"Ga! Sena ga mau!" Sena terkesiap. Gadis itu beranjak dari tempat duduknya. Lalu berjalan mundur menghindari Chika.
Chika tersenyum miring, lalu mengeluarkan gunting kecil dari balik saku celana jeans. Dari awal Sena dan Dion menginjakan kaki di kampus ini, Chika mengawasi mereka berdua di balik dinding. Ia mengikuti kemana Sena dan Dion pergi, termasuk ke perpustakaan. Saat Dion dan Sena lengah, ia bersembunyi di balik tirai. Dan saat mereka keluar, Chika mengikuti mereka, layaknya penguntit.
Dan saat Dion meninggalkan Sena sendirian. Disitulah kesempatan Chika beraksi.
"Ga mau?" Chika mendesis, "Cih."
Chika melangkah panjang dengan sebuah gunting di tangannya.
Sena meneguk ludah, lalu beringsut mundur.
"Udah cukup gue kalah dari lo, Dav."
"Dimulai dari Daniel, perhatian orang-orang, kehidupan gue, kebahagiaan gue. Semua hal yang gue punya lu rusak."
Chika berjalan pelan, mengintimidasi Sena.
"Lo boleh ambil semua yang gue punya, kecuali Daniel. Daniel itu punya gue."
"Dan bisa-bisanya lo ambil dia dari gue.
Sena terus mundur hingga punggungnya terbentur dinding. Tubuhnya gemetaran.
"Gue mau ambil semuanya, Dav."
"Dan sekarang waktunya- gue ambil punya gue."
Chika mengeratkan genggamannya di gagang gunting. Lalu berjalan cepat menuju Sena yang sudah terpojok.
"Ja-jangan," ucap Sena dengan suara bergetar. Ia ingin berlari tapi Chika mencegatnya.
Chika mempercepat langkahnya. Satu meter, setengah meter, seperempat meter, tiga langkah, dua langkah. Tatapan Chika berubah tajam seperti elang yang akan memangsa hidup-hidup.
Sena ingin berteriak, tapi suaranya tertahan.
Chika yang telah berdiri di hadapan Davina, menatap gadis itu tajam.
"Selamat tinggal Dav."
Chika melayangkan gunting itu tinggi-tinggi.
Prak..!
Stetoskop yang menggantung di leher Dion tiba-tiba saja terjatuh. Dion yang sedang mempresentasikan prakteknya di depan kelas, terhenti. Padahal stetoskop itu belum Dion pakai sama sekali, dan juga ia menggantungkannya erat di leher, bagaimana bisa jatuh.
"Maaf," ucap Dion lalu berjongkok memungut stetoskopnya.
Dion meraih stetoskopnya yang tiba-tiba patah. Salah satu bulatan stetoskopnya copot.
"Kok bisa patah?" Kening Dion berkerut, bingung, "Perasaan jatuhnya pelan."
"Aww," Dion memegang jantungnya yang tiba-tiba berdebar kencang dan sesak.
"Kenapa nih? Kok aneh gini? perasaan tiba-tiba ga enak."
Dion mendadak gelisah dan juga cemas. Padahal tadi ia baik-baik saja.
"Sena?"
Nama itu keluar sendiri dari mulut Dion. Otaknya seperti terhubung dengan gadis yang ia tinggal di luar sendirian.
"Sena?" Dion mendadak panik. Ia buru-buru berdiri, dan memasukan stetoskopnya di saku almamater.
"Sena!" gumam Dion.
"Dion lanjutkan praktek kamu," ucap sang dosen yang bersandar di dinding dekat pintu.
"Maaf pak. Saya ada urusan," ujar Dion menunduk hormat, kemudian berlari menuju pintu.
"Kalau kamu keluar dari ruang ini, saya tidak akan pernah mengizinkan kamu ikut pelajaran saya lagi!"
Namun Dion tak peduli. Gadis itu lebih penting. Seharian ini hatinya tidak tenang, dan juga tidak fokus.
"Dion!"
Kemarahan dosen terdengar menggelegar.
"Sena!"
Dion membuka pintu, namun kosong. Tidak ada Sena di luar. Dion yakin Sena tadi disini. Sena berjanji untuk tidak pergi kemana-mana. Tapi gadis itu kemana?
Dengan langkah panik, Dion keluar dari kelas, dan berjalan menuju kursi tunggu. Sungguh perasannya cemas tidak karuan.
"Itu ..." Dion menatap buku yang jatuh tertelungkup tepat di depan kursi.
Dion berjongkok, memungut buku tersebut dan membacanya.
Buku dongeng Putri Duyung.
"Sena?!"
"Pasti ada yang ga beres ..." Dion bangun sambil membawa buku dongeng milik Sena. Ia berlarian di sepanjang koridor mencari gadis itu.
"Sena!"
*****
"Hah Hah Hah."
Sena mengatur nafasnya yang memburu. Ia menatap pintu tua yang tertutup rapat. Sena menoleh ke belakang, tidak ada siapa-siapa. Dengan langkah gontai Sena masuk ke dalam ruangan tua yang gelap itu.
Sena buru-buru masuk, dan menutup pintunya.
Sesak.
Gelap.
Berdebu.
Tiga kata yang bisa mendeskripsikan ruangan yang dijadikan gudang tua. Sena terus mencari tempat persembunyian yang aman. Sampai akhirnya ia menemukan sebuah lemari tua yang penuh debu berada di antara timbunan kardus-kardus bekas.
Sena membuka pintu lemari yang koyak tersebut. Kemudian masuk, dan menutup pintunya buru-buru.
"Dion."
Sena gemetar ketakutan. Setiap kali ia bertemu dengan Chika, nyawanya selalu terancam.
"Sena takut ..." Sena ingin menangis, tapi jika ia menangis suaranya akan terdengar jelas. Sena membekap mulutnya erat-erat.
Sena kembali mengingat kejadian Chika menyerangnya.
"You deserve it!" ucap Chika menggeram, kemudian mengayunkan gunting itu ke bahu Sena.
Prang..!
Gunting itu terjatuh di lantai.
Chika menatap guntingnya yang terkapar di lantai, "Lo …" chika menatap Sena tajam.
"Berani-beraninya-" Chika menggertakan gigi marah. Setelah Sena dengan cepat menepis guntingnya.
Punggung tangan Sena berdarah, terkena goresan ujung gunting.
Bruak…!
Sena mendorong tubuh Chika hingga gadis itu mundur beberapa langkah. Merasa ada kesempatan, Sena lari sekuat tenaga. Kabur dari kejaran Chika.
"Brengs*k," ucap Chika geram berlari mengejar Sena. Ia tidak akan membuat Sena lolos kali ini.
Sena berlari sekuat tenaga, kemanapun asalkan tidak tertangkap.
"Sesak ..." bisik Sena pelan. Rasanya ia kehabisan nafas disini.
Sena mendekatkan wajahnya di celah-celah pintu lemari. Melihat keadaan di luar. Aman.
Ia berharap Chika tidak menemukannya
Tetesan darah berjatuhan di atas sepatu.
Tik
Tik
Sena membungkam mulutnya, dan menutup luka dengan tangannya, menghentikan darah yang terus menetes.
Kriett...!
Terdengar suara pintu kayu berderik.
"Gue tau lo disini kan Dav?"
Sena membulatkan matanya terkejut, lalu kembali membungkam mulutnya. Ia menatap keluar melalui celah pintu lemari. Seseorang masuk ke gudang.
"Mau main-main ya?"
"Oke ..."
"Kita main-main dulu."
"Hah, dulu kita main petak umpet, dan sekarang kita main petak umpet lagi."
Chika tersenyum menyeramkan.
Chika berjalan sangat pelan, mengitari gudang tua yang gelap. Ia berjalan mengelilingi setiap sudut demi sudut.
"Hahaha," Chika tertawa menyeramkan.
Sena merapatkan tubuhnya ke pojok lemari.
"Ya Allah tolong Sena. Sena mohon ..."
"Emm ... pernah denger ilmu tentang ayam? Ayam akan lari bila dikejar, tapi jika memberikan ayam itu makanan, ayam itu akan mendekat dengan sendirinya."
"Hah," Chika menghela nafas lega.
"Ilmu yang bermanfaat."
Chika menurunkan kursi tua yang berada di atas meja, lalu meletakkannya di dekat pintu.
"Gue akan tunggu disini, sampai lu keluar. Bukankah ilmu ayam begitu?"
Chika duduk di kursi menghadap lurus ke arah lemari. Ia yakin Sena ada disitu karena-
Tetesan darah Sena mengarah lurus ke lemari.
Tidak ada pilihan yang menguntungkan bagi Sena. Jika Sena tidak keluar, ia akan kehilangan nafas di lemari. Namun jika Sena keluar, Sena tidak bisa menjamin bisa kabur. Nafasnya sudah pendek, dan sesak.
Keringat mengucur deras di dahi Sena.
"Dion ... tolong Sena."