"Waaaah, jadi ini sekolah Dion?"
Sena terpana memandangi 5 gedung berwarna-warni yang saling berdekatan. Setiap warna, melambangkan ciri khas fakultas. Dari yang paling kiri, gedung berwarna hijau daun adalah fakultas FMIPA. Kemudian sebelahnya, gedung berwarna kuning adalah fakultas teknik, kemudian ditengah-tengah, gedung berwarna putih adalah fakultas kedokteran dan kesehatan lainnya. Kemudian gedung berwarna jingga adalah gedung fakultas seni, dan terakhir gedung berwarna biru laut adalah gedung fakultas akuntansi, bisnis dan manajemen.
Almamater universitas Nusa Bangsa berwarna abu-abu, namun warna logo mereka dibuat berbeda-beda, sesuai warna fakultas.
Dion mengangguk, "Iya."
"Sekolah Dion bagus. Sena suka!" Sena bertepuk tangan riang.
"Dion Dion nanti Sena sekolah disini ya!"
"Sena mau sekolah bareng Dion, belajar bareng Dion, berangkat bareng Dion, main bareng Dion, makan bareng, pulang bareng. Semuanya bareng Dion. Pasti sangat menyenangkan."
"Aaaa Sena suka! Sena suka!"
Dion menyunggingkan senyuman. Di sepanjang perjalanan Sena terus saja berceloteh ria. Emm sepertinya ia harus mencarikan sekolah baru untuk Sena. Gadis itu selalu bersemangat jika berbicara tentang sekolah. Tapi Sena harus masuk kemana ya? SD, SMP, atau SMA? Tapi kalau dilihat dari kemampuan Sena sekarang, sepertinya SMA tidak bisa. Sepertinya Dion harus memikirkan lagi pendidikan Sena.
Sena meraih telapak tangan Dion yang lebih besar darinya. Tangan Sena terlihat seperti tangan bayi jika disandingkan dengan tangan Dion.
"Dion … Sena mau sekolah bareng Dion."
Dion menoleh, menatap gadisnya, "Boleh kok. Nanti ya, kalau Sena udah pinter belajarnya."
"Tapi Sena udah bisa baca dan menghitung. Sena juga udah bisa ngomong bahasa inggris kok, meskipun cuma dikit."
Dion mencubit ujung hidung Sena, gemas, "Masuk kuliah ga cuma sekedar bisa baca dan menghitung aja, tapi juga harus bisa menguasai ilmu lain."
Sena mengerucutkan bibirnya, "Yaaah, Sena ga bisa sekolah bareng Dion dong," ucap Sena menunduk sedih, menatap sepatunya dan sepatu Dion.
"Sena mau banget sekolah ya?"
Sena mendongak menatap Dion, lalu mengangguk pelan, "Iya."
Dion tersenyum lalu mengusap rambut halus Sena, "Nanti ya, aku cariin."
"Tapi Sena maunya sekarang. Sena bosen di rumah terus cuma nonton mariposa. Sena mau sekolah juga kayak Dion."
Dion tersenyum, "Emm … gimana kalau kita lihat-lihat kampusnya?"
Sena mendongak, matanya berbinar terang, "Mau! Mau!" jerit gadis semangat.
"Yuk."
Dion menyatukan jari-jari tangannya dengan jari-jari mungil Sena. Mereka bergandengan tangan, jalan beriringan memasuki pelataran kampus.
Para mahasiswi yang tadinya berjalan ke pintu masuk, sontak mengerem langkah.
Berita Dion menggandeng tangan wanita tentu saja membuat heboh. Bagaimana tidak, Dion adalah sang Cassanova kampus yang tak pernah dirumorkan kencan dengan siapapun. Bahkan ia disebut-sebut sebagai pria tsundere yang misterius. Dengan penggemar dan Secret Admirer yang bejibun, kumpulan dari semua fakultas. Sontak hari ini menjadi hari patah hati bagi seluruh penggemar Dion.
"Oh my god! Apa ini!"
"Kak Dion gandeng siapa? Huaaa poteq hati dedeq."
"Cewenya cantik banget."
"Apalah dayaku, cuma remahan rengginang di toples Khong Guan, jangankan dimakan, diliat aja engga."
"Huaaa apa ini?!"
"Hatiku atit … atit anged."
"Sebagai pengemar Dion Lovers hatiku patah. Sangat patah, lebih patah, benar-benar patah."
"HUAAAA."
Dion dan Sena bergandengan tangan melewati kerumunan para wanita.
Sena mengeratkan genggamannya. Kalau seperti ini, Dion tahu Sena ketakutan. Gadis itu takut melihat orang asing. Emm lebih tepatnya- Sena takut melihat orang yang baru pertama kali dilihatnya.
"Dion ..." ucap Sena takut ditatap para wanita itu. Mereka memandang Sena seram.
"Jangan takut Sena, ada aku," ucap Dion memberikan Sena ketenangan.
Sena mengangguk percaya. Meskipun dalam hatinya merasa tidak enak dan juga takut.
Mereka berhenti di salah satu pintu yang tertutup.
"Ini kelas Dion ya?"
Dion menggeleng, "Bukan. Ini perpustakaan."
Sena tersenyum senang, "Waaah, Dion Sena mau masuk."
"Yuk."
Dion menggandeng tangan Sena masuk. Wangi buku dan pengharum ruangan tercium saat baru membuka pintu. Ruangan luas yang dipenuhi banyak buku.
Disini begitu dingin. Tidak tanggung-tanggung disematkan dua buah AC. Di depan dan belakang. Cocok untuk ngadem di siang hari.
Bam..!
Dion menutup pintunya. Mengajak Sena menyusuri perpustakaan. Biasanya perpustakaan ramai, tapi sekarang sepi. Dan juga penjaga perpustakaan tidak ada di kursinya. Mungkin sedang keluar.
"Dion bukunya banyak."
"Yeeeeey Sena seneng!"
"Ssutt ... kalau di perpustakaan, Sena ga boleh berisik ya."
Sena cemberut, "Terus kalo Sena ga boleh berisik, ngomongnya gimana?"
"Ngomongnya harus pelan-pelan atau bisik-bisik."
"Tapi, kan Sena orangnya ceria. Ga bisa ngomong bisik-bisik."
"Ssut ... Sena ... kalau berisik, nanti kedengeran penjaganya, Sena disuruh keluar."
"Tapi penjaganya ga ada Dion, cuma kita berdua."
"Mungkin lagi keluar."
Sena mengangguk, "Oh gitu."
Baru beberapa detik yang lalu diingatkan, tapi Sena kembali ke habitat aslinya.
"Yeeeeey! Sena mau baca buku!"
Dion meletakan telunjuknya di bibir gadis itu, "Sssut ... Sena jangan berisik. Ya ampun."
Sena tak mengindahkan permintaan Dion. Ia berlari sana-sini membuat Dion kewalahan.
"Sena mau baca buku yang mana? Yang ini?" Sena pergi ke rak pertama, kemudian ke rak kedua, dan berpindah-pindah ke rak lain.
"Atau yang ini."
"Atau yang ini."
"Waah, bukunya banyak banget sampai Sena susah milih."
"Pasti yang punya buku kaya banget."
"Waaah bukunya tebel, kalau dipukul pasti sakit," ucap Sena shock melihat kamus.
"Hadeh," Dion menghela nafas, "Ngejagain Sena sama kayak ngejaga ponakan."
Dion berjalan mendekati Sena yang kebingungan mencari buku. Sena cuma lihat-lihat saja, kemudian diletakan lagi di rak.
"Ini buku apa ya, angka semua. Sena pusing ngeliatnya. Hemm, Sena ga suka," ucap Sena polos kemudian meletakan kamus kimia yang berisi rumus-rumus rumit.
Dion berdiri di samping gadisnya, "Sen."
"Iya," jawab Sena masih sibuk melihat-lihat buku.
"Mau aku cariin buku?"
Sena tersenyum semangat, "Mau!"
*****
Dion dan Sena duduk di paling belakang. Mereka duduk bersebelahan, Dengan lima buku yang bertumpuk di samping kanan Dion.
Dion membuka lembaran buku yang berisi gambar dan cerita. Buku yang Dion ambil adalah buku dongeng anak-anak yang ada gambarnya, supaya Sena senang membacanya. Dion tahu Sena belum mahir membaca buku full tulisan.
"Wah Dion ceweknya cantik."
Sena menunjuk karakter wanita di dalam buku dongeng.
"Ini namanya Putri Duyung."
"Putri Duyung? Waah Sena suka. Sena mau jadi Putri Duyung, Dion," ucap Sena dengan mata berbinar senang.
Ucapan Sena membuat Dion tersentak, "Ehhm- itu ..."
"Pasti Sena cantik kalo jadi Putri Duyung. Dion, Putri Duyung ada pangerannya, kan?"
Dion mengangguk pelan, "Ad-ada."
Sepertinya ia salah mengambil buku dongeng.
"Kalau gitu Sena jadi Putri Duyungnya, Dion jadi pangerannya."
"Emm Sen- kayaknya ..." belum selesai Dion berbicara, Sena memotongnya.
Sena memeluk buku Putri duyung itu ceria.
"Dion, Sena suka Putri duyung," ucap Sena dengan mata polosnya.
"Sen ... kam-kamu baca cerita yang lain aja ya. Kan dongengnya ga cuma satu."
Sena menggeleng, "Ga mau. Sena suka Putri Duyung. Putri Duyungnya cantik."
"Dion, Sena mau jadi Putri Duyung. Terus Dion jadi pangerannya."