PART 124 - MUNGKIN

1027 Words
selesai revisi "Buka ikatan aku, Chik," pinta Dion memburu. Ia menatap pintu yang masih tersegel rapat. Ia harus cepat-cepat keluar dari sini sebelum semuanya berakhir. Berakhir di tangan para penjahat itu. Chika yang sedang melepaskan ikatan di pahanya mengangguk, "Iya." Chika mempercepat gerakannya membuka tali, namun setelah beberapa menit mencoba tidak mau terlepas. "Kak talinya keras." Mata Dion membulat, jujur ia panik sekarang. Tapi ia harus tetap tenang dan berpikir rasional. Dion memutar otaknya. "Berpikir, berpikir," ujar Dion dalam hatinya. Sampai akhirnya sebuah ide terlintas. "Chik, kamu buka ikatan aku dulu." "Ikatan di paha kamu ga bisa dilepas pake tangan kosong harus digunting. Itu diikat mati." "Terus gimana kak?" ujar Chika panik. "Kamu nunduk, lepasin ikatan di tangan aku." "Oke," jawab Chika mengangguk. Ia mengikuti titah Dion. Gadis itu menunduk, lebih tepatnya membungkuk. Berusaha melepaskan tali tambang yang terikat di tangan Dion. "Cepet Chik … kita ga punya banyak waktu." "Iya kak, aku berusaha cepet." Chika membuka cepat ikatan di tangan Dion, sampai ikatan itu terlepas. Akhirnya Dion bisa bernafas lega setelah tangannya terbebas. Dion yang masih dalam posisi meringkuk, berusaha melepaskan ikatan di pahanya secepat mungkin. Setelah semuanya beres. Dion mendekati Chika. Membuka tali tambang yang melilit pauha Chika. "Kak …" "Apa?" sahut Dion yang sibuk membuka ikatan. "Aku …" "Selesai, ayo kita keluar." Belum sempat Chika mengatakan sesuatu, tali itu telah terlepas dari pahanya. Dion berdiri, berjalan mendahului Chika. "Kak." Chika mengejar Dion yang berusaha meraih pintu. Namun saat Dion hendak membuka pintu. Dion merasa ada lengan yang melingkar di pinggangnya. Chika memeluknya dari belakang. Sontak saja, itu menjadi sebuah kejutan bagi Dion,"Chik," protes Dion terkejut. Ia yang tadinya ingin membuka pintu, malah tidak jadi. "Kak … aku cinta kakak." "Terus kenapa?" "Apa kakak ga bisa balas perasaan aku sedikit aja." Dion tak menjawab, ia mencoba melepaskan tangan Chika yang melingkar di pinggangnya. "Aku ga bakalan lepasin kakak, sebelum kakak jawab iya." "Chik kita ga bisa kayak gini." "Kenapa?" "Aku udah punya seseorang." Chika mengeratkan pelukannya, menyandarkan pipi mulusnya di punggung Dion, "Tapi aku juga pantes kok sama kakak. Kakak ganteng, dan aku cantik. Kita pacaran di belakang juga pasangan kakak ga akan tau." Jujur. Dion marah saat Chika mengatakan seperti itu. Dion melepas paksa tangan Chika. Dion berbalik menatap gadis itu, "Kamu cari aja cowok lain." Dion tak peduli lagi. Ia berbalik meninggalkan Chika. Namun lagi-lagi omongan Chika menghentikannya. "Aku tau kakak sebenarnya juga suka sama aku, kan? Buktinya kakak bela-belain kesini buat nyelametin aku." Dion mengepalkan tangannya, menahan amarah, "Aku kesini bukan berarti suka, jangan berharap lebih." Dion melanjutkan perjalanannya. Kali ini ia tidak peduli lagi dengan apapun omongan Chika. Dion membuka pintu lebar-lebar, namun belum sempat ia keluar, pintu itu didorong Chika hingga tertutup kembali. "Chik, kamu apa-apaan-" Dan kejadian selanjutnya adalah kejadian yang mungkin akan Dion sesali seumur hidup. "Gila kamu, Chik …" ucap Dion memandang wanita itu marah. Setelah apa yang Chika lakukan di luar dugaannya. Dion keluar dari ruangan itu dengan perasaan campur aduk. Marah, kesal, dan juga sedih. Dion meninggalkan Chika sendirian di sana. "Sial." Chika merutuk sebal, menatap Dion yang sama sekali tak tertarik padanya. "Kenapa sih semua orang ngejar-ngejar Davina? Ga Daniel, ga Dion. Apa si bagusnya cewek miskin itu." Chika menggigit ujung jempolnya, "Davina ga boleh bahagia." "Ga boleh." "Dia harus merasakan apa yang gue rasakan." ***** "Lepasin Sena, lepasin Sena." Tak terhitung berapa kali Sena menjerit dan menangis ketakutan, semuanya terjadi begitu cepat. Ia diculik dan diasingkan ke suatu tempat. Brak..! Sena didorong, hingga terjatuh di atas kursi. "Tolong jangan sakitin Sena …" ucap Sena dengan air mata berlinang. "Sena salah apa sama kalian?" pinta gadis itu memohon menatap dua orang pria di depannya. "DIAM." Bentakan itu membuat tubuh Sena gemetaran. Seumur-umur Dion tidak pernah membentak dirinya. Namun kenapa ia dibentak oleh orang lain. Detik berikutnya ia merasakan tangan dan kakinya diborgol. Besi borgol yang dingin itu menyentuh kulit hangatnya. "Sena mau diapain?" ucap Sena dengan mata sembab. Tapi percuma saja, kedua pria itu tidak pernah mau menjawab. Mereka pun memasangkan sebuah penutup kepala di kepala Sena. Penutup itu terbuat dari besi baja. Yang tersambung dengan kabel-kabel listrik tegangan tinggi. Sena disekap dan diborgol di atas kursi listrik. Yang dimana jika dinyalakan, listrik itu akan menyentrum otaknya secara langsung. ***** Dion menekan pedal gas-nya dengan kecepatan tinggi. Mobil sport milik Dion melaju kencang di jalan perkomplekan sepi. Tujuannya saat ini adalah rumah sakit. "Sena, tunggu aku." Jujur saja, perasaan Dion daritadi tidak enak. Dion semakin mengencangkan kecepatannya hingga 120 km/jam. ***** Drrrt drrt.. Ponsel dari salah satu penjahat itu berdering. Ponsel milik si A. "Gue keluar dulu angkat telpon." Si B hanya diam saja, tak menjawab. Dan menatap temannya yang menghilang dari balik pintu. Bam…! Setelah pintu itu tertutup. Si B berjalan mendekati Sena yang ketakutan menatapnya. Si B berhenti di depan Sena, dan membungkuk menyejajarkan wajahnya dengan wajah Sena. Ia dapat melihat raut wajah Sena yang begitu ketakutan. "Ja-jang-jangan …" Sena menggeleng cepat. "Cantik," ucapnya singkat. Ia memandang wajah secantik Dewi Yunani. Tubuh Sena gemetar merasakan pipinya di elus-elus oleh pria itu. Dari mata kemudian turun ke pipi kemudian berhenti di bibir. "Jangan …" pinta Sena memohon. Sementara si A berjalan sedikit menjauh dari pintu. Mengangkat sebuah telpon penting. "Halo …" "Udah lu urus cewe si*lan itu?" "Udah tenang aja. Dia udah dibawa ke tempat yang udah kita sepakati kemarin." "Tunggu sana…" "Oke." Tut! Pria itu mematikan ponselnya. Di balik masker hitamnya, diam-diam ia tersenyum senang. Tersenyum karena sebentar lagi, ia akan menjadi miliarder. ***** "Dok, calon istri saya mana?" "Loh, bukannya dia udah sama kamu? Dia udah pulang dari 4 jam yang lalu. Apa kalian ga ketemu?" Dion mengacak-acak rambutnya frustasi. Sena hilang lagi. "Sena, kamu dimana?" Dion menyetir mobilnya dalam keadaan kacau dan berantakan. Ia berkeliling di daerah sekitaran rumah sakit, berharap gadis itu tidak jauh dari sini. "Sena …" ringis Dion dengan raut wajah sedih dan begitu kehilangan. "Aku bodoh banget … ngejagain kamu aja aku ga bisa." Dion menyapu sudut matanya yang berair. Kalau saja ia tidak menghampiri Chika. Mungkin, ia tidak kehilangan Sena. Kalau saja ia tidak menghampiri Chika. Mungkin saja kejadian itu tidak pernah terjadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD