PART 88 - INTEROGASI

1131 Words
PART 88 - TELAH DIREVISI "Emm– Mama maunya di sini terus," ucap Diana mengerucutkan bibirnya. Menatap Sena memohon agar bisa tinggal bersama dengan menantunya– menantu menurutnya. Padahal belum. Menikah dengan Dion saja belum, tapi Diana sudah meng-klaim dirinya sebagai menantu dan sedang berisi. Sena yang polos tidak tahu makna dari kata berisi yang sering disematkan para ibu-ibu cuma mengikuti alur saja. Sesekali mengangguk, terkekeh, atau mengatakan iya. Jujur saja, ia agak sedikit gugup dan juga tidak menyangka bisa bertemu dengan calon mertuanya. Dan juga tidak mengerti apa yang ibunya Dion bicarakan seharian ini. Obat kuat, obat subur, dan berbagai macam obat-obatan dan ramuan yang ditawarkan oleh Diana yang Sena tidak mengerti. Sena pikir ia mungkin tidak akan diterima oleh keluarga Dion, namun kenyataan malah sebaliknya. "Besok, kan ada waktu lagi kak. Udah malem ni. Biarkan menantu kita dan cabang bayinya istirahat." "Cabang bayi?" ucap Mira dan Mario bersamaan. Mereka saling bertatapan terkejut. Diana mengerucutkan bibirnya, lalu memeluk Sena erat-erat, "Aaa gamau. Aku mau sama menantuku Kan kalau ada aku. Aku bisa ngontrol 24 jam. Iya, kan sayang?" tanya Diana menatap Sena. "Ha?" Sena yang tidak tahu harus bicara apa, cuma mengangguk saja, "I-i-iya ma." Sampai sekarang pun Sena masih terus berpikir tentang cabang bayi yang dimaksud Diana. Dewi menghela nafas, "Dion menangis melihat ini." Buk…! Diana melepaskan pelukan, dan menjitak kepala adiknya, "Kamu ga tau apa. Betapa bersyukurnya aku akhirnya Dion melepaskan masa bujangnya. Dan gajadi pejaka seumur hidup." "Melepaskan masa bujang? Ga jadi pejaka?" ucap Mira dan Mario bersamaan. Mereka saling bertatapan apa maksud dari kata melepas masa bujang, namun pada akhirnya mereka mengendikkan bahu, sama-sama tidak tahu. Cabang bayi? Masa bujang? Menantu? Mereka melihat Sena, meminta jawaban dari semua ucapan itu, Tapi Sena membalas tatapan mereka seolah berkata kenapa kalian menatapku seperti itu. Dan pada akhirnya Mira dan Mario hanya pasrah saja mengikuti alur drama keluarga ini, meskipun mereka sebenarnya juga penasaran. "Ayo cepetan pulang, besok, kan bisa kesini lagi." "Nanti kalau aku kangen sama cucuku gimana?" Diana mengeratkan pelukannya. "Cucu?" Lagi-lagi Mira dan Mario terkejut. "Ya ampun … udah jam 9 malem kak. Besok, kan bisa kesini lagi pagi-pagi, main dah sepuasnya." Diana mendecak sebal, "Yaudah deh," ucapnya mengalah padahal ia ingin tidur disini bersama Sena. Diana melepaskan pelukan, dan menatap Sena teduh. Ia mengusap-usap puncak kepala Sena lembut seperti kasih sayang seorang ibu pada anaknya. "Mama pulang dulu ya." Sena tersenyum, "Iya ma." Rasanya nyaman sekali disayang seperti itu. Sena merasa Diana seperti ibunya. Ah, Sena jadi penasaran, kenapa ia tidak pernah melihat ibunya. Ibunya kemana? Dan kenapa Sena bisa tinggal berdua dengan Dion? Apakah Sena tidak punya ibu? Semua pertanyaan itu terus berputar di otaknya. Tapi Sena tidak pernah bisa menemukan jawabannya. Sekuat apapun ia mengingat, jawaban itu tak pernah muncul. "Selama ga ada Dion, Mira dan Mario yang akan menjaga kamu di rumah." Sena mengangguk lagi, "Iya ma," jawabnya dengan mata berkaca-kaca. Kenapa rasanya Sena ingin menangis. Yang ia tahu di dunia ini hanya dirinya, Dion, Mira, dan Mario. Kenapa ia tidak pernah tahu soal ibu. "Hati-hati di rumah ya. Mama pergi dulu." "Iya ma. Mama hati-hati juga." Sena menatap calon ibu mertua dan calon tante mertuanya berjalan menuju pintu, diikuti Mira di belakang. Sena termenung. Memikirkan ibu berulang kali. Cukup lama ia termenung sampai akhirnya Mario menggoyangkan bahunya. "Sena." "Eh iya," Sena kembali sadar dari lamunan. Ia menatap Mario yang entah kapan berdiri di hadapannya. Mario meletakan tangannya di bahu Sena, "Aku mau ngomong sama kamu. Dan kamu harus jawab jujur!" ****** Sena duduk di sofa, menatap dua orang yang berdiri di hadapannya. Sena menelan ludah, rasanya ia sedang diinterogasi. Tadi siang di interogasi calon mertua, sekarang diinterogasi Mira dan Mario. Sebenarnya Sena salah apa? "Ken-kenapa kalian natap Sena kayak gitu? …" ucap Sena bergidik ngeri. Mira dan Mario melipat kedua lengannya di depan d**a. Menatap Sena tajam seperti seorang hakim yang mendakwa sang pelaku. "Sekarang jawab pertanyaan aku, kamu udah nikah sama Dion?!" tanya Mario. "Kapan dan dimana?!" sahut Mira menimpali. "Dan kenapa juga kalian ga undang kami berdua?!" sahut Mario. "Menikah?" "Iya menikah. Kamu udah nikah sama Dion apa belum?!" tanya Mira penasaran. Sena menggeleng polos, "Belum." "Belum?!" jawab Mira dan Mario kompak. Lalu kembali mengajukan pertanyaan yang lebih detail. "Tar dulu tar tar tar. Ini maksudnye ape nih? Tadi tante Diana bilang pada jam 8 malam lewat 52 menit 32 detik mengatakan tentang cabang bayi, kemudian pada jam 8 malam lewat 52 menit 40 detik mengatakan Dion melepas masa bujang, kemudian pada jam 8 malam lewat–" "Mas mas bisa dipercepat ga? Lama banget dah nanya satu pertanyaan doang," ujar Mira mengibarkan bendera perang. "Kita itu harus nanya secara detail. Kan ceritanya kita jadi hakim." "Ya ga gitu juga bambank. Ini kalo ditulis satu buku ga selesai-selesai." Mario menepuk jidat, "Oh iya!" Pria itu kembali menatap Sena. "Jadi selama kalian tinggal bareng, Dion ga ngapa-ngapain kamu, kan?" tanya Mario ragu-ragu. "Misalnya pernah melakukan kegiatan yang ehmm … ehmm … yang ehmm …" Mira jadi bingung sendiri bagaimana cara menjelaskannya. Mario menyenggol lengan Mira, "Sena masih polos anjir jangan ucapin hal-hal yang membuat otaknya tercemar," ucap Mario berbisik. "Lah tercemar dari mananya anjir? Emang limbah." "Ya gausah lu jelasin secara spesifik juga Juleha Mirasantika ..." "Terus gimana gue nanyanya anjir?" "Ya pokoknya! Bahasanya diperhalus." "Ya ga bisa dong. Kan emang udah kodrat bahasanya gitu. Mau diperhalus kayak gimana?" "Ya gausah yang kasar juga Juleha! Tebu aja bisa diperhalus jadi gula. Masa kata-kata ga bisa!" "Lah emangnya gue mau bilang kegiatan apa? Maksud gue kegiatan masak bersama anjir. Kan Dion suka masak." Sena menatap dua orang di depannya bergantian, "Lah, kok kalian jadi berantem? Ga jadi nanya?" Mira dan Mario berhenti berdebat. Dan kembali menatap sang terdakwa. "Oke, kembali ke topik. Jadi apa yang Sena lakuin selama ini?" tanya Mario berhati-hati. "Ehmm …" Sena berhenti sejenak, berpikir mengingat-ingat lagi, apa saja yang pernah ia lakukan dengan Dion. "Ehmmm Sena …" "Sena … Sena pernah ngapain ya?" Sena berpikir keras, memutar otaknya mencari-cari jawaban. "Ayo Sena. Jangan buat aku frustasi ni," Mario menjambak rambutnya sendiri. "Sabar bang sabar …" Mira mengusap-usap bahu Mario menenangkan pria itu. "Sena ga ngapa-ngapain si ... cuma makan, belajar, tidur, melukis, mandi, dan jalan-jalan …" Sena menyunggingkan senyuman manisnya. "Emang kenapa sih kok kalian tumben nanya?" tanya Sena polos. "Mau ngajak Sena jalan-jalan ya?!" tabya Sena antusias. "Ayo ayo! Sena mau! Sena mau!" Sena bertepuk tangan gembira. "Ha?" Mira dan Mario bertatapan. Tubuh mereka membeku mendengar ucapan polos Sena. Tidak tahu apa mereka paniknya seperti apa kalau Dion berbuat yang iya-iya. Maksudnya yang tidak-tidak. Nah ini si Sena bisa-bisanya santai aja. "Mir, gimana nih Sena ga bisa ngasih jawaban," bisik Mario. "Kayaknya kita salah pertanyaan Mar," jawab Mira berbisik. "Besok kita ganti strategi aja," bisik Mario lagi. "Ho'oh."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD