PART 131 - GUDANG TUA

1023 Words
Dion melangkahkan kaki di sepanjang koridor. Raut wajahnya sedikit pucat, tidak berseri seperti biasa, namun tak mengurangi kadar ketampanannya. Cekungan hitam tercetak jelas di kelopak mata Dion, menunjukan Dion lelah dan kurang tidur akhir-akhir ini. Tugas semakin berat dan menumpuk menjelang akhir semester akhir, dan juga ia menjaga Sena sampai pagi di ruang tunggu. Karena ia tidak diizinkan sementara waktu tidur di ruang UGD saat Sena kritis. Alhasil Dion hanya menunggu di luar, ditemani Mario yang sudah tepar di jam 2 pagi. Kalau bertanya kemana Mira, wanita itu diantar Mario pulang saat jam 10. Dion melewatkan waktu tidurnya, memastikan Sena baik-baik saja. Lagipula ia tidak bosan kok menunggu Sena. Dion menjaga gadisnya sekaligus menyusun skripsi. "Ya ampun kak Dion." "Kak Dion … liat deh itu kak Dion!" "Aaaa ya ampun, gantengnya…" "Nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan …" "Kyaaaa!" "Ganteng banget!" Disambut seperti itu sudah biasa bagi Dion. Bukannya sombong nih ya, bukannya sombong, hehe. Dion melewati barisan para wanita. Bukannya tebar pesona, hanya saja entah kapan setiap ia lihat, selalu ada wanita yang berbaris untuk melihatnya. Bagaimanapun Dion tetaplah Casanova kampus. Dari awal ia masuk sampai di koridor berpuluh-puluh pasang mata menatap ke arahnya. Mengagumi Dion dari jarak jauh maupun dekat. Dion, pria keturunan Indonesia-Thailand-Jerman, dengan mata cokelat karamel yang begitu memukau, berkulit putih, dan tinggi 180 cm. Hari ini Dion hanya berpakaian biasa saja. Hoodie lavender, celana Jeans, sepatu Converse, dan ransel hitam yang ia sampirkan di bahu. Dion memainkan ponselnya, sambil berjalan. Sejujurnya bukan memainkan sih, tapi lebih tepatnya Dion membuka galeri menatap foto-foto Sena. "Kak Dion!" Dion mendongak saat merasa ada orang yang memanggilnya, "Oh Chika," ucap Dion menatap seorang wanita berpakaian modis tengah berdiri satu meter dari tempatnya berdiri. Gadis itu tersenyum, berjalan mendekati Dion, "Hai kak," ucap Chika menggoyangkan telapak tangannya. "Oh … Kenapa Chik?" "Gapapa." Gadis itu terus saja tersenyum. Sejujurnya Dion agak tidak enak hati. Pasalnya ia menolak Chika berkali-kali tapi gadis itu tetap memasang senyum padanya. "Kamu ngapain di fakultas kedokteran? Bukannya gedung kamu jauh dari sini?" "Aku cuma main-main aja." Dion mengangguk mengerti, "Ooh." "Kak Dion ada waktu ga?" "Waktu? Kenapa?" Chika menatap bola mata indah yang menghipnotisnya, "Kalau kak Dion ada waktu, aku pengen ngajak kakak ke kantin." ***** Dan di sini lah mereka. Duduk berhadapan di kantin yang tak jauh dari fakultas kedokteran. Chika sengaja memilih meja dekat jendela, agar bisa melihat pemandangan dari luar. "Kenapa ngajak kantin?" tanya Dion sambil mengaduk-aduk Ice Americano-nya dengan sedotan. Chika menggeleng, tersenyum ramah. Lalu menyeruput jus jeruknya, "Gapapa … lagi pengen aja ke kantin bareng kakak." "Ooh," Dion hanya mengangguk saja, lalu menyeruput Americano favoritnya. "Emm … kabar kakak sekarang gimana?" "Baik," jawab Dion seadanya, "Kamu?" "Baik juga," ucap Chika tersenyum manis. Sebenarnya Chika cantik. Tapi entah kenapa Dion tidak sregg aja. Disaat pria-pria di kampus ini tergila-gila pada Chika, justru ia tidak sama sekali. Atau mungkin karena hatinya dipenuhi dengan nama Sena. Hemm, mungkin juga. Untungnya Sena juga tidak kuliah di sini. Jika iya, mungkin Dion harus memiliki hati yang kebal jika seandainya Sena punya fanboys. "Oya Chik, aku mau nanya sesuatu boleh?" "Boleh lah kak. Masa ga boleh hehehe." "Waktu itu aku sempet liat kamu …" "Liat aku? Dimana?" "Waktu aku pengen pergi ke gudang tua. Aku liat muka kamu panik banget." Seketika Chika mematung. "Kamu ngapain di sana? Bukannya fakultas fisika juga ada gudang ya?" "K-kok kakak ngomong itu?" Jujur saja, Chika keringat dingin sekarang takut kedoknya terbongkar. Tapi ia tetap bersikap biasa saja. "Duh, mati gue kalo sampe kak Dion tau," rutuk Chika dalam hati. Dion tertawa kecil, "Gapapa, cuma aneh aja. Jauh-jauh ke gudang kedokteran. Disana serem tau." "J-j-jadi?" "Jadi apa?" "Jadi kakak cuma mau nanya tentang itu aja?" Dion mengangguk, "Iya … aneh aja, kamu berani banget ke gudang sendirian." "Oh-oh gitu ya …" "Anak fakultas kedokteran ga ada satupun yang berani kesana. Soalnya gudang itu angker, pernah ada kejadian di masa lalu merenggut banyak mahasiswa kedokteran." Seketika bulu kuduk Chika merinding. Ia kembali mengingat kejadian aneh waktu itu. "YOU MUST DIE!" BRUAK..! Sena duduk bersandar di dinding, dengan menekuk lutut. Ia menyembunyikan wajahnya di balik lutut menunggu bantingan kursi dari Chika. Namun sedetik, dua detik, kursi itu tak mengenai tubuhnya. Padahal suara bantingan kursi itu memekakkan telinga. Sena mengangkat wajahnya. Kursi itu berakhir di lantai, dengan kondisi hancur. Saking kerasnya bantingan Chika. Sena menatap Chika yang mengeluarkan ekspresi aneh. Chika menggeleng tak percaya. "Ga … ga mungkin. Tadi, tadi, tad, tad … gue, kan mau lempar kursinya. Tap-" Chika yakin ia melemparkan kursinya ke kepala Sena. Tapi kenapa malah terlemparnya ke lantai. "Ga … gak mungkin." Waktu itu ia membanting kursinya ke arah Sena. Harusnya kursi itu mengenai punggung Sena, tapi saat Chika membanting kursinya, kursi itu malah terlempar jauh ke lantai. "Jangan-jangan itu …" gumam Chika pelan hampir tak terdengar. Dion pun menceritakan tragedi aslinya. Yang membuat Chika jadi tambah ketakutan. "Makanya aku aneh aja, kok kamu berani kesana." "Ak-ak-aku cuman letakin barang." Jujur, mendengar cerita Dion tadi sekujur tubuhnya merinding. "Letakin barang?" Chika mengangguk, "I-i-ya wakil dekan nyuruh aku masukin barang lama ke gudang, kebetulan barangnya barang-barang anak kedokteran." "Oh gitu, tapi …" Dion memicingkan mata, "Kayak ada janggal ya." Chika menelan ludah, "Jang-janggal? Ap-apanya yang janggal kak?" Dion berpikir sebentar. Chika bilang ia hanya meletakan barang-barang di gudang, tapi di satu sisi ia juga mencari Sena. Dan bertemu Sena di gudang dengan kondisi menangis. "Janggal kenapa kak?" tanya Chika lagi melihat Dion yang tidak merespon. "Emm …" harus atau tidak ya Dion mengatakannya, "Kamu-" Drrt drrt Ponsel Dion di atas meja bergetar. Ia melihat panggilan masuk dari Mira. "Sebentar, aku angkat telpon dulu," ucap Dion meminta izin, yang dibalas anggukan oleh Chika. "Iya kak." Dion pergi ke luar kantin, mengangkat panggilan. Setelah mendengar tragedi tadi, Chika buru-buru menghabiskan orange juice-nya dengan perasaan cemas dan ketakutan. Bagaimana tidak, jangan-jangan yang menolong Sena saat itu adalah- Mira menggeleng, berusaha melenyapkan pikiran itu. "Cepet banget abisnya," ujar Dion setelah kembali, menatap jus jeruk Chika yang tak tersisa. "I-iya kak." "Chik aku ga bisa nemenin kamu lama-lama. Aku ada urusan penting. Aku tinggal dulu ya." Chika mengangguk, "Iya kak."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD