Dion mengacak-acak rambutnya frustasi. 30 menit ia berkeliling mencari Sena, tapi gadis itu tidak terlihat juga. Dion berkeliling sepanjang koridor, pekarangan belakang, tempat parkir, kantin, dan perpustakaan tempat mereka terakhir kali bersama, tapi sama saja, hasilnya nihil.
"Sena, kamu dimana sih?"
"Dion beg*, bisa-bisanya ngelakuin kesalahan yang kedua kali. Sekarang Sena hilang harus cari kemana lagi coba," rutuk Dion frustasi.
Dion mondar-mandir sambil mengigit ujung jempolnya. Inilah yang Dion takutkan jika meninggalkan Sena tanpa pengawasannya. Ia takut Sena berjalan kemana-mana dan tersasar tak tau jalan pulang, tapi jika Dion tak menuruti kemauan Sena. Sena akan terus membujuknya mengeluarkan tatapan puppy eyes yang membuat hati Dion luluh sampai ke dasar laut. Dan sekarang, Dion jadi pusing sendiri, kelabakan mencari Sena yang hilang entah kemana.
Kelabakan = kebingungan.
Dion menatap sekitarnya, barangkali Sena terlihat. Namun tetap saja. Sena tidak ada.
Dion berlari memasuki kantin. Ia menghampiri salah satu stand makanan yang dijaga oleh ibu-ibu paruh baya yang sedang sibuk mengelap piring.
"Mau makan apa den?" tanya ibu penjaga kantin ramah.
"Bu ... boleh saya minta tolong."
Ibu kantin mengernyitkan dahi, menatap raut wajah Dion yang terlihat gusar.
"Minta tolong apa, den?"
"Boleh saya pinjam ponsel bu."
Chika menaikan pergelangan tangannya, menatap jam tangan yang terus berputar. Detik demi detik, menit demi menit telah berlalu. Tak ada tanda-tanda Sena keluar dari lemari. Gadis itu masih bertahan di lemari yang pengap minim oksigen itu.
Chika terus menunggu sampai Sena menyerahkan diri.
"Oh, udah 30 menit ya. Panjang juga ya nafas lu, Dav."
Chika terkekeh puas.
"Kita liat seberapa lama lu bisa bertahan di sana."
Chika merenggangkan tubuhnya yang pegal. Seharian ini menguntit Sena dan Dion, dan berakhir duduk di atas kursi menatap lemari tanpa kedip. Emh- menunggu Sena keluar membuat ototnya pegal-pegal.
"Ah ... menunggu itu melelahkan juga."
Sena meletakan tangannya di dinding lemari, menahan tubuhnya yang hampir ambruk. Keringat mengucur deras, dan juga nafasnya mulai menipis. 30 menit di dalam ruangan gelap, sempit, dan minim oksigen. Entah sampai berapa lama Sena akan tetap disini. Dan entah sampai kapan juga Sena bisa bertahan.
Dan bisakah ia selamat menghindari Chika yang terus mengincar nyawanya.
"Hah Hah Hah."
Nafas Sena tersengal-sengal. Panas, gerah, dan juga sesak.
"Di- on," ucap Sena lemah.
"Tolong Sen ..."
It's a song for broken hearted.
Lagu Bon Jovi tiba-tiba berputar keras, membuat Sena benar-benar panik. Sena meraih ponselnya yang berada di saku celana. Dengan tangan yang lemas, dan nafas di ujung tanduk Sena berusaha mematikan nada dering yang terus berbunyi. Berharap suaranya tak terdengar ke luar.
Sena menatap layar yang terpampang nomor tak dikenal.
Dengan tangan gemetar, Sena berusaha menekan apapun. Ia masih belum mengerti cara memakai ponsel. Niatnya Sena ingin mematikan ponsel, tapi tanpa sengaja panggilan itu terangkat.
"Halo, halo Sena ... kamu dimana?"
"Sena!"
Brak..!
Suara gebrakan kencang membuat pintu lemari terbuka. Tangan Sena gemetar, dan juga shock. Ponsel itu tiba-tiba terlepas dari tangannya, terbanting ke lantai.
"Sena! Jawab aku Sen!"
"Sena!"
"Halo!"
"Halo!"
"Sena jawab Dion ... jangan bikin Dion panik."
"Harusnya gue biarin aja lo mati disini. Tapi sayang ... nunggu itu ga asyik ternyata."
Chika mencengkeram kuat rambut Sena membuat gadis itu meringis kesakitan. Tapi Chika tak peduli, ia menarik rambut Sena tanpa ampun. Hingga helaian rambut Sena banyak yang berjatuhan.
Sena yang terjatuh di lantai, diseret-seret seperti karung.
Rasanya rambut Sena ingin copot.
"Sakit ..."
"Sena Sena!"
"Sena denger Dion kan?"
Dion mendengarkan jeritan Sena dari balik telepon. Gadis itu menangis, menjerit, dan memohon ampun pada seseorang.
Chika tidak tahu bahwa ponsel itu tersambung dengan panggilan Dion. Sena tidak menekan loudspeaker.
Chika menyeret Sena sekuat tenaga, dan menghempaskan tubuh ringkih gadis itu hingga punggungnya membentur dinding.
Kemarahan Chika sudah di ambang batas.
"YOU MUST DIE."
Suara teriakan Chika menggelar sampai membuat lantai sedikit bergetar. Chika meraih kursi kayu yang koyak, dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Ia mengarahkan kursi itu ke arah Sena yang lemas tak berdaya.
"YOU MUST DIE!"
BRUAK..!
Dion berlari di sepanjang koridor. Tujuannya sekarang adalah gudang tua. Setelah mendengar jeritan Sena yang memilukan. Dion menghubungkan nomor ponselnya ke GPS. Mencari keberadaan Sena. Dan setelah diaktifkan, ternyata Sena masih berada dalam kawasan kampus.
Dion yakin Sena berada di gudang tua. Karena ia belum sempat mengecek kesana. Lagipula gudang itu terkenal menyeramkan. Tak ada yang berani menyentuhnya.
Gudang yang telah lama tak pernah tersentuh tangan manusia.
Gudang yang terlantar puluhan tahun, dengan banyak rumor cerita mistis di sana.
Tentu saja, bagaimana tidak. Gudang yang tua, tak terurus, pasti sudah banyak penunggunya. Setidaknya menurut kepercayaan Indonesia. Jika ada bangunan yang tidak pernah ditempati, tak pernah terurus, dan dibiarkan terbengkalai akan menjadi sarang hantu.
Tak ada satupun yang berani menginjakan kaki di sana. Dan Dion menjadi salah satu orang yang harus berurusan dengan gudang tua kampus.
Sena duduk bersandar di dinding, dengan menekuk lutut.
Ia menyembunyikan wajahnya di balik lutut menunggu bantingan kursi dari Chika.
Namun sedetik, dua detik, kursi itu tak mengenai tubuhnya. Padahal suara bantingan kursi itu memekakkan telinga.
Sena mengangkat wajahnya. Kursi itu berakhir di lantai, dengan kondisi hancur. Saking kerasnya bantingan Chika.
Sena menatap Chika yang mengeluarkan ekspresi aneh.
Chika menggeleng tak percaya.
"Ga ... ga mungkin. Tadi, tadi, tad, tad ... gue, kan mau lempar kursinya. Tap-"
Chika yakin ia melemparkan kursinya ke kepala Sena. Tapi kenapa malah terlemparnya ke lantai.
"Ga ... gak mungkin."
Chika masih tak percaya. Lalu mundur perlahan-lahan, tak bisa menerima kenyataan. Apakah ia sedang berhalusinasi.
"Gue ga gila, kan? Gue- gue-"
"Engga ... gue ga gila."
"Ga gila!"
"Ga mungkin."
"GA MUNGKIN."
Chika yang frustasi, berlari keluar. Ia masih tak percaya kejadian tadi.
Chika keluar dengan bibir membiru dan tangan gemetar, meninggalkan Sena sendirian.
"Chika."
Dion menghentikan Chika yang berpapasan dengannya.
"Chika, lu liat-"
Namun belum selesai Dion bertanya, Chika berjalan tak menjawab apapun.
Ia mengabaikan Dion dengan ekspresi seperti orang linglung.
Dion mengernyit, "Chika kenapa?" ucap Dion sedikit aneh.
"Hah ... ga usah dipikirin. Yang penting sekarang cari Sena."
Dion melanjutkan perjalanannya, mencari Sena menuju gudang tua.
Dion berlari hingga sampai di depan pintu yang ternganga lebar.
"Sena!"
Sena yang sedang menyembunyikan wajahnya di atas lutut, mengangkat wajahnya, "Dion."
Sena tersenyum senang. Ia mencoba berdiri, namun tubuhnya limbung. Ia kembali terjatuh.
"Diooon," panggil Sena keras.
"Sena."
Dion bernafas lega, mendengar suara gadisnya dari dalam gudang. Syukurlah gadis itu akhirnya ketemu.