PART 130 - PERSETERUAN DUA SAHABAT

1069 Words
selesai revisi "Hah …" Dion menghela nafas berat, yang tentu saja menarik perhatian Mario yang duduk di sebelahnya. "Ngapa sih ngana?" "Gapapa, lagi males aja kuliah." "Biasanya gue yang kayak gitu, kok jadi gantian? Jangan-jangan nular hehehe," ujar Mario terkekeh yang sebenarnya tidak lucu. Ia hanya mencairkan suasana saja, agar Dion tidak sedih berlarut-larut. Mereka terdiam cukup lama di dalam mobil. Mungkin 10 menit, atau 15 menit atau mungkin 20 menit? Entahlah, Mario juga tidak tahu. Yang pasti Dion terus saja termenung seperti orang tak punya harapan. "Gue lagi males masuk. Lu bawa aja mobil gue ke kampus." "Terus lu?" "Jagain Sena di rumah sakit." "Yailah, gimana sih nih calon dokter. Udah ada Mira yang jaga, tenang aja. Sena aman di sana." "Tetep aja gue ga tenang." Mario menghela, "Kenapa? Lu ga percaya Mira?" "Bukan ga percaya …" Dion menatap lurus jalanan komplek, "Gue cuma ga mau aja ninggalin Sena." "Nih ya Yon gue bilangin-" "Kalau lu jadi dokter suatu hari nanti, yang bangga siapa? Sena, kan? Terus kalau misalnya lu jadi dokter, lu juga kan yang ngobatin Sena? Sayang banget kalo lu ketinggalan materi cuma karena absen. Apalagi ini semester akhir." "Sena ga kenapa-kenapa, percaya sama gue. Mira bisa ngejagain Sena. Buktinya waktu lu pulang dari abdi desa, Sena baik-baik aja, kan?" "Bukan itu … gue cuma- cuma …" "Cuma takut Sena disakitin orang, Mae. Yang gue sendiri ga tau siapa pelakunya?! Setiap kali Sena hilang, Sena selalu pulang dalam kondisi ga baik-baik aja, Mar?!" "Gue takut pelakunya selalu ngincer Sena disaat gua ga ada." Ucapan Dion membuat Mario mematung. "Lu ngomong apa sih, Yon. Ada-ada aja deh," ucap Mario mengalihkan pembicaraan. "Gue serius, Mar." "Cuma kebetulan aja kali. Udah ga usah lu pikirin. Kita jalan aja nanti telat." Dion hanya bisa menghela. Bahkan sahabatnya sendiri tidak percaya. Mario menatap ke luar jendela. Tatapan hangatnya berubah tajam. "Pelakunya ya …" lirih Mario dalam hati. Seolah tahu sesuatu. ***** Mira menyandarkan punggungnya di kursi, membaca puluhan pesan yang masuk di w******p. "Hah," Mira menghela, "Minta maaf lagi." "Kalau minta maaf bisa merubah keadaan, penjara sepi." Mira memblokir kontak yang membuat notifikasinya penuh. Siapa lagi kalau bukan Daniel. Pesan, panggilan, dan juga pesan suara berbondong-bondong masuk saat ponselnya hidup. "Hah," Mira menyalakan mode pesawat, dan meletakan ponselnya di atas nakas. Ia tak ingin diganggu hari ini. Entah kenapa ia merasa muak saja setelah kejadian kemarin. Tapi bukankah Daniel cinta pertamanya? Entahlah. Intinya Mira belum bisa memaafkan pria itu. Mira menatap Sena yang terbaring lemah di atas bangsal. Mira sungguh rindu dengan wanita yang punya kecantikan murni seperti bidadari. Ia ingat saat pertama kali bertemu Sena. Ia benar-benar terkesima, menatap keindahan ciptaan Tuhan yang terlihat tidak nyata. Sena seperti sosok bidadari yang turun ke bumi, memberikan kebahagiaan untuk orang-orang. Memberikan senyuman seindah bulan purnama, dengan membagikan keceriaannya untuk orang-orang. Tapi sayangnya, sayap bidadari itu sedang patah. Belum bisa tersenyum lagi seperti dulu. "Sen … aku kangen …" "Aku kangen saat kita main bareng." "Kamu ga kangen sama aku, sama Dion, dan Mario Bross?" Mira menatap Sena sendu, dengan perasaan hampa, "Kamu jangan lama-lama tidurnya. Kita semua nunggu Sena kembali." ***** Dimas berjalan dengan tatapan marah di sepanjang koridor. Meremat sebuah amplop yang tidak lagi terbungkus kertas Minion. Gue bilangin hati-hati aja sama Chika. Mungkin hari ini Sena, tapi siapa tau besok lu targetnya. Cklek..! Pintu terbuka. Dan sosok yang Dimas cari ada di sana. Ia melihat Glenn sedang meletakan ransel di atas meja. "Glenn!" Glenn yang tadinya bersiul, berhenti setelah mendengar teriakan dari arah pintu. Glenn menoleh, dan menurunkan topi hoodie-nya. "Oh, lu …" Seperti biasa Glenn memang selalu dingin dan tidak ekspresif. Dimas masuk, dengan langkah panjang. Tatapannya menyalang, mengobarkan api. "Maksud lu apa?!" Dimas melempar keras amplop itu ke arah Glenn. Hingga uang merah berhamburan ke lantai. Glenn menaikan satu alis, "Maksud?" "Lu ga mau kerja sama?!" Glenn mendecih, "Lu jauh-jauh dateng ke fakultas gue cuma mau nanya itu?" Dimas mengepalkan tangannya, melihat reaksi Glenn yang terlihat biasa-biasa saja. "Pengkhianat lu Glenn!" "Pengkhianat? Kenapa lu sebut gue pengkhianat?" "Lu melanggar janji, lu melanggar kesepakatan, lu melanggar kerjasama! Lu melanggar kode etik kita. Dan lu melanggar rencana yang udah kita buat!" Glenn menghembuskan nafas, "Oh itu. Jadi lu permasalahkan itu?" "Bisa-bisanya lu ngerasa ga salah? Setelah semua kesalahan fatal yang lo buat." "Gue udah balikin uangnya, sekarang mau apa lagi? Udah impas, kan?" Dimas mengepalkan jari-jarinya hingga kukunya memutih. Suasana yang tadinya damai, seketika mencekam. Aura gelap penuh amarah seperti keluar dari punggung Dimas. Berbeda sekali dengan Glenn yang berwajah datar, dan tenang. Kelas yang dari awalnya sunyi, mendadak seperti tidak ada orang sama sekali. Mereka berdua sama-sama mematung dengan pikiran yang berbeda. Glenn hanya menanggapi biasa, berbeda dengan Dimas yang menanggapi ini begitu serius. Glenn yang telah bersahabat lama dengan Dimas, tahu arti tatapan sahabatnya itu. Dimas sangat marah padanya. "Yaudah sekarang mau lo apa?" tanya Dimas agak menantang. "Ga ada." "Jadi lu lebih memihak ke Dion dibandingkan temen lama lu sendiri?" Glenn hanya bisa menghela nafas mendengar ucapan Dimas yang terdengar kekanak-kanakan. "Bukan seberapa lama kita berteman. Gue cuma ga mau terjun ke dunia yang salah." Dimas mengangguk paham, "Oke … jadi maksud lu kita sekarang jadi lawan?" Mata Glenn membulat terkejut. Tak menyangka Dimas mengucapkan kata-kata itu. "Oke, gue ngerti sekarang," ucap Dimas dengan perasaan kecewa. Ia berlalu pergi dari kelas Glenn, meninggalkan sahabatnya seorang diri. "Hah," Glenn menghela. Ia tak pernah bermaksud untuk memusuhi Dimas. Hanya saja, ia ingin melindungi Dimas dari jeratan Chika, tapi sepertinya Dimas tak mengerti. Dimas keluar dengan amarah membludak. Ia menendang tong sampah yang ia temui sampai terjatuh. Ia benar-benar marah. Tak ada seorangpun yang memihak ke arahnya. Bahkan Glenn sekalipun. "Harusnya gue habisi aja kemarin," ujar Dimas yang terdengar ambigu. Namun jika ditarik kata-katanya itu mengarah ke Sena. Glenn berjongkok memunguti lembaran uang merah yang berceceran di lantai. "Gimanapun lu tetep sahabat gue, Dim." Glenn tidak marah, hanya terkejut saja. Belasan tahun mereka berteman, dan ini adalah pertengkaran terhebat mereka. ***** Dion menghentikan mobilnya di parkir belakang. Ingat, kan parkiran belakang, parkiran untuk orang-orang pelanggar aturan. "Tuh, kan Yon kita telat 10 menit." "Tumben banget lu protes kita telat. Biasanya semangat pengen bolos." "Pengen tobat gue, udah 6 tahun ga lulus-lulus juga." "Iya deh senior …" "Anjir jangan gitu dong, gue jadi keliatan tua." "Jadi umur berapa? 25?" Buk..! Pukulan melayang di bahu Dion, "Jangan buka-bukaan umur dong. Gue kan pengen keliatan baby face."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD