"Maaf ma, Dion-"
"Kamu juga Dion!"
Dion menunduk, membiarkan mamanya marah-marah. Dion akui ia salah. Hampir saja ia kelepasan. Mungkin kalau mamanya tidak datang kesini, mungkin saja dia dan Sena- tidak, tidak. Jangan berpikiran kotor Dion.
Jangan.
Sena harus dijaga bukan dibuka.
Dijaga sampai akad telah terucap, dijaga sampai janur kuning melintang, dijaga sampai ada kata sah berkumandang. Dan dijaga sampai cincin telah melekat di dua jari manis di depan penghulu dan para saksi.
"Bisa-bisanya kalian ngelakuin perbuatan kayak gitu, siang begini!"
Dion dan Sena menutup mata, menunggu ungkapan marah yang meledak-ledak.
"Kenapa ga malam aja?!"
"Loh?" Sontak Dion menaikan wajahnya, bingung.
"Ha?" Sena juga sama bingungnya, menaikan wajahnya menatap Diana yang berdiri di ambang pintu.
Dion dan Sena saling bertatapan bingung, memberikan kode yang berarti 'maksudnya apa' tapi Dion mengendikkan bahu yang berarti 'tidak tahu'
"Bentar-bentar, ini kayaknya ada yang aneh."
"Apanya yang aneh?" Diana melebarkan kipasnya. Kipas yang selalu ia bawa kemana-mana. Lalu mengipasi dirinya.
"Kok kata-katanya gitu, bukannya mama lagi marahin kita?" tanya Dion bingung.
"Hohoho, kata siapa? Mama ini justru mendukung. Kalian lagi gencar-gencarnya bikin cucu, kan?"
"Loh?!" ujar Sena dan Dion bersamaan.
*****
Dion membasuh wajahnya di wastafel. Setelah selesai, ia mematikan keran. Dan menatap cermin besar di depannya.
Dion menatap pantulan wajahnya yang basah. Buliran air jatuh dari ujung poni menetes ke rahangnya.
"Hampir aja hilang kendali."
*****
Dion berjalan menuju ruang makan. Di sana ada Diana dan Sena yang memindahkan makanan dari tupperware ke piring.
Dion mengeringkan wajahnya yang basah dengan handuk kecil.
"Mama beli makanan?"
Diana yang sedang menuangkan ayam rica-rica menjawab, "Engga. Di rumah banyak makanan. Jadi Mama kesini aja, sekalian nengokin mantu."
Oh iya ya, Dion baru sadar. Kan yang Diana tahu dirinya dan Sena pasangan suami isteri.
Dion salah arti tadi, ia pikir mamanya marah besar. Ternyata bukan. Ia sempat kaget juga, tiba-tiba terciduk seperti itu.
"Mama tau dari mana password apartemen Dion?" tanya Dion to the poin. Ia benar-benar penasaran soal ini. Yang tahu passwordnya, kan cuma Mira saja.
"Oh itu, hehehe. Apa sih yang ga mama tau …"
"Nanti Dion ganti passwordnya."
"Loh kok gitu?! Kan mama mau liat mantu Mama," protes Diana.
"Itu kan privasi, ma."
Drrt drrt
Dion merogoh ponselnya di celana training. Ada panggilan dari nomor tidak dikenal.
"Ma, Sen aku ngangkat telpon dulu."
"Iya," jawab Sena.
Dion berjalan menjauh, menatap ponselnya, "Nomor siapa lagi?"
"Perasaan nomor gue udah di privasiin. Kok telpon dari luar bisa masuk?"
Dion menggeleng, tak mau berpikir terlalu panjang. Ia memutuskan mengangkat panggilan.
"Halo."
Tut..!
Dion menurunkan ponselnya, bingung, "Kok dimatiin?"
"Biarin aja deh."
Dion memasukan kembali ponselnya ke saku celana, namun beberapa detik kemudian ponselnya kembali bergetar.
"Halo," angkat Dion.
Tut!
Lagi-lagi dimatikan sepihak.
"Siapa sih iseng banget."
Dan kejadian itu terjadi berulang-ulang, membuat Dion kesal sendiri. Alhasil Dion memilih untuk mematikan ponselnya saja, daripada harus meladeni nomor yang tak dikenal.
Nomor itu diprivasi.
Jadi saat orang itu menelpon yang keluar di layar Dion bacaannya nomor tidak kenal.
Alhasil, saat Dion menelpon nomor itu balik. Tidak bisa. Panggilan gagal.
"Kayaknya harus ganti nomor lagi," ujar Dion lalu memasukan ponselnya ke celana training.
*****
Daniel duduk di kursi melingkar bersama dengan dua detektif yang ia percayai. Diam-diam Daniel melancarkan aksinya meraih barang bukti lebih banyak lagi.
Barang bukti itu diletakan di tengah-tengah meja bundar.
"Kapan kita akan bergerak, tuan?" tanya sang detektif 1.
Panggil saja namanya detektif satu dan detektif dua. Karena dua detektif ini dirahasiakan identitasnya. Mereka menutup wajah dengan masker, dan juga jubah besar. Yang membedakan mereka hanyalah postur badan saja. Detektif satu berbadan tinggi, ramping, dan juga kurus. Sedangkan detektif dua punya badan yang berisi dan sedikit pendek.
"Nanti," jawab Daniel singkat.
"Nantinya kapan, tuan? Bukankah lebih cepat lebih baik?" sahut detektif dua.
"Barang bukti ini masih belum cukup untukku."
"Tapi kami sudah mencari apa yang tuan inginkan," ujar detektif satu.
"Aku masih ingin lebih. Cari yang banyak, aku ingin orang itu dapat jeratan yang berat!" jawab Daniel dengan tatapan menakutkan. Ia tersenyum miring, layaknya seekor elang yang tak memberikan ampun pada mangsanya.
Dua detektif itu berdiri, kemudian menunduk hormat.
"Kami akan mencari yang tuan minta," ucap deketif dua.
"Kita berkumpul lagi nanti malam," jawab Daniel. Mereka pun pergi dari ruang rahasia bawah tanah.
Daniel meraih barang yang dibungkus dengan plastik. Lalu membukanya.
Ia tersenyum lebar menatap seonggok barang yang akan menjerat sang pelaku.
Daniel tertawa terbahak-bahak sendirian.
"Kali ini kalian tidak akan bisa lolos, hahaha."
******
Sena duduk di ranjang yang sama dengan sang ibunda.
Sang ibunda?
Mendengar itu hati Sena terasa damai. Bukan Sena yang meminta Diana untuk mau dipanggil ibunda. Tapi Diana yang ingin.
Sena merasa diurus dengan baik. Bahkan sekarang, Diana menyisir rambutnya dengan lembut.
"Gimana hubungan kamu sama Dion?"
Sena tersenyum senang, "Baik-baik aja, Ma. Sena seneng di samping Dion terus. Dion juga baik sama Sena."
Masalah Sena masuk rumah sakit? Emm Sena tidak ingin membahas itu.
"Syukurlah Mama seneng dengernya."
Diana terkekeh senang, melanjutkan menyisir rambut Sena yang benar-benar selembut sutra.
"Mama kamu orang mana?"
Sena mendadak murung.
"Mama belum pernah ketemu. Kalau ada waktu, kamu temuin mama sama orang tua kamu ya. Kita makan bareng."
"Ma."
"Ya?"
"Sena ga punya ibu."
Deng..!
Diana mendadak berhenti. Suasana seketika menjadi begitu hening.
"Sena ga tau siapa orang tua Sena."
Diana menunduk, hati kecilnya mengernyit perih, "Maaf … mama- menyinggung kamu ya?"
Senyuman Sena kembali, "Engga kok," Sena menggeleng cepat, "Mama ga nyinggung."
"Jadi yang ngerawat kamu selama ini siapa?"
"Dion," jawab Sena dengan senyuman mengembang.
*****
Tuk tuk tuk
"Masuk," jawab Dion yang sedang menyelesaikan tugas kuliahnya.
Cklek..!
"Dion."
Dion berhenti mengetik, kemudian menutup laptopnya. Ia memutar kursi belajarnya, menghadap ke ambang pintu, "Kenapa ma?"
"Sena itu siapa?"
Dion mengernyit, tiba-tiba ditanya seperti itu, "Ha? Maksudnya ma?"
"Coba jelasin ke mama Sena itu siapa? Asal-usulnya dari mana?"
Dion membulatkan mata terkejut, "Mama ngomong apa sih?"
Apa ini pertanda Diana telah mengetahui rahasia terbesarnya.
Rahasia soal Sena.
"Kamu tinggal jawab aja."
"Kok mama jadi memperhitungkan asal usul Sena sih?"
"Kamu tinggal jawab Dion," Diana menghilangkan lengannya di depan d**a.
"Sena siapa sebenarnya?!"
Dion menelan ludahnya susah payah. Ia seperti ditekan sekarang.