selesai revisi
Dimas menaiki anak tangga satu persatu. Pikirannya melayang pada sebuah kado.
"Kado? Kado apaan ya? Tumben banget si Glenn ngasih kado."
Dimas pun sampai di depan pintu yang tertempel poster Metallica. Band rock kesukaannya.
Cklek..!
Dimas membuka pintu, dan menyalakan saklar lampu di dinding sebelah pintu.
"Capek banget hari ini," ujar Glenn menepuk-nepuk leher belakangnya yang terasa linu. Glenn menutup pintu, dan berjalan menuju meja belajar.
Sebuah bingkisan kado yang bergambar Minion menarik perhatiannya, "Lucu amat si Glenn."
"Ngasih kado gambarnya Minion."
Dimas memundurkan kursi, dan duduk di sana. Menatap sebuah kado misterius sore ini.
"Kenapa tu anak? Ga ada angin, ga ada hujan tumben-tumbenan ngasih kado. Biasanya boro-boro," Dimas terkekeh, "Pas ulang tahun ga ngasih kado, giliran ga ulang tahun ngasih kado. Glenn Glenn …" Dimas menggeleng mengingat kelakuan Glenn yang ajaib itu.
"Apaan si isinya? Penasaran …" Dimas merobek kertas dengan tergesa-gesa. Ia yang tadinya semangat, seketika semangatnya luntur bersamaan dengan senyuman di wajahnya yang sirna setelah melihat isi kado tersebut.
"Loh kan ini …" Dimas terkejut menatap amplop yang tentu saja ia kenali. Dimas membuka amplop tersebut dan menarik lembaran uang merah, dan juga sebuah cek senilai 990 juta.
"Loh ini kan uang yang dikasih Chika."
"Kok dibalikin?"
Belum selesai keterkejutannya, tulisan di belakang amplop nyaris membuat nafas Dimas terhenti.
Gue bilangin hati-hati aja sama Chika. Mungkin hari ini Sena, tapi siapa tau besok lu targetnya.
Dimas meremat amplop dengan pandangan tajam, "Glenn!"
"Argh! Anjing," Dimas membanting amplop dengan perasaan kesal yang memuncak. Bagaimana tidak, kalimat Glenn benar-benar menyulut amarahnya.
*****
Dion menatap gadisnya yang terkulai lemah di atas bangsal. Kabel-kabel banyak terpasang di tubuh Sena. Setelah mendengar ucapan dokter tentang kondisi Sena, Dion mendadak murung. Bahkan tenaganya hilang entah kemana.
Ia hanya bisa menatap Sena sebentar, sebelum akhirnya disuruh tunggu luar. Dion dilarang berlama-lama.
Selang oksigen, suara mesin rumah sakit, tetesan infus, dan bau obat-obatan kembali terjadi. Ini mengingatkan Dion seperti kembali ke masa lalu, dimana Sena masuk rumah sakit karena kelalaiannya.
Dion meraih tangan Sena yang pucat. Menggenggamnya lembut, dengan tatapan sendu. Tatapan yang menggambarkan betapa hancurnya perasaan Dion saat ini.
"Sen …"
"Jangan tinggalin aku."
"Cukup sekali aja aku kehilangan orang yang aku cintai. Aku ga mau lagi yang kedua kali."
Dion menangis terisak, "Kamu berharga buat aku, Sen. Bahkan jika harus menggantikan nyawaku. Aku mampu."
"Aku sayang kamu lebih dari apapun."
"Aku emang ga pantes buat kamu. Aku bodoh. b******k. Aku b******k bikin kamu jadi amnesia kayak gini, aku juga b******k ga bisa jaga kamu dengan baik. Bahkan saat kamu dijahatin orang aku ga ada."
"Ngejaga kamu aja aku ga bisa. Aku emang bodoh Sen."
"Aku bodoh banget ga bisa melindungi kamu, hiks …"
"Aku emang bodoh," Dion menunduk, mengeluarkan semua tangisannya yang mendalam.
*****
Mario yang memperhatikan Dion dari balik kaca pintu menghela nafas dalam.
"Hah …" Mario menyapu kelopak matanya yang berair. Ia kembali melihat Dion beberapa tahun yang lalu. Dion yang terpuruk seperti mayat hidup saat kehilangan orang yang paling dicintai.
Mira yang melihat itu, diam saja tak berkomentar. Ia mengerti, betapa rumitnya kejadian saat ini. Rasanya ini seperti mimpi. Dan kalau memang ini mimpi, Mira tak ingin bermimpi seperti ini lagi. Tapi sayangnya ini dunia nyata.
Cukup lama Mira dan Mario terdiam di ruang tunggu. Sampai akhirnya Mira memecahkan suasana.
"Kata dokter apa?" ucap Mira dengan suara serak, matanya bengkak kebanyakan menangis.
"Kritis."
Air matanya kembali menyeruak. Mira menangis sesenggukan.
"Udah jangan nangis, cengeng banget si lu, Mir. Udah kayak awan nangis mulu kalo mendung."
Mira tahu, Mario ingin menenangkannya, "Ga usah bercanda. Gue lagi sedih."
"Kalau lu sedih, Sena juga sedih."
Mario mati-matian menahan perasaan sedihnya. Tapi Mira malah menangis sesenggukan di depannya, "Ah lu Mir bikin gue mewek aja."
Mira menghapus air matanya, "Lah lu bisa nangis juga?"
"Ya iyalah anjir emang gue Titan apa ga bisa nangis. Bisa-bisanya lu ngelawak lagi kondisi sedih gini."
"Gue ga ngelawak anjir. Baru kali ini gue liat cowok nangis."
"Cowok juga manusia lah anjir punya emosi. Tapi nangisnya cowok sama cewek beda."
Mira menghapus air matanya dengan punggung tangan, "Bedanya?"
"Cowok kalo nangis tandanya dunianya lagi ga baik-baik aja."
"Maksudnya?"
"Nanya mulu udah kayak wartawan."
"Ya kan gue kepo."
"Cowo biasanya menangisi orang-orang yang dia cintai. Kek gitu si kira2."
"Kok kira-kira?"
"Ya gue mana tau lah anj*r. Emangnya gue tau isi hati setiap cowo. Cowo apaan gue nyari tau isi hati cowo lain."
"Ah lu ga seru ngasih jawabannya. Udah sana lu pergi aja," jawab Mira merasa tidak puas mendengar jawaban Mario yang nyeleneh.
"Lah kok jadi gue yang diusir?"
"Nyebelin abisnya."
"Yayaya terserah lu aja deh Miras."
"Nama gue Mira. M-i-r-a."
"Kalo gue maunya panggil Miras gimana?"
"Seterah lu Mario bross. Gue lagi sedih ini jangan diganggu."
*****
Dimas menghentikan mobilnya di depan pagar hitam yang menjulang tinggi. Ia keluar dari mobil, dan menekan bel berulang-kali. Hingga seorang pria berumur 40 tahunan membuka pagar.
"Oh Den Dimas, kirain siapa tadi mencet bel berkali-kali," ujar pria itu terkekeh.
"Glenn mana pak Ujang?"
"Oh Den Glenn … den Glenn belum pulang."
Dimas mengacak-acak rambutnya sebal, "Oh ya udah kalo gitu pak."
"Ada pesan yang mau disampaikan?"
Dimas menggeleng, "Engga."
Pak Ujang menaikan ujung bibirnya membentuk bulan sabit, "Oh yaudah kalo gitu, Den."
"Saya pamit pulang dulu ya pak Ujang."
"Iya den."
******
Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi, cobalah beberapa saat lagi. Atau tinggalkan pesan suara setelah nada berikut. Biiipp.
"Mir, semoga kamu denger ini. Aku minta maaf soal kejadian tadi, aku … aku cuman-" Daniel menelan ludahnya susah payah, "Cemburu."
"Kalau kamu ada waktu, tolong balas pesan aku."
Ting!
Daniel menatap ponselnya. Seharian ini Mira tak dapat dihubungi. Bahkan pesan w******p saja ceklis satu.
Cemburu? Entahlah. Apakah itu alasan yang tepat untuk mengatakannya.
Daniel melempar ponselnya ke ranjang, lalu berjalan menuju balkon kamar. Ia menatap langit yang menggelap. Sinar sang surya tertutupi kapas hitam. Pertanda hujan sebentar lagi akan turun.
Tapi, kan mendung belum berarti hujan.
Daniel menatap langit yang hari ini seperti sehati dengannya. Sama-sama mendung.
"Davina. Aku rindu kamu …"
"Aku rindu kenangan kita saat pertama kali kita ketemu di masa SMP."
"Aku janji akan membawa kamu kembali, Dav."
"Aku janji akan membangun hubungan kita lagi. Kita mulai sama-sama dari nol."
"Kamu cukup tunggu aku sebentar aja."
"Tunggu sebentar … sampai akhirnya kita kembali."