PART 49 - TANPA PAMIT

1028 Words
Dion memarkirkan mobilnya di parkiran mahasiswa. Ia sampai di kampus pukul 07.20 menit. Sangat pagi memang, tapi ia harus datang lebih awal untuk menyiapkan semuanya. Apalagi ia pemimpin BEM. Dion keluar dari mobil, dan menutup pintunya cepat. Terlihat di sekeliling kampus, masih sangat kosong. Tidak ada satupun mobil yang terparkir di sini, kecuali miliknya. Ya mungkin saja yang ada di kampus hanya dirinya, satpam, dan petugas kebersihan yang selalu bersih-bersih setiap pagi sebelum kegiatan kampus di mulai. Dion berlari memutar, membuka pintu mobil satunya lagi. Kursi yang biasa Sena duduki, ah mengingat nama itu membuat Dion rindu. Apakah dia kuat meninggalkan Sena selama itu? Dion mengeluarkan tas jinjing besar yang ia letakan di kursi Sena. Anggap saja itu kursi Sena, karena hanya Sena, wanita yang boleh menempati itu. Dan oh ya- ibunya. Jadi hanya 2 wanita yang boleh. "Aah," ringis Dion meletakan tas itu di jalan. Tas itu memang lumayan berat. Ia mengisi banyak barang disana. Bam..! Dion menutup pintu mobil keras. "Yah, kita ga ketemu lagi Sakura-" ucap Dion sedih mengelus-elus mobil sport kesayangannya yang bernama Sakura. Jangan tanya kenapa dinamakan Sakura, karena dulu ia pernah jomblo, dan Sakura adalah pacar yang setia menemaninya kemanapun. Ya, daripada mobilnya dinamai Asep, Suparman, Malih, Bambang, Hartono. "Nanti setelah 12 hari Dion pasti pulang, tenang aja kok tenang … muach." Dion mengecup mobil itu penuh cinta dengan rasa rindu yang akan menumpuk selama 12 hari tak jumpa. "Mobil kok dicium? Jomblo ya," ucap seseorang di belakangnya yang tiba-tiba sok asik. Tak ada hujan, tak ada badai, tiba-tiba muncul kayak jelangkung. Dion memutar badannya, menatap sosok wanita yang pernah ia temui, namun ia lupa dimana dan kapan. "Siapa ya?" tanya Dion menatap wanita yang memakai kupluk ungu dan tas ransel kulit warna cokelat. "Ih kak Dion lupa." Dion menaikan satu alisnya, "Emang siapa?" "Yaudah deh, biar kak Dion ga lupa kita kenalan lagi," gadis itu mengulurkan tangannya, mengajak Dion berjabat tangan, "Aku Chika." "Chika?" Gadis itu mengangguk, "Iya … waktu itu kita pernah lari-larian bareng dikejar satpam killer." Dion memutar otaknya, menghubungkan sel-sel sarafnya menjadi satu, "Oh-" ucap Dion teringat, "Chika yang itu. Iya-iya gue inget," ucapnya mengangguk-angguk. "Anak FMIPA kan?" tanya Dion memastikan. "Iya bener, kak Dion anak kedokteran itu, kan?" Dion mengangguk, "Iya." "By the way, gue Dion," ucap Dion membalas jabat tangan itu. "Chika." Mereka melepaskan jabat tangan, dan saling membalas senyum. Ya, entah mungkin takdir atau bukan, mereka dipertemukan lagi. ***** "Kalau gue boleh tau, lu ngapain pagi-pagi disini? Emang jadwal masuk anak FMIPA sepagi ini ya?" tanya Dion. Mereka berjalan beriringan di koridor kampus. "Engga, kan aku ikut kegiatan kakak." "Ha? Ikut? Emang lu anggota BEM ya? Kok ga pernah liat?" "Emang yang harus ikut anggota BEM aja ya?" tanya Chika. "Ya gapapa si kalau mau ikut juga. Asal jangan ngerepotin aja," ucap Dion bercanda. "Hahaha, kak Dion lucu deh." "Aku emang udah lucu dari lahir. Sudah teruji secara klinis dan dermatologis." "Yeee … pede banget," ucap Chika menyunggingkan senyum manisnya. "Hidup ini emang harus pede," ucap Dion tersenyum kecil, "By the way, lu kenapa mau ikut kegiatan ini?" "Emm apa ya … kayaknya seru kalau anak fisika juga ikut ngajar pendidikan di desa terpencil." "Emm yah … bener. Ilmu fisika emang penting juga buat kehidupan." "Tenang aja, selama disana aku ga ngerepotin ka Dion kok. Beneran deh. Jadi seksi dokumentasi atau seksi konsumsi disana aku juga mau." Kring kring…! Suara alarm mengusik ketenangan gadis itu. Puluhan kali Sena mematikan alarm, Rasanya ia benar-benar mengantuk, menangis semalaman tak berhenti. Bahkan kelopak mata bawahnya membengkak. Sena memutuskan duduk bersandar di bahu ranjang. Dan mematikan alarmnya yang berkali-kali berdering. Sena menghela nafas panjang. Ini pertama kalinya ia bertengkar dengan Dion, dan rasanya sesakit ini. Entahlah, apakah ia salah mendiamkan Dion seharian, tapi ia benar-benar tak bisa mentolerir sikap Dion yang langsung memukul Bryan begitu saja. "Maaf Dion-" ucap Sena lirih. Ia mengambil keputusan yang sembrono, memutuskan Dion begitu saja. "Sena ga bela Bryan, Sena cuma ga suka Dion mukul orang." Sena menghapus air matanya yang mengalir lagi, "Hiks hiks." "Sena ga mau putus, hiks hiks." Mengingat itu membuat hatinya sakit lagi. Sena mengusap-usap air matanya yang membasahi pipi. Sena memutuskan turun dari ranjang, dan melangkah menuju pintu. Ia keluar dari kamarnya dengan perasaan terguncang. Ia benar-benar tidak mau pisah. Sena berhenti di depan kamar Dion. Ia menghapus air matanya berkali-kali. "Kenapa Sena se-cengeng ini," ucap Sena dengan suara serak. Sena menarik nafas panjang, dan menghembuskanya keras, lalu mengetuk pintu, "Dion ..." "Dion ini Sena, buka pintunya," ucap Sena dengan suara serak, tak makan dan minum dari kemarin. Menangis seharian. "Dion ..." Tak ada jawaban. Sena menghapus air matanya di pipi, dan membuka pintu perlahan-lahan. "Dion," Sena melangkah masuk, namun ruangan itu kosong. "Dion kemana?" gumam gadis itu. Sena memutuskan keluar dari kamar, dan menutup pintunya, "Apa Dion di dapur?" Sena melangkahkan kakinya menuju dapur yang tidak terlalu jauh di kamar. Belum sampai di dapur, suara orang mencuci piring di wastafel, terdengar nyaring di telinganya. Sena menyunggingkan senyum, "Dion!" ucapnya lalu berlari ke dapur. Namun pemandangan di depannya, membuat senyum Sena memudar. "Kok bukan Dion ..." gumam Sena pelan menatap wanita yang membelakanginya. Orang itu memutar tubuhnya, membuat Sena terkejut, "Gu-guru Mira." Mira tersenyum lebar, "Eh Sena kamu udah bangun?" "Kok, guru di sini?" "Iya, kan selama 12 hari aku tinggal di sini." "Ting-tinggal disini?" Sena harap bukan pernyataan mengejutkan yang ia terima. Mira mengangguk senyum, "Iya ... Dion nyuruh aku tinggal disini?" "Nyu-nyuruh?" "Iya ... Emangnya Dion belum bilang ke kamu? Dia, kan ada kegiatan di luar kota selama 12 hari." JEGER...! Rasanya Sena seperti disambar petir di siang bolong. Sena berpegangan pada dinding, mendadak kakinya lemas. "Kenapa Dion ninggalin Sena ga bilang-bilang?" Sena menutup wajahnya menangis, ia merosot di lantai. Menangis sejadi-jadinya. Ia tidak pernah mau ditinggal Dion. "Ya ampun Sena," ucap Mira mendadak khawatir melihat kondisi Sena. Mira membasuh cepat tangannya di bawah wastafel, dan meninggalkan cucian piring. "Sena kamu gapapa, kan?" Mira berjongkok menyamai tinggi gadis itu. "Hiks hiks ... kenapa Dion ninggalin Sena saat kita berantem?" Sena menangis menutupi wajahnya. Mira menghela nafas, lalu meraih gadis itu ke pelukannya, "Aku kira kamu tahu Dion pergi," ucap Mira mengusap punggung gadis itu menenangkannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD