"Sena … ingat, kan kata Dion kemarin apa?" tanya Dion meletakan tangannya di bahu Sena.
"Kata apa?" tanya Sena dengan wajah polosnya.
"Jangan deket-deket sama Bryan, Dion ga suka."
"Tapi, kan Bryan baik sama Sena."
Dion menarik nafasnya dalam, lalu menghembuskan perlahan-lahan, "Jangan bilang Bryan baik, Bryan ini … Bryan itu, aku ga suka kamu bicara cowok lain saat sama aku, Sena …" ucap Dion lembut, berusaha tidak menyinggung gadis itu.
Sena menatap mata cokelat karamel yang seperti menghipnotisnya, "Iya."
"Good girl," Dion mengacak-acak rambut rambut gadis itu, dan melepaskan sabuk pengamannya.
"Kamu masuk dulu gih," ucap Dion saat mereka berhenti di depan pintu masuk kelas.
"Dion ga masuk juga?"
Dion menggeleng, "Aku mau telepon anggota BEM sebentar."
"Oke deh, jangan lama-lama ya Dion."
"Iya," Dion tersenyum tipis, lalu berlari dari hadapan Sena menuju mobil. Ada pembicaraan yang sangat penting.
"Oh, kamu udah nyampe."
Suara di belakang punggungnya membuat Sena tersentak. Gadis itu berbalik badan, menatap Bryan yang menatapnya dengan tatapan sulit diartikan.
"I-i-ya, maaf ya Bryan … Sena telat."
"Iya gapapa."
"Ayo masuk," ucap Bryan mempersilakan gadis itu masuk.
"Iya," jawab Sena berjalan duluan, menjaga jarak dengan Bryan. Ia harus ingat pesan yang Dion katakan tadi. Sebenarnya ia tidak tahu kenapa Dion melarangnya dekat dengan Bryan, toh- mereka hanya sebatas guru dan murid, setidaknya itulah pikiran Sena.
"Kok kelasnya kosong?" tanya Sena bingung setelah masuk.
"Iya yang kelas pagi udah pada pulang?"
"Yang kelas siang belum masuk?"
Bryan menggeleng, "Belum, nanti jam 2," ucap Bryan menyejajarkan langkahnya dengan gadis itu. Namun setiap ia ingin mendekati gadis itu, gadis itu seperti terus menjauh, entahlah mungkin perasaannya saja.
"Pria itu …" Bryan menggantungkan ucapannya, "Pacar kamu?" tanyanya ragu-ragu.
"Iya," jawab Sena mengangguk, senyum.
"Dari kapan kalian pacaran?"
"Ehm … Sena kurang ingat, tapi kayaknya seminggu."
Bryan tersenyum, lalu mengusap-usap tengkuknya, "Ooh … jadi baru ya?"
Sena mengangguk, "He'em."
"Apa dia akan terus mengantarmu setiap hari?"
Sena terdiam, berpikir, "Kayaknya iya. Emang kenapa Bryan?"
Bryan tersenyum, "Gapapa … aku rasa daripada dia terus mengantarmu setiap hari, lebih baik kamu bareng aku. Ya gapapa si … kalau ga mau juga."
Sena terdiam.
"Pacar kamu pasti sibuk, kalau harus mengurusi dunianya dan duniamu."
Sena menggaruk tengkuknya, "Sejujurnya … Sena gatau mesti jawab apa. Tapi makasih tawarannya."
"Kamu jangan salah paham dulu, aku ga ngapa-ngapain kok. Cuma, mau membantu kamu aja, daripada kamu kesusahan. Apalagi pacar kamu pasti sibuk banget. Ga mungkin kamu akan terus bergantung, kan?"
Sena menggigit bibir bawahnya, memikirkan omongan Bryan.
"Gimana? Apa kamu terima tawaranku?"
"Dimas, pastikan semuanya berkumpul di lapangan jam 8 pagi."
Pip!
Dion mematikan sambungannya. Ia menghela nafas panjang. Besok kegiatan BEM akan dimulai. Dan ia akan meninggalkan Sena selama seminggu.
"Hah," Dion menghela nafas, "Gimana ya?" Dion menyandarkan punggungnya di kursi, dan mengusap-usap wajahnya frustasi.
Di satu sisi ia bertanggung jawab sebagai ketua BEM, tidak mungkin ia akan meninggalkan kegiatannya. Dan di sisi lain, bagaimana cara ia meninggalkan Sena, sementara Sena butuh dirinya. Ia juga khawatir meninggalkan Sena.
Apa ia harus mengajak Sena? Rasanya tidak mungkin. Ia harus profesional pada tugas yang diembannya.
Cukup lama Dion berpikir, sampai akhirnya satu nama terlintas di pikirannya.
"Oh iya Mira … apa minta bantu ke Mira aja ya?"
"Tapi Mira mau ga ya?" gumam Dion ragu-ragu.
"Coba dulu deh," ucap Dion mencari-cari kontak What'sapp bernama Mira. Setelah ketemu ia menekan tombol panggil, sampai akhirnya suara di ujung sana mengangkat teleponnya.
"Halo Dion?"
"Iya Mira …"
"Kenapa Yon? Tumben telepon aku?"
"Kamu lagi sibuk ga hari ini?"
"Engga tuh … ada apa?"
"Sebenarnya ada sesuatu yang mau aku omongin."
"Tentang apa? Sekolah private Sena?"
"Hemmm … sebenarnya bukan cuma itu," Dion mengetuk-ngetuk jarinya di kemudi setir.
"Terus?"
"Kamu mau ga tinggal di apartemen aku selama 12 hari?"
"HAH?! APAAA?!"
Dion menjauhkan ponselnya mendengarkan pekikan Mira.
"Kamu gila ya?!"
Dion mendekatkan kembali ponselnya, "Dengerin aku dulu, Mir … ini bukan seperti yang kamu pikirkan ko."
"Terus apa?! Kamu, kan udah punya Sena?! Apa kata Sena kalau aku tinggal di apartemen kamu. Ga waras kamu ya …"
"Ntar dulu Mir, dengerin aku dulu makanya."
"Yaudah apa?!"
"Aku ada kegiatan BEM di luar kota selama 12 hari, nanti kalau aku pergi. Siapa yang jagain Sena … tolong ya, bantu aku."
"Tunggu-tunggu, bentar. Maksud kamu, aku jagain Sena?"
"Iya … tuh connect."
"Kalau aku yang jagain Sena. Berarti selama ini kamu satu apartemen sama Sena?!"
Dion menelan ludahnya, "Y-y-ya gitu."
"Astaagaaa Dion! Kamu ngapain aja sama Sena?! Kamu satu kamar juga?!"
"Kamu nih pikirannya ada-ada aja deh Mir, ga ada … aku ga ngapa-ngapain Sena. Kan aku cerita sendiri sama kamu, aku ngejaga Sena sampai ingatan Sena kembali."
Mulutnya mungkin bisa berkata begitu, tapi hatinya beda. Dion mulai merasa egois sekarang, ia berharap ingatan Sena tidak muncul. Bukan karena ia takut Sena akan mengetahui bahwa ia yang menabrak gadis itu. Tapi karena ia sangat menyayangi gadis itu. Itu saja.
"Awas aja ya Dion kalau kamu nyakitin Sena, aku ga biarin kamu pokoknya!"
"Kok jadi kamu yang posesif? Kamu sama Sena, kan baru kenal."
"Sena itu polos, gampang ditipu. Kalau ternyata kamu br*ngsek gimana?"
"Ya ga mungkinlah aku, kan kalem," ucap Dion percaya diri.
"Ngomong sekali lagi aku matiin nih."
"Iya-iya gimana Mir, kamu mau ga?"
Mira terdiam.
"Ayolah, Mir … sekali ini aja. Ga mungkin, kan aku minta bantu Mario yang jaga Sena."
Terdengar suara helaan nafas dari ujung sana.
"Hah, oke …"
Dion menyunggingkan senyuman, "Thanks banget Mir …"
Sena duduk di kursi, dengan kanvas yang telah dilukis oleh Bryan, gambar matahari terbenam di laut. Hari ini Sena belajar melukis berduaan dengan Bryan, meskipun canggung.
Bryan berdiri, mengajari Sena dari belakang.
"Nah, sekarang ... coba kamu pegang kuas ini."
Sena meraih kuas itu dari tangan Bryan, "Terus?"
"Coba kamu warnai mataharinya."
"Iya," ucap Sena semangat, lalu mencelupkan kuas itu di cat warna oranye.
Saat Sena ingin mewarnai, suara Bryan tiba-tiba menghentikannya, "Bukan kayak gitu Sena megang kuasnya."
"Terus kayak gimana?" tanya Sena polos.
"Kamu megang kuas kayak megang pensil ... jangan-jangan kamu kemarin mewarnainya kayak gini ya tangannya."
Sena mengangguk, "Iya ... Sena salah ya Bryan?" tanya Sena menoleh ke belakang, menatap wajah Bryan.
"Iya, tapi gapapa. Namanya juga baru belajar. Sini aku ajarin ..."
Bryan tiba-tiba mengenggam tangan Sena, membuat gadis itu tersentak.
"Gapapa, kan?" tanya Bryan seperti meminta izin.
"Ngh ... iya-" jawab Sena meskipun ragu, ia membiarkan Bryan memegang tangannya.
Bryan membenarkan letak jari Sena saat memegang kuas. Jari telunjuk dan jari tengah berada di tengah kuas, dan jari-jari lainnya memegang bagian belakang kuas.
Bryan meletakkan tangannya di atas tangan Sena. Lalu memajukan tubuhnya, hingga wajah Sena, dan wajahnya bersebelahan. Dari sini, Bryan dapat mencium aroma Sena yang begitu memikat.
Bryan menggerakan tangan mereka di kanvas. Mewarnai matahari.
Sesekali saat mewarnai, Bryan mencium aroma rambut Sena yang memabukan indera penciumannya.
"Sena apa kamu se-wangi ini?" tanya Bryan tak henti-hentinya mengendus rambut itu, hingga kini ia menurunkan wajahnya. Mendekatkan hidungnya ke pipi Sena, yang begitu harum. Saat jarak mereka hampir dekat, suara bogeman memecahkan ruangan itu.
BUK..!
"Aaaaaaa ..." jerit Sena ketakutan.