PART 139 - PENGEN TAHU

1010 Words
"Jadi lu mau ngomongin apa?" tanya Mira to the point sambil mengaduk-aduk jus jeruknya dengan sedotan. Mario duduk berhadapan dengan Mira, dan secangkir kopi panas yang ia pesan di atas meja. Mario memutuskan mengajak Mira ke kafe yang tidak jauh dari tempat Mira mengajar. "Ada hal penting yang mau gue omongin, Mir." Mira menyeruput jus-nya, "Apa?" "Cowok yang dateng ke rumah lu waktu itu siapa?" "Cowok yang mana?" Sepertinya Mira belum connect sama apa yang ingin ia katakan. "Cowok yang mukulin gue waktu itu." Deng..! Mira seperti dihantam dari belakang. Mendadak ia gugup sekarang, bersamaan dengan rasa bersalahnya yang tiba-tiba datang. Mira yakin, suatu hari nanti Mario akan mempertanyakan Daniel. Dan benar saja, ini saatnya. "O-o-oh it-itu …" "Itu cowok yang ke apartemen Dion waktu itu, kan?" Mira terdiam. Lebih tepatnya, diam karena bingung. Ia bingung bagaimana harus menjelaskannya. "Hubungan lu sama cowok itu apa?" "Nghh-" Mira menunduk, menggigit bibir bawahnya. Mario memperhatikan ekspresi Mira yang tiba-tiba berubah, "Kenapa?" "Kenapa lu nanya itu?" tanya Mira berbalik tanya. "Gue pengen tau aja. Kalo lu ga mau jawab juga gapapa. Gue ga maksa." Tunggu, Mira bimbang sekarang. Haruskah ia jujur atau bohong. Atau bagaimana? Ia dilema. Haruskah ia mengatakan siapa Daniel sebenarnya. Melihat Mira yang terdiam, membuat Mario sedikit menaruh curiga. Dan ia harap kecurigaannya tentang Mira, salah. "Kenapa?" Mira menggeleng cepat, "Eng-engga." "Gue ga ngapa-ngapain Mir. Kok lu aneh gitu nanggepinnya." "Engga kok." "Gue cuma tanya. Cowok yang ke rumah lu itu siapa," ulang Mario lagi. Jujur saja, Mario deg-degan dengan jawaban yang akan Mira katakan. Mira memainkan jari-jarinya di kolong meja. Dilema. Kemarin ia marah-marah ke Daniel karena memukuli Mario. Dan sekarang, saat Mario menanyakan Daniel ia malah bingung mengakuinya. "Ya Allah, Mir serius gue mah. Lu tinggal jawab aja. Cowok itu siapa. Ga bakal gue apa-apain cowoknya." "Dia itu …" Mario menaikan alis. Menunggu jawaban selanjutnya. "Cowok gue, Mar." Dang..! Mario terkejut setengah mati. "Gue udah pacaran sebulan lebih." "Lu tau dia siapa?" ucap Mario dengan ekspresi khawatir, "Mak-maksud gue- kok lu main terima-terima aja," ralat Mario. "Yaaa habisnya dia suka sama gue. Masa ga gue terima cowok seganteng itu. Baik lagi." "Iya gue ngerti. Tapi kok lu ga cari tau dulu bebet bobotnya, main terima gitu aja." Mira menaikan alis, bingung mendengar perubahan nada Mario yang tiba-tiba meninggi, "Kok lu jadi marah-marah sih Mar?" "Gue ga marah. Cuma khawatir. Lu ga tau dia siapa, asal usulnya darimana, terus lu main terima dia gitu aja. Dan lu ga tau, kan maksud dia deketin lu itu apa." ***** Mario mengendarai motornya membelah jalan raya. Ia sedikit tidak fokus, berulang kali ia termenung saat mengendarai motor, yang pada akhirnya ia akan menerima cacian atau klakson keras dari pengendara lain. Contohnya saat di persimpangan lampu merah. Saat lampu merah berubah hijau. Mario malah termenung, membuat pengendara di belakangnya kesal. Pikiran Mario carut-marut sekarang. Dua orang yang penting dalam hidupnya dalam masalah besar. Sena. Mira. Dan tak lupa juga Dion. Bukan dua, tapi tiga. Mario belum siap menghadapi masalah ini sendiri. Dan jika ia mengatakan masalah ini, belum tentu ada orang yang akan berpihak di jalannya. Teori-teori yang ia pikirkan kemarin, kemungkinan akan pecah suatu hari nanti. ***** "Dion." Dion tersentak, ia pun buru-buru menutup diary death note-nya. Sena memeluk Dion dari belakang, dan menelusupkan hidungnya di samping leher Dion. Menghirup aroma maskulin Dion yang memabukkan. Sena menyukai wangi ini. "Dion ngapain?" "Nulis …" "Kok kamu ga di kamar aja?" tanya Dion lagi. "Sena bosen, Sena maunya sama Dion." Dion mengusap-usap lengan Sena yang melingkar di lehernya, "Kamu mau sesuatu?" "Iya," Sena melepaskan pelukannya. Dion pun berbalik. Duduk menghadap Sena yang berdiri di hadapannya. "Apa?" tanya Dion mendongak. Tapi sedetik kemudian tingkah Sena membuatnya keringat dingin. "Sena!" protes Dion. Tapi Sena tetaplah Sena, selalu membuat Dion terkejut akan tingkahnya. Yang terkadang suka membuat Dion jantungan. "Biarin begini." Alhasil Dion hanya membiarkannya saja. Dion membiarkan Sena duduk di pangkuannya, dan memeluknya erat. "Sena suka denger detak jantung Dion," ujar gadis itu terkekeh. Sena menyandarkan kepalanya di d**a bidang Dion. Mendengar detakan demi detakan yang membuatnya candu. Dion hanya tersenyum, dan menepuk-nepuk punggung Sena pelan. Ia membiarkan gadis itu, melakukan apa yang dia mau. "Apa ada yang sakit?" "Dion selalu aja nanya itu," jawab Sena mengerucutkan bibir. "Kan biar aku bisa mantau keadaan kamu." "Ga usah dipantau Sena baik-baik aja kok. Asalkan sama Dion. Soalnya Sena suka Dion hehehe." Gombalan tingkat dewa Sena kembali. Tapi Dion suka. "Dasar kamu tuh …" Dion terkekeh senang. Sena melepaskan pelukannya, dan menatap netra cokelat karamel yang indah. Mata Dion benar-benar indah, terlebih jika terkena sinar matahari. Cokelatnya begitu terang. Dan sekali lagi Sena suka. "Sena suka Dion banget, hehehe." "Iya Sena, puluhan kali kamu ngomong gitu." Chup..! Kecupan singkat mendarat di bibirnya. "Jangan iseng Sena." Chup..! "Sena." Padahal Dion mati-matian menahan diri, apalagi dengan posisi seperti ini. Chup..! "Senaaa." Dan salah satu hobi Sena. Menjahili Dion. "Sekali lagi kamu ngelakuin itu, jangan salahkan aku ya kalo aku kasih hukum-" Chup..! Dan sepertinya Sena belum kapok. "Sen-" "Coba aja kalo bisa hehehe." "Oh jadi kamu mau nantangin aku ceritanya." "Wleee," Sena menjulurkan lidahnya meledek Dion. Ia pun hendak turun, namun belum sempat ia kabur. Dion merapatkan pelukan mereka. Sena menatap wajah Dion yang berubah, "O-ow," sepertinya Sena baru saja membangunkan macan tertidur. Dan sedetik kemudian, Sena merasakan benda kenyal mendarat di bibirnya. Dan bergerak lebih menuntut. Sena mencengkram kerah baju Dion erat. Dan menutup matanya perlahan-lahan, menikmati ciuman mereka yang lebih dalam. Sena merasakan sesuatu menggelitik punggungnya. Tangan Dion menelusup masuk ke piyamanya, mengelus punggungnya naik turun. Ia seperti tersengat saat kulitnya dan kulit Dion bersentuhan. Sampai akhirnya. Brak..! "Sena, Dion!" Dion yang terkejut, sontak melepaskan ciuman mereka. Dan menoleh ke arah pintu. Dan Sena, menyembunyikan wajahnya di dekapan Dion. Malu. "Mama!" Dion tiba-tiba panik. Berikut juga Sena. Mereka pun berdiri, membereskan baju mereka yang kusut akibat aktivitas mereka tadi. Terutama Sena merapikan piyamanya. "Kalian ngapain?" "Ma, ini-" Dion buru-buru menjelaskannya. Meskipun ia tahu tidak ada gunanya. Ia dan Sena terciduk. "Bisa-bisanya kalian siang-siang gini ngelakuin itu?!" Sena menunduk, malu. Pipinya seperti udang rebus sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD