"Makasih pak," ucap Dion pada penjaga perpustakaan, kemudian memasukan kartu perpustakaannya ke dalam dompet. Ia meminjam 6 buku dongeng untuk Sena, salah satunya adalah buku Putri Duyung.
Sena berdiri di belakang Dion, memeluk dongeng kesukaannya.
"Yuk," Dion menggandeng tangan mungil Sena keluar dari perpustakaan.
"Makasih pak," ucap Sena sebelum berlalu pergi.
"Iya," jawab sang pustaka yang berusia 50 tahunan.
Sena dan Dion berjalan di koridor kampus. Dion memegang semua buku dongeng Sena di tangan kirinya, dan tangan kanannya menggenggam tangan Sena biar tidak hilang. Cukup sekali saja Dion kehilangan Sena di pantai Ancol. Sekarang tidak mau lagi.
Dion menghentikan langkahnya, membuat Sena juga terhenti.
"Sen."
"Iya?" Sena mendongak, menatap pria jangkung yang tingginya 180 cm.
"Aku hari ini ada kelas …" ucap Dion pelan.
"Terus?"
"Aku antarin kamu pulang ya."
Sena menghempaskan tangannya, membuat genggaman mereka terlepas.
"Ga mau. Sena mau ikut Dion."
Dion menghela, ia tahu Sena sedang manja-manjanya tidak ingin ditinggal. Dion mengerti, mungkin karena efek meninggalkan Sena terlalu lama, dan ia pergi tanpa pamit dulu ke Sena.
"Hari ini aku lagi ada praktek," Dion meletakan tangannya di kedua bahu Sena, menatap lembut netra gadis itu, "Aku antarin pulang, mau?"
"Ga mau. Sena mau ikut Dion."
"Emm … kalau aku antarin ke tempat Mira gimana?"
"Ga mau! Pokoknya Sena mau ikut Dion."
"Masalahnya … yang jagain kamu disini siapa, Sen. Nanti kalau kamu hilang gimana? Aku ga mau kamu hilang lagi. Aku takut kamu lupa jalan."
"Se-na … mau ikut Dion," Sena menunduk, menatap sepatunya.
"Se-na ga mau apa-apa lagi. Sena cuma mau ikut Di-on."
Dion menarik tangan Sena lembut, dan merengkuh gadis itu ke pelukannya, "Iya, jangan ngambek … Kalau kamu nunggu di perpustakaan gimana?"
Dion melepaskan pelukannya. Menatap mata Sena yang bening.
"Emang kalau Sena ikut Dion ke kelas kenapa?"
"Ga boleh … soalnya di absen. Ketahuan kalau orang baru masuk kelas."
"Kalau Sena nunggu di depan kelas Dion?"
"Apa kamu ga bosen?"
Sena menggeleng, "Engga."
"Sena suka," Sena tersenyum riang.
Dion berpikir sejenak, kemudian mengangguk.
"Oke. Tapi Sena ga boleh kemana-mana ya."
Sena mengangguk senang, "Iya."
Dion mengeluarkan ponselnya, dan mengotak-atik ponselnya sebentar, "Nih, kamu mainin aja hape aku."
Sena menerima ponselnya dengan senang hati, "Yeee! Main hape Dion. Sena seneng."
Dion kembali menggandeng tangan Sena menuju kelasnya. Dion senang, jika Sena senang. Semenjak Sena masuk ke kehidupannya, hidup Dion merasa lebih berwarna.
Sena menjadi pelangi saat hidupnya dilanda hitam-putih.
Sena menjadi bintang yang gemerlap saat dirinya berada di jurang yang gelap.
Bagaimanapun Sena. Kini atau nanti Dion tetap suka. Ia tetap mencintai Sena sampai kapanpun~
Mereka sampai di depan kelas Dion yang tertutup. Dion melepaskan genggaman mereka.
"Kamu tunggu disini ya."
Sena mengangguk senang, "Iya."
Dion tersenyum tipis, kemudian berjalan ke arah pintu.
"Dion semangat!"
Dion tersenyum. Tentu saja Sena tak bisa melihatnya. Dion berlalu masuk meninggalkan Sena sendiri.
Sena mendekati jendela yang tertutup gorden putih, Sena dapat melihat bayangan Dion yang baru masuk kelas sedang berjalan menuju kursinya. Sena terus menatap bayangan Dion, hingga Dion duduk di kursi.
"Huh," Sena menghela nafas kesal, "Coba aja jendelanya di buka. Kan Sena pengen liat Dion."
"Tapi kalo jendelanya kebuka. Pasti Sena mau liat Dion terus hihihi," ucap Sena terkekeh kecil.
Gadis itu berjalan ke kursi tunggu. Di depan kelas Dion tersedia kursi tunggu untuk duduk-duduk santai.
Sena duduk di sana, dan meletakan buku dongengnya di kursi sebelah.
Sena memilih untuk bermain game di ponsel Dion sembari menunggu pria itu.
Sebelum memberikan ponsel ke Sena, Dion mendownload banyak permainan untuk Sena. Salah satunya permainan Barbie dan masak-masakan. Ya, lebih spesifiknya permainan untuk perempuan.
"Sena mau bikin Barbie-nya jadi cantik."
Sena mencocokan baju Barbie satu persatu. Dari mulai gaun ungu, gaun biru, gaun kuning, gaun pink.
Di balik kelas.
Dion termenung memperhatikan dosen. Ia termenung, masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Raganya disini, tapi jiwanya melayang keluar.
"Sena lagi apa ya? Semoga aman-aman aja."
Membawa Sena ke kampus membuat pikiran Dion jadi tidak konsen. Ia takut Sena jalan-jalan keluar, kemudian lupa jalan pulang. Atau Sena terlena bujuk rayu pria-pria disini, dan mengangguk-angguk saja disuruh ikut. Atau–
"Dion … Dion."
Bum..!
Sebuah spidol melayang di meja Dion. Membuat sang empu tersentak.
"Yaa pak."
"Kalau kamu tidak ada niat masuk kelas saya. Lebih baik keluar. Kita akan praktek hari ini. Jangan sampai saya sudah menjelaskan panjang lebar, kamu tidak mengerti caranya saat praktek."
Dion menunduk hormat, "Maaf pak."
"Baik. Kita lanjutkan lagi. Saya tidak akan mengulang materi sampai dua kali. Sekali saya jelaskan, saya anggap paham kalian semua."
Sementara waktu, Dion menghapus Sena dari pikirannya. Meskipun ia sedikit tidak tenang.
"Yeee Barbie Sena cantik deh."
Sena tersenyum riang menatap Barbie-nya memakai gaun pink pilihannya
"Hari ini Sena seneeeng banget. Bisa ke sekolah bareng Dion, terus nungguin Dion sekolah."
Sena mengambil buku dongengnya, menatap buku itu lekat-lekat, "Terus bisa baca Putri Duyung."
"Sena seneeeng banget."
Sena tersenyum senang, namun sebuah suara menghentikan senyumannya.
"Oh jadi lu udah berani nampakin diri ke dunia luar?"
Sena menoleh. Buku dongeng yang ia genggam terlepas.
"Kam-kamu."
Sena seperti pernah melihat orang ini, tapi siapa, kapan, dan dimana.
Chika berdiri tak jauh satu meter dari Sena duduk. Ia bersandar di tembok, dengan kedua lengan dilipat depan d**a, memandang Sena tajam.
"Kenapa? Kaget? Kaget atau … ta-kut?"
"Sena ga kenal kamu siapa."
Chika tertawa jahat. Terdengar menyeramkan, seperti tawa joker yang tengah menginterupsi lawannya.
"Gue tau Dav. Lu ganti nama biar menghindar dari gue, kan?"
Sena menggeleng cepat, "Sena ga pernah ganti nama. Nama Sena tetep Sena."
"Jangan bohong sama gue, Dav. Rencana lo apa sih? Udah menggoda Daniel, sekarang menggoda Dion juga. Murahan banget."
Sena menggeleng, "Sena ga bohong. Sena ga pernah diajarin Dion untuk bohong. Sena ga kenal Daniel."
"Hahaha," Chika tertawa mengintimidasi, "Berapapun usaha lo untuk lari dari gue … ga akan bisa, Dav. Sampe ke ujung dunia pun, lo gue cari."
"Sena ga tau maksud kamu apa. Sena ga kenal kamu. Kenapa kamu ngancam Sena terus …"
"Hahaha … ga usah pura-pura ga tau deh. Ga usah akting jadi orang polos."
"Sena salah apa? Kenapa kamu ngejar-ngejar Sena terus?"
"Kenapa? Karena gue pengen lu musnah, Dav. Kalau cara pertama, ga berhasil buat musnahin lu. Gimana kalau kita bermain dengan cara kedua?"