Tubuh Bryan terpental ke lantai. Saat Dion memukul wajahnya keras.
"Br*ngsek, bajing*n! Bisa-bisanya lu ngelecehin Sena!"
Buk..! Buk..! Buk..!
"Dion, Dion udah berhenti," Sena menarik tangan Dion, namun pria itu menepisnya. Hawa marah Dion membuat Sena bergetar ketakutan.
Dion tak pernah semarah itu. Sena seperti melihat sisi Dion yang lain. Bukan seperti malaikat yang Sena kenal.
"Dion jangan! Udah …" air mata Sena menyeruak keluar, ia berusaha untuk melerai mereka, namun Dion terus-terusan menyerang Bryan. Membuat Bryan babak belur tak karuan.
"Lepasin Sena!" jawab Dion tegas menepis tangan gadisnya.
Bryan sudah terkapar, namun Dion terus-terusan menyerangnya tanpa ampun. Ia bahkan tak berdaya untuk melawan.
"Dion … udah hiks hiks."
"Aku udah bilang berapa kali sama kamu. Jangan deket-deket Bryan. Dia ini brengs*k! Aku marah dia berani nyentuh kamu!"
"Engga Dion … hiks hiks. Bryan ga ngapa-ngapain Sena."
"Dia hampir nyium kamu, itu ga ngapa-ngapain?"
"Dasar brengs*k!" Dion kembali memukul wajah pria itu.
Buk..! Buk..!
"Dion udah!"
Pandangan Bryan mulai kabur, darah mengalir di sudut bibirnya, dan pipinya bengkak membiru.
Buk..! Buk..!
"Baj*ngan!"
"Dion berhenti! Bryan bisa mati, hiks hiks."
Namun pria itu tak menghiraukannya. Ia tetap memukul Bryan membabi buta.
Buk..! Buk..!
Sena menghapus air matanya paksa, "Kalau Dion masih mukul Bryan, kita putus!" ucap Sena tegas di sela-sela tangisannya.
Kalimat itu membuat Dion berhenti. Ia seperti tersadar apa yang dilakukannya. Dion bangun dari tubuh Bryan, dengan perasaan campur aduk. Raganya seperti terjatuh cepat dari langit ke bumi, remuk.
"Putus?" ucap Dion lemah. Ia seperti kehilangan jiwa mendengarkan kata yang paling ia benci. Perpisahan. Dion mendekati Sena dengan tatapan sayu.
"Sena benci Dion jahat sama orang!"
"Sena benci Dion kasar!"
"Dion kayak iblis tau gak!" Sena mendorong tubuh Dion, lalu berlalu pergi menangis terisak-isak. Ia menyukai semua sisi Dion, kecuali yang ini. Ia takut, sungguh.
"Sena … tunggu- tolong jangan salah paham," Dion meraih tangan gadis itu, namun ditepis berkali-kali.
"Sena."
"Lepasin Dion. Sena benci Dion sekarang. Sena ga suka!"
"Tolong jangan benci aku, Sena … Bryan melecehkan kamu. Ga mungkin aku diam aja. Aku ngeliat dengan mata kepala aku sendiri. Dia hampir cium kamu Sena! Aku ga bohong."
"Apa karena itu Dion berhak mukul Bryan?" Sena menatap Dion dengan mata memerah. Mata mereka bertemu dengan perasaan yang berbeda. Dion menatap Sena sayu, dan Sena menatap Dion dengan penuh rasa kecewa.
"Dion tuh jahat. Sena benci Dion!"
Dion melirik gadis yang masih menangis di sebelahnya. Sena terus mendiamkannya sepanjang perjalanan. Tak ada obrolan ceria seperti biasanya. Dion tetap fokus menyetir, meskipun pikirannya kacau balau.
Masalah Bryan, pria itu dibawa ke rumah sakit oleh Mario. Setelah Dion menghubunginya lewat w******p.
"Maaf-" ucap Dion lirih. Namun gadis itu lagi-lagi mendiamkannya.
Sena hanya melihat jendela, menatap ke luar mobil.
"Aku- ga berniat menyakiti orang lain ... aku cuma-"
"Cuma apa?" ucap Sena dengan suara parau.
"Maaf-" hanya kata itu yang mampu Dion ucapkan. Gadis itu sudah terlanjur kecewa. Ia benar-benar tidak berniat menyakiti orang lain, sungguh. Tapi penjelasannya saja tidak cukup untuk mengembalikan kepercayaan Sena.
Sesampainya di apartemen, Sena berjalan mendahului Dion, tidak mempedulikan pria itu.
Sena masuk ke kamarnya, dan mengunci pintu rapat-rapat.
Dion menghela nafas panjang, dan menutup pintu apartemen. Entahlah, rasanya hari ini sangat berantakan. Bagaimana caranya Dion bisa meninggalkan Sena besok. Jika perasaannya saja tidak karuan.
Drrt drrt
Dion merogoh ponselnya di saku celana. Nama Mario terpampang di layar w******p. Sebenarnya ia ingin sendiri, tapi mungkin ada sesuatu yang penting tentang- ah menyebut nama pria itu membuat Dion malas.
"Halo," ucap Dion mengangkat panggilan.
"Lu apain anak orang Yon? Kok bisa babak belur gini?"
"Gimana keadaannya? Masih hidup?"
"Masihlah pea ... untung aja selamat."
"Ooh ..."
"Oh doang? Yon ... harusnya lu pikir-pikir dulu sebelum bertindak. Kalau anak orang mati gimana? Lu kenapa Yon? Kenapa lu kayak gini?! Lu bukan cuma dapat masalah dari kecelakaan Sena, tapi dari cowok ini juga! Kalau di dendam ama lu gimana?!"
Dion melangkah menuju kamar. Saat di depan pintu, Dion melirik kamar di sebelahnya. Apa yang dilakukan gadis itu di dalam kamar? Apakah Sena masih menangis? Apakah Sena masih membencinya?
Rasanya ia ingin menerobos pintu itu, dan menjelaskan semuanya. Tapi percuma saja, semua itu hanya sia-sia.
"Yon Yon ... dih diem, gue panggil-panggil."
"Oh iya?" ucap Dion tersadar dari lamunan.
"Lemes amat suara lu. Lu kenapa? Ada masalah apa?"
"Ga ada apa-apa."
Tut Tut Tut
Dion mematikan sambungannya, dan membuka pintu kamar. Ia benar-benar lelah hari ini. Dion menghidupkan saklar lampu, dan menutup pintunya.
Dion melepaskan dua kancing kemeja atas, dan menggulung lengan kemeja sampai siku. Ia melangkah menuju ranjang, memandangi bingkai foto di atas nakas. Foto dirinya dan Sena sewaktu di Sea World.
Dion duduk di tepi ranjang, dan meraih bingkai itu. Menatap senyuman khas puppy eyes Sena. Senyuman termanis yang pernah ia lihat.
Rasanya waktu berlalu begitu cepat. Dion mengingat kenangan indah mereka sewaktu jalan-jalan ke tempat ini. Sulit untuk mendefinisikan bagaimana hatinya saat itu. Bahkan tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Dan sekarang, kata putus dari Sena membuatnya tak bisa berkata-kata lagi. Ia seperti di lempar ke palung mariana yang paling dalam. Apakah gadis itu tidak tahu seberapa sayang ia terhadapnya? Dan seberapa marahnya ia saat gadis itu dilecehkan?
*****
Kret..!
Dion menutup resleting ranselnya. Semua peralatan dan perlengkapan telah ia siapkan dari jam 4 pagi.
Dion mengacingkan almamater abu-abunya, dan menggendong tas ransel yang berisi banyak barang. Karena ia akan pergi selama seminggu. Bahkan tas ransel ini tidak cukup untuk menampung semua baju dan barang-barang. Alhasil Dion membawa tas jinjit tambahan untuk meletakan snack, stok air minum, obat-obatan, dan tempat untuk pakaian kotor.
Ting nong!
"Iya sebentar," ucap Dion keras, mendengar suara bel di luar pintu. Dion menggendong tas ranselnya, dan membawa tas jinjit ke ruang tamu.
Dion melirik jam dinding, pukul 7 pagi. Ia harus buru-buru. Dan harus tiba lebih awal daripada anggota lainnya.
Dion meletakan tas jinjit di atas meja, lalu berlari ke arah pintu.
Cklek..!
Pintu terbuka lebar, menampilkan sosok Mira yang menggendong tas besar.
"Oh Mira ... masuk Mir," Dion meminggir sedikit, memberikan ruang untuk gadis itu.
"Iya, makasih Dion ... mau berangkat sekarang?" tanya Mira to the point.
Dion menutup pintu, "Iya," ucapnya lalu berjalan menyusul Mira yang telah berjalan duluan ke ruang tamu.
"Emang jam berapa acaranya?"
"Jam 8."
"Kok jalannya pagi banget?"
"Iya, kan aku ketua BEM. Jadi harus dateng lebih awal."
Mira terkekeh, "Murid teladan."
"Hahaha iya dong ... Oya, kamu mau minum apa?"
"Oh ga usah. Nanti aku ambil sendiri aja. Takut ngerepotin," tolak Mira.
"Oh yaudah kalau gitu, aku mau berangkat- eh tunggu bentar- nanti aku lupa lagi," Dion merogoh sesuatu di saku almamaternya, mengeluarkan amlop tebal berwarna cokelat.
"Ini buat jajan kamu sama Sena selama aku ga ada," ucap Dion menyodorkan amplop itu.
Mira meraih amplop itu, dan melihat isinya. Uang merah semua.
"Kalau kurang telepon aku aja."
"Ini ga kebanyakan Yon? Kamu serius ngasih segini?" tanya Mira bingung, melihat isi amplop yang tebalnya bukan main. Bahkan gajinya tiga tahun tidak cukup.
"Gapapa, barangkali kamu sama Sena mau beli sesuatu nanti."
Dion membawa tas jinjitnya, berpamitan dengan Mira, "Aku pergi dulu ya, Mir ... Sena lagi tidur di kamarnya. Jangan lupa ajak Sena sarapan. Aku percayakan Sena sama kamu," ucap Dion tersenyum.
"Kamu sama Sena hati-hati ya di rumah. Kalau ada masalah hubungi Mario."
"Iya Dion, siap ..."
"Password apartemen udah aku tulis di belakang amplop. Kamu cek aja."
Mira mengangguk, "Iya hati-hati ya."
Mira mengantar kepergian Dion sampai depan pintu.
Sebenarnya yang Dion inginkan adalah Sena yang mengantarnya sampai depan pintu. Tapi gadis itu masih marah padanya. Ia bahkan belum sempat berpamitan pada Sena.