu dengan gadis ini sedetik, dua detik, tiga detik, rasanya tak bisa menyuratkan semua perasaannya.
"Sena?"
"Hemm," sahut Sena riang, masih memeluk Dion erat. Ah, jantung Dion berdebar sangat kencang. Sena dapat mendengarnya dengan jelas. Suara debaran jantung Dion sama dengan debaran jantung Sena.
"Wo ai ni."
Sena melepaskan pelukannya, "Artinya apa tuh?"
Dion mencolek ujung hidung Sena, "Artinya … Sena ga boleh tidur lagi di kamar Dion," ucap Dion melepaskan pelukan mereka, dan beranjak pergi, meninggalkan Sena yang masih sibuk berceloteh.
"Perasaan bahasanya pendek, kok pas Dion artiin panjang."
Sena mengejar langkah Dion yang cepat.
"Sena ga boleh numpang tidur lagi di kamar Dion, cukup sekali! Nanti malem ga boleh!" ucap Dion terkekeh.
"Diooon, tungguin Sena! Tapi Sena suka, gimana dong?" ucap Sena yang masih mengejar Dion.
"Aku kunci pintunya."