PART 46 - MENANAM BAKAU

1006 Words
"Kamu kenapa Sena?" tanya Dion setelah kembali dari menelepon Dimas. Dion memundurkan kursinya, dan duduk berhadapan dengan gadis itu. "Sena." Tak ada respon. Dion mengernyitkan dahi, tidak biasanya Sena seperti ini. Apa jangan-jangan ingatan Sena kembali? Tidak, tidak-ia belum siap untuk menerima kenyataan itu. Ia belum siap jika Sena akan meninggalkannya. "Sena?" tanya Dion lagi, tapi gadis itu tetap tak bergeming. Perasaan Dion campur aduk. Ia benar-benar belum siap jika kenyataan itu terjadi. Dion menatap Sena seksama, sepertinya Sena sedang melihat sesuatu. Tapi melihat apa? Sena terlalu fokus atau bagaimana sampai mengabaikan kehadirannya. Dion yang penasaran pun ikut menoleh ke belakang, tapi peringatan Sena membuatnya mengurungkan niat. "Jangan!" Sena memegang tangannya. Dion kembali menatap gadis itu, "Kenapa?" Sena menggeleng, "Gapapa." "Ada sesuatu?" "Engga, ga ada apa-apa," ucap Sena menunduk, menjauhi tatapan Dion. "Beneran ga ada apa-apa?" tanya Dion ragu. "Iya Dion ga ada apa-apa." "Pesanannya mba, mas," ucap tukang bubur menghentikan perbincangan mereka. Ia meletakkan dua mangkok bubur di atas meja. "Makasih pak," ucap Dion dan Sena bersamaan. "Chat engga, chat engga-" Mario menatap kontak Line pujaan hatinya, Maysaroh bukan April apalagi Juni. Hari Minggu ini Mario cuma bisa uring-uringan di kamar. Ia berbaring menghadap langit-langit. Menatap ponsel dengan ketidakpastian. Semenjak kejadian kemarin, ia belum tahu apa jawaban gadis itu untuknya. Entah ditolak atau diterima. Padahal kemarin ia sudah romantis-romantisnya seperti di film. Mario kembali mengingat, cara ia mengucapkan seluruh perasaannya dari lubuk hati yang paling luar- eh dalam. "Jika kamu mengambil bunganya, berarti kamu terima aku, jika tidak berarti kamu menolaknya. Aku akan terus menunggu meskipun sampai bedug subuh berkumandang." Padahal ia sudah keren, dan romantis seperti Jack Titanic, tapi bunganya malah terbang. Bukan Maysaroh yang menolaknya, tapi angin. Apakah ini pertanda percintaan mereka ditolak bumi. Setelah kejadian itu, belum ada jawaban dari Maysaroh tentang perasaannya. Dan juga belum ada pesan masuk dari pujaan hatinya. Rencana kencan pertama sekaligus menyatakan cinta gagal. Ia benar-benar galau hari ini. "Haduh, hati mas Mario nyeri ga terima kabar dari neng Maysaroh. Neng lagi apa ya?" "Kamu diatas aja ya Sena," ucap Dion khawatir. Mengusap-usap rambut gadis itu. Pasalnya ia akan masuk ke air payau yang lumayan dalam, namun masih dangkal jika dibandingkan dengan air payau tempat ia dan Sena naik perahu, atau naik boat. Mungkin karena disini adalah spot untuk menanam bibit pohon Mangrove. Jadi lebih dangkal dibandingkan air yang lain. Hemm, mungkin juga. Terlihat papan/plang nama perseorangan, squad, nama pemerintah daerah atau nama perusahaan terpampang di atas pohon Mangrove. Setiap pengunjung bebas menanam bibit pohon Mangrove jika mau, ya tentunya juga dikenai tambahan biaya untuk biaya bibit dan alat-alatnya. Sena menggeleng, "Ga mau, Sena mau ikut Dion," ucap Sena melingkarkan lengannya di lengan Dion. "Kedalaman air nya sampai mana pak?" tanya Dion pada sang pemandu. "Sepinggang sampai d*da orang dewasa," jawab bapak pemandu, yang kisaran umurnya 40 tahunan. "Udah kamu di atas aja ya …" "Gamau, mau ikut Dion. Sena mau ikut nanam pohon juga," jawab Sena mengerucutkan bibirnya. "Baiklah. Aku ga bisa nolak kalau gitu." Sebenarnya Dion tidak mau Sena ikut, takut gadis itu tenggelam. Namun melihat Sena yang kekeuh pada pendiriannya, mau tak mau Dion menurutinya. Sang pemandu pun turun terlebih dahulu, membawa bronjong yang berisi bibit, dan alat-alat untuk menanam. *Bronjong = sejenis tempat yang terbuat dari bambu. Dion dengan cepat turun ke air, lalu meraih tangan Sena membantu gadis itu turun perlahan-lahan. "Hati-hati." "Iya," jawab gadis itu menyentuhkan kakinya ke air. Hap..! Sena berhasil memijakan kakinya di dalam air. Tingginya yang cukup pendek, membuat air itu setinggi perutnya. Berbeda dengan Dion, yang hanya sebatas pinggang. Dion menurunkan bibit perlahan-lahan. Ia memesan dua bibit untuknya dan Sena. Satu bibit dibawa oleh sang pemandu, dan satu bibitnya lagi dibawa olehnya. Semua bibit bakau kurang lebih 1,5 meter sudah tertanam rapi di dalam sebuah Bronjong yang di bagian bawahnya disangga dengan tumpukan karung berisi pasir dan lumpur. Bronjong bambu itu pun sudah dialasi karung plastik, mirip seperti pot. Sena melingkarkan lengannya di pinggang Dion. Mereka berjalan beriringan mengikuti sang pemandu. Sang pemandu berhenti di tempat mereka akan menanam. "Pertama kita buat lubangnya dahulu," ucap sang pemandu lalu meletakan bibit itu di atas jembatan, dan membuat lubang setinggi bronjong. Dion pun melakukan hal yang sama. Mengikuti sang pemandu. "Terus keluarin bibitnya perlahan-lahan. Jangan cepat-cepat ya … nanti bibitnya hancur," ucap sang pemandu mengeluarkan lumpur berisi benih dari Bronjong secara perlahan. "Habis itu gimana lagi pak?" tanya Dion. "Kita tanam bibitnya." "Sena mau! Sena mau tanam juga," ucap Sena antusias. "Adek mau? Nih pegang di adek," ucap sang pemandu. "Iya," ucap Sena mengangguk senang. "Adeknya kesini," ucap sang pemandu menyuruh Sena berdiri di samping lubang yang ia gali. "Hati-hati sayang," ucap Dion membantu Sena berjalan ke samping sang pemandu. Sayang? Seketika pipi Sena blushing. "Sekarang tanam perlahan-lahan, kayak gini caranya-" sang pemandu memberikan contoh. Ia berjongkok perlahan-lahan hingga air itu sebatas lehernya. "Kalian masukin bibitnya ke dalam lubang. Turun pelan-pelan, jangan sampai mulut kalian kemasukan air." "Baik," ucap Dion dan Sena mempraktekkan instruksi sang pemandu. "Setelah selesai, kalian tancapkan tiang pancang ini ke dalam lubang untuk mengantisipasi mangrove dari terjangan ombak." Sang pemandu memberikan tiang itu satu persatu ke Sena dan Dion. Mereka melakukannya sesuai instruksi sang pemandu. * Tiang pancang terbuat dari bambu ataupun kayu. Memiliki diameter berkisar 7,5 cm, panjang 1 m dan runcing di bagian bawahnya. Tiang ini ditancapkan ke dalam lumpur sedalam kurang lebih 0,5 m. "Yeeeeeee jadi," ucap Sena bertepuk tangan senang melihat bibitnya yang berdiri. "Abis itu apa lagi pak?" tanya Dion. "Supaya kuat dan kokoh dari hantaman ombak atau apapun, kita ikat bibit dan tiangnya jadi satu." Sang pemandu memberikan masing-masing satu tali rafia pada Dion dan Sena, "Ini," ucapnya. Dion dan Sena menerima tali, dan melakukan sesuai instruksi sang pemandu. "Selesai … yeeee," ucap Sena senang. Melihat bibit bakau nya. Pohon bakau bisa tumbuh setinggi 4-30 meter, dengan tinggi akar 0,5 - 2 meter. Setelah selesai, sang pemandu memberikan papan/plang di masing-masing tumbuhan mereka. Diberi nama mr. Dion, dan ms. Sena. Papan nama diberikan sebagai kenang-kenangan, jika mereka ingin melihat lagi sudah setinggi apa tumbuhan yang mereka tanam disini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD