PART 138 - MENCARI TAHU KEBENARAN

1022 Words
"Masalah pertama udah terpecahkan, Sena itu kekasihnya Daniel. Tapi … hubungannya Daniel sama Mira apa ya?" Mario mengusap-usap rahangnya. Berpikir keras. "Apa Daniel sama Mira ada hubungannya sama penculikan Sena?" terka Mario. "Kalau Mira ikut terlibat dari kasusnya Sena, waaaahh gue ga nyangka banget." Mario menggeleng. Menepis semua pemikiran buruknya, "Engga engga. Ga mungkin. Ga mungkin Mira gitu." "Gue kenal Mira orangnya gimana." "Tapi pemilik mobil itu siapa sebenarnya?" "Haah," Mario menghela panjang dan menutup laptopnya, "Jangan sampe Dion tau soal ini." ***** Seharian ini, Dion memutuskan untuk menemani Sena saja. Tidak ingin kemana-mana. Entah perasaannya saja atau tidak, setiap kali ia pergi meninggalkan Sena. Sena selalu kembali dalam keadaan terluka. Dion jadi khawatir meninggalkan Sena sendiri. Ia ingin sekali mencari pelakunya, tapi tidak punya informasi apapun tentang sang pelaku. Dion menemani Sena belajar di kamar Sena. Mereka duduk di atas ranjang. Sena meluruskan kakinya, dan meletakan meja lipat di atasnya. Gadis itu menulis puisi. Meskipun bentuk tulisannya seadanya. Dion akui tulisan Sena belum sempurna. Mungkin jika ada yang menebak, tulisan Sena seperti anak kelas 3 SD. Dion memakluminya. Meskipun baca tulis Sena belum sempurna, tapi ia melihat kemajuan Sena sekarang. Dion teramat senang. Bukan teramat lagi, tapi benar-benar senang. Dion bersyukur, Tuhan masih memberikan Sena hidup, dan memberikannya kesempatan untuk bertanggung jawab. Setidaknya dengan begitu, Dion dapat menebus semua dosa-dosanya pada Sena. "Kamu nulis apa?" tanya Dion menatap Sena yang sibuk menyalin tulisan dari buku cetak ke buku tulis. "Puisi," jawab Sena. "Oh ya?" Sena mengangguk, masih sibuk menulis. "Puisinya siapa?" "Chairil Anwar." Dion tersenyum tipis, "Aku ga tau kamu ada buku itu." Sena berhenti menulis, menatap pria di sebelahnya, "Guru ngasih buku ini waktu Dion ga ada." "Dion mau baca tulisan Sena gak?" tawar Sena bersemangat. "Boleh." Dion meraih buku Sena, membaca syair sang legenda. Puisi itu berjudul Aku, dibuat pada tahun 1943, dimana Indonesia masih di jajah Jepang. Aku ini binatang jalang. Dari awal membaca syair, hati terasa bergetar. Kalimat itu berisi pengakuan seseorang yang ingin terbebas. Layaknya binatang jalang atau binatang liar yang menginginkan kebebasan. Dari kumpulannya terbuang. Dan seseorang yang terpinggirkan karena menentang zaman pada waktu itu. Biar peluru menembus kulitku. Aku tetap meradang menerjang. Dan ungkapan seseorang yang tidak takut melawan serdadu demi melepaskan ibu pertiwi. Luka dan bisa kubawa berlari Berlari hingga hilang pedih peri Dan aku akan lebih tidak peduli Aku mau hidup seribu tahun lagi. Dion tersenyum membaca sajak indah karya sang pujangga. "Apa kamu tau maksud puisi ini?" Sena menggeleng polos, "Emangnya apa Dion?" "Puisi ini singkatnya tentang pemberontakan seseorang yang ingin menentang penjajah. Meskipun pada akhirnya dia terbuang. Terasingkan, tersingkirkan karena tak menuruti peraturan sang koloni." "Terus?" Sena bertanya penasaran. "Banyak hal yang terjadi di zaman penjajah dulu. Dan kita bersyukur, kita hidup di era sekarang. Dimana tidur aman, bisa makan enak, sekolah lebih mudah." Sena terdiam, menyimak. "Dulu … mereka terbagi menjadi beberapa kubu. Orang yang tidak takut mati demi merdeka, orang yang memilih bersembunyi untuk menyelamatkan diri dari sang kolonia, atau yang ketiga menjadi pengkhianat bangsa sendiri. Menjadi mata-mata atau rela ikut dengan koloni. Tak memikirkan nasib negeri." "Jadi puisi itu relate banget dengan bagaimana porak-porandanya yang terjajah. Dan orang yang menentang itu menyebut dirinya binatang jalang." "Yang menginginkan kebebasan hak dan juga kemerdekaan manusiawi." "Jadi … dari semua makna puisi yang aku sebutkan tadi. Nilai pelajaran apa yang Sena ambil?" "Haa?" Sena berpikir. Memutar otaknya keras, tiba-tiba ditanya seperti itu. Dion terkekeh. Melihat ekspresi Sena yang kebingungan. "PR buat Sena." "Haa.. tapi, kan Sena-" Dion tersenyum, kemudian mengelus rambut halus Sena, "Belajar sama Mira nanti ya," ucap Dion turun dari ranjang. "Dion mau kemana?" "Kamar." ***** Dion membuka diary Death Note. Saat membuka halaman pertama, yang dilihat pertama kali adalah foto Sena bersama hiu. Bagaimana dengan foto Chintya? Foto Chintya dan barang-barang yang berhubungan dengan Chintya, Dion masukan ke kardus. Ia memutuskan untuk melupakan Chintya, dan membuka lembaran baru bersama Sena. Melupakan bukan berarti melupakan orangnya. Tapi melupakan perasaan yang pernah ada. Dion tidak bisa mencintai Sena di bawah bayang-bayang Chintya. Seperti yang Glenn bilang kita tidak bisa meletakan dua orang yang berbeda dalam satu hati. Dion membuka tulisan yang ia buat selama ini. Ia selalu menulis apapun tentang perkembangan Sena dari hari ke hari. Kamis. Tanggal 25 … Terima kasih untuk sang pencipta. Hari ini Sena berkembang jauh lebih baik … Dion melanjutkan tulisannya. Buku ini, ia harap Sena tidak pernah melihatnya. Ini akan menjadi catatan perjalanan Sena dari awal Sena amnesia hingga sekarang. Biarlah buku ini menjadi rahasia Dion. Dan untungnya saat Sena menemukan buku ini. Waktu itu Sena belum bisa membaca. Ia tidak mau Sena membaca ini. Biarlah, rahasia tetap menjadi rahasia. Rahasia antara dirinya dengan sang pencipta. ***** Drrt drrt "Sebentar ya anak-anak, ibu guru angkat telpon dulu." "Baik Bu," jawab anak-anak serempak. Mira merogoh ponselnya di saku almamater hijau. Ia pun menjauh dari papan tulis menuju pintu. Anak-anak yang ditinggal mengajar sebentar bersorak riang. Mereka asyik bercanda dan mengobrol dengan teman-temannya. "Halo," ucap Mira mengangkat panggilan. "Lu lagi dimana?" "Tumben banget nanya, Mar. Napa emang?" "Bisa ketemu gak?" "Bisa sih … tapi gue lagi ngajar. Nanti aja telpon lagi." "Pulang gue jemput ke tempat lu ya." "Emm …" Mira berpikir sebentar, "Yaudah." "Oke. Bye …" Sambungan terputus. Mira melihat ponselnya, mencari nomor seseorang. Saat ketemu. Mira mengetik cepat. Dan, jangan jemput. Beberapa detik kemudian, centang dua berubah menjadi biru. Kenapa? Aku pulang bareng temen. Ada urusan selesai kerja. Oh oke. Kabari aku kalo udah sampe rumah. Iya. Mau aku jemput gak kalo udah selesai main sama temen? Ga usah. Aku pulang sendiri aja. Oh oke. Hati-hati. Iya kamu juga. Mira menutup aplikasi w******p. Dan memasukan ponselnya ke saku almamater. "Baiklah anak-anak kita lanjut lagi ya belajarnya." "Yaaah," terdengar sorak kekecewaan dari anak-anak. "Loh, kok nadanya gitu?" Salah satu anak laki-laki berpipi gembul menjawab, "Kita lagi asyik main Bu guru." "Iya. Bu guru kita lagi main Doremi," jawab anak perempuan yang dikepang. Mira tersenyum, "Ibu guru ga ngelarang kalian main. Tapi kalau waktunya belajar, harus belajar. Kalau udah selesai belajar, boleh main sepuasanya." "Yaaaah, ibu guru …" jawab mereka bersama-sama dengan nada kecewa. "Oke baiklah, lima tambah lima berapa anak-anak?" "Sepuluh."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD