PART 89 - KERJA KERAS

1032 Words
PART 89 - TELAH DIREVISI Soleram~ Soleram~ Soleram anak yang manis Anak manis janganlah dicium sayang Kalau dicium merahlah pipinya. "Stop," salah satu panitia wanita bernama Nindy dari Fakultas Seni menghentikan nyanyian. Nindy menjadi promotor yang memiliki peran mengasah seni musik anak-anak. Mereka pun berhenti. Panitia fakultas seni kembali melakukan tugasnya, mengembangkan jiwa seni anak-anak muda. 10 orang panitia seni dan Glenn sebagai perwakilannya berbagi tugas. Ada yang mengembangkan paduan suara, teater musikal, tari daerah, puisi, pidato, simfoni, dan juga story telling menggunakan bahasa Inggris. Nindy sebagai promotor paduan suara. Mengambil anak kelas 3 SD untuk ia ajari. Sedangkan panitia lainnya mengambil kegiatan lain. Nindy mengajari anak-anak di ruang kelas 3. Saat itu hari libur, dan tidak ada kegiatan belajar-mengajar. Nindy menatap anak-anak berjumlah 15 orang berbaris rapi. Dengan susunan yang berbeda. 8 di belakang dan 7 di depan. Nindy meletakan 7 anak yang memiliki tubuh pendek di depan. Dengan 5 anak ditengah yang memiliki suara rendah, dan 2 anak yang memiliki suara tinggi diletakan di paling ujung kanan dan ujung kiri. Dan 8 anak bertubuh tinggi diletakan di belakang dengan 3 anak yang memiliki suara seriosa diletakan ditengah-tengah. Dua di kanan, dan tiga di kiri memiliki suara sedang. Nindy menyusun anak-anak tersebut agar menghasilkan suara yang tepat dan tidak berat sebelah. "Bait pertama Soleram dinyanyikan barisan depan. Kemudian bait kedua dilanjutkan barisan belakang. Ayo mulai. Tu wa ga pat!" "Soleram," barisan depan bernyanyi. "Soleram," diikuti barisan belakang. "Stop. Bait kedua Soleram. Bagian So nya dipanjangin. Kayak gini Soleram, So~leram. Soleram anak yang manis. Anak m**i`s. Pas di kata manis, panjangin. Anak m**i`s janganlah dicium sa~yang. Bagian sayangnya perhalus, sa~yang. Jangan ditekan. Anak m**i`s janganlah dicium sa~yang." "Kemudian barisan depan nyambung, kalau dicium." "Barisan belakang improvisasi dengan seriosa. Merahlah pipinya!" "Kemudian masuk nada tinggi seriosa barisan belakang Soleram~ so~leram. Ngerti, kan anak-anak?" Mereka mengangguk semangat, "Ngerti." "Ayo mulai. Tu wa ga pat." Soleram So~leram Soleram Anak yang manis Anak m**i`s janganlah dicium sa~yang Kalau dicium, merahlah pipinya. ***** Di halaman sekolah yang tidak terlalu luas, Glenn dan 3 orang lainnya, Jinny, Septi, Neni, dan Boy mengajari anak kelas 5 dan 6 SD belajar teater musikal Roro Jonggrang. Dengan 25 orang murid, yaitu 15 murid kelas 5 dan 10 murid kelas 6 SD. Mereka berbagi tugas. Glenn sebagai sutradara yang mengarahkan jalan cerita. Jinny yang akan menjadi tata rias dan busana, Septi yang akan mengajari latar musik teater, Neni mengajari menyanyi solo musikal, dan Boy sebagai penata perlengkapan teater. Latihan teater pun dimulai. Seorang pria anak kelas 6 SD berdiri ke tengah halaman. Raut wajahnya memancarkan ketegasan seorang raja. "Raden Bondowoso putraku, kemarilah!" ucap pria yang beperan sebagai Raja Pengging. Seorang pria kelas 5 SD berjalan ke tengah lapangan. Auranya memancarkan kepatuhan, dan kewibawaan. "Iya Gusti, ada apa memanggil saya?" ucap pria yang berperan sebagai Bandung Bondowoso. Pangeran kerajaan Pengging. "Segeralah engkau bersiap-siap, wahai anakku. Baru saja prajurit kerajaan memberi kabar bahwa ada warga desa kita yang dianiaya oleh prajurit kerajaan Prambanan." "Apa yang harus saya perbuat wahai Gusti yang agung?" "Kita mengatur strategi untuk menyerang kerajaan Prambanan besok." "Oke, Cut!" Glenn sebagai sutradara menghentikan sementara waktu. Ia mendekati kedua anak cilik itu. "Saat memainkan teater harus benar-benar bisa bermain ekspresi dan nada bicara. Disini Raja Pengging adalah raja yang bengis, sombong, dan angkuh. Saat menjadi raja Pengging nada suara dan ekspresinya harus tegas, kuat, dan tak mau terkalahkan. Samakan ekspresi dengan sifatnya. Oke, ya?" Pria kecil yang berperan sebagai Raja Pengging mengangguk, "Oke kak." "Ayo kita mulai lagi. Rolling–Action!" ***** Di ruang kelas satu, terdapat anak-anak kelas 4 SD yang belajar tari saman bersama Nindy berjumlah 10 orang. Dan 5 orang anak kelas 4 SD menari di ruang kelas 2 bersama Sari menampilkan tari Sajojo untuk memeriahkan suasana. Kemudian di aula kecil yang tersedia untuk berkumpul. Terdapat anak kelas 1 dan kelas 2 SD belajar storry telling bercerita menggunakan bahasa inggris, belajar puisi, dan juga berpidato berganti-gantian mengingat tempat mereka terbatas. Salah satu anak perempuan imut dengan potongan rambut bob-poni berdiri di depan kelas tanpa malu-malu. Senyuman merekah di pipinya yang chubby seperti bakpao. "Hello ... my name ic Cuci." Sontak ruang kelas menggelegar dengan suara tawa. "Nama kamu siapa?" tanya Amel, sang panitia Seni mengajar Story telling. "Cuci ..." "Hahaha," mereka kembali tertawa mendengar suara imut anak itu. "Cuci?" tanya Amel yang gemas. "Susi kak. Namanya Susi," sahut pria kecil itu. "Oh Susi. Silakan Susi kakak pengen dengar storry telling kamu." Susi menarik nafas panjang, dan memberanikan diri bercerita dengan suara imutnya. Susi membaca sebuah teks yang ia tulis sendiri dengan tulisan khas anak kecil. "One day, mouce dil went down to the livel to take a dlink. But he knew that the clocodile might be waiting undelwatel to eat him." Suara Susi yang cadel huruf S dan R membuat panitia terkesima sekaligus gemas. Susi membaca bahasa Inggris dengan caranya sendiri. Para panitia bekerja keras membangun desa ini dengan apa yang mereka bisa dan mereka pelajari sewaktu kuliah. Panitia fakultas seni mengajarkan mereka karya, dimana akan ada acara penutupan nanti. Dan mereka akan tampil di sana. ***** Dimas, panitia, dan beberapa warga bekerja keras untuk pembangunan desa. Dimas terlihat memberikan arahan sekaligus membantu dalam pembuatan kincir air yang kokoh dan dapat dipertahankan dalam waktu lama. Para warga dan panitia membentuk kerangka kincir air dari kayu. "Membuat kerangka memang susah-susah gampang. Meskipun bagus, kalau bawahnya tidak kokoh, bisa rubuh," ucap Dimas menjelaskan cara satu persatu membentuk kerangkanya. Panitia dan warga lain juga terlihat membangun jembatan, ada juga kepala dusun yang ikut disana membantu. Kemudian panitia dan warga ada yang membangun sumur untuk mereka mandi, jadi tidak mandi di sungai lagi. Dan ada juga yang membangun dua toilet untuk wanita dan pria. Sementara para panitia fakultas ekonomi menargetkan para ibu-ibu rumah tangga yang mempunyai usaha mikro. Salah satu panitia menatap seorang ibu yang fokus melukis kain dengan canting untuk dijadikan batik. Dalam membuat batik lukis harus memiliki konsentrasi yang tinggi dalam pembuatannya dan juga detail. Para panitia fakultas ekonomi berpencar memperhatikan usaha ibu-ibu disini. Ada yang membuat bubuk kopi dari biji salak, membuat kerupuk nasi, batik lukis, membuat bunga palsu dari sedotan, dan membuat selendang dengan jahitan tangan tanpa mesin. Semua kreatifitas disalurkan oleh para ibu-ibu rumah tangga demi mengais rupiah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD