PART 125 - MEMBAWA KABUR MARIO

1054 Words
selesai revisi "Hemhh," Mira menghela nafas kasar, menatap Mario yang masih setia memejamkan mata di atas bangsal. "Mar, bangun dong. Lu tega banget ninggalin gue sendiri," Mira meraih tangan Mario yang sedikit hangat. "Lu ga kangen sama gue?" "Musuh abadi lo yang paling cantik." "Lu beneran ga kangen, Mar?" "Gue janji deh, ga bakal bikin lu jengkel terus. Itu gue janjinya kalo lagi mood ya, kalo lagi ga mood, ga tau deh. Ga janji kayaknya," ucap Mira plin-plan. "Soalnya kan lu nyebelin." "Tapi pas lu lagi kek gini hati gue jadi amburadul anjir, kayak baju ga pernah disetrika. Kayak sendal kehilangan pasangannya, kayak koyo ketabur pasir, kayak …" tiba-tiba otak Mira pending, "Kayak apa lagi ya?" "Ya … pokoknya kayak gitu dah." "Mar bangun dong. Jangan tidur mulu elah … Bangun dong, kita bisa berdiskusi tentang bisnis lilin lo itu. Gue jadi babinya dah, serius. Tapi kalo gue jadi babi, lilinnya jangan lu tiup yak. Jangan ambil duitnya doang, gue nya digebuk massa." Mira kembali menghela nafas. Lagi-lagi ia seperti berbicara dengan angin. Berjam-jam ia menunggu Mario di ruang ICU, tapi pria itu belum sadar juga. Kata dokter nanti Mario akan sadar, tapi kapan. Sungguh, Mira menantikan Mario siuman. Mira benar-benar merasa bersalah akan kelakuan Daniel tadi. Dan meminta maaf secara langsung, ehmm- itupun kalau ia punya nyali. "Gue tau lu bakalan marah sama gue, Mar." "Tapi gapapa kok, mau lu marah mau engga. Gue bakalan terima apapun resikonya. Gue juga bingung gimana caranya supaya lu maafin gue …" "Gue merasa bersalah banget, Mar." Mira menunduk, menahan kesedihannya, "Gue ga nyangka kejadiannya bakal kayak gini." Drrt drrt Mira menoleh menatap ponselnya yang bergetar di atas nakas, "Siapa?" tanya Mira mengernyit bingung. Namun ia tak mau ambil pusing, Mira memutuskan meraih ponselnya. Padahal ia berkomitmen tadi tidak ingin diganggu. Mira menatap sebuah nama yang muncul di layar. "Dion? Tumben nelpon …" "Halo Yon," "Mir! Sena mana?!" Mira mengernyitkan dahi mendengar suara Dion yang terdengar panik. "Sena? Sena ga ada." "Serius Mir?" "Iya serius, Sena bukannya sama kamu?" "Sena ga ada Mir. Sena hilang." "HAH?!" Rasanya Mira seperti tersambar petir di siang bolong. "Kamu serius, Yon?" "Iya Mir. Aku udah keliling daerah rumah sakit, tapi ga ada." "Ya Allah, kok kejadiannya bertubi-tubi banget sih," jawab Mira yang juga ikutan panik. "Mario juga dirawat di rumah sakit, Yon." "Mario? Mario di rumah sakit? Sakit apa? Kenapa?!" "Cerita panjangnya, Yon. Ga bisa dijelasin lewat telpon … Aku bantu kamu cari Sena." "Terus Mario gimana?" Mira menatap pria yang terbaring lemah di atas bangsal. Jujur saja, hatinya bimbang saat itu, "Mario …" ucap Mira dilema. "Kamu jaga Mario aja." Mira menggeleng kuat dengan keputusannya, "Engga Yon. Aku ikut kamu." "Kita cari Sena bareng-bareng." Tut Tut Tut Mira memutuskan panggilannya sepihak. Ia menatap bimbang pria yang terbujur lemah di atas bangsal. "Mar … gue … janji, bakalan balik lagi." "Gue cuma keluar sebentar." Mira menggigit bibir bawahnya. Kemudian menarik nafas panjang, dan menghembuskanya. Mira sudah membulatkan tekad, ia akan balik lagi kesini. Dion butuh bantuannya. Mira meletakan ponselnya di saku celana jeans, kemudian melangkahkan kaki menjauhi bangsal. Namun baru selangkah ia berjalan, tangannya di genggam sesuatu. Mira membulatkan mata terkejut. Rasanya seperti ada aliran listrik yang menjalar di ulu hatinya. "Aku ikut." Sontak Mira berbalik badan, menatap orang yang baru saja berbicara. "Mario." ***** "Kita ga bisa bawa Mario gitu aja Yon. Gimana pun Mario tetap pasien rumah sakit." Mira berjalan di sepanjang koridor, sambil mengangkat telpon. Sesuai perjanjian mereka tadi, mereka akan bertemu di depan pintu masuk. "…" "Gue udah ngelarang, tapi Mario nya tetap ngotot. Dia baru siuman padahal." "…" "Gue ga bisa bujuk Mario, Yon. Dia malah sekarang siap-siap di kamarnya mau ikut." "…" "Oke gue tunggu-" Buk…! Ponsel yang Mira genggam terhempas dari tangannya, terlempar jauh ke lantai. Setelah ia dan seorang pria saling bertabrakan bahu. "Maaf, maaf," ucap pria itu membungkuk berkali-kali. Lalu memunguti ponsel Mira yang terlempar sejauh 1 meter dari tempat mereka berdiri. "Iya gapapa," ujar Mira singkat. Pria itu mendekati Mira dan mengembalikan ponsel yang masih tersambung dengan panggilan Dion, "Nih." "Oh iya, makasih," jawab Mira menerima ponselnya. "Maaf gue ga sengaja." "Iya gapapa kok." Pria itu pun beranjak pergi setelah mengembalikan ponsel Mira. Dan tentu saja, pria itu tak luput dari perhatian Mira. Gadis itu terus saja menatap pria yang berpakaian hitam-hitam itu. Sepertinya sedang terburu-buru. Tapi entahlah, mungkin ada sesuatu yang darurat. Mira mengendikkan bahu, mencoba tidak peduli. Tapi wajah pria itu tentu menjadi sorotan Mira. "Ganteng juga," ucapnya terkekeh kecil, kemudian melanjutkan kembali perjalannya. Mira telah sampai di depan pintu masuk bertepatan sekali dengan Dion yang baru saja sampai. "Mario mana, Mir?" tanya Dion panik. "Ruang ICU." Dion mengangguk, "Kita kesana," ucapnya lalu berjalan cepat di samping Mira menuju ruang ICU. Sesampainya di ruang ICU. Mereka menatap Mario yang hendak turun dari ranjangnya. "Mar," ucap Dion terkejut. Mario mendongak, menatap Dion dan Mira yang berada di pintu. "Oh lu Yon." Dion melangkah panjang mendekati bangsal, "Lu masih lemah, Mar. Lu mau kemana." "Ikut cari Sena." "Ga usah. Lu istirahat aja disini," imbuh Mira menutup pintu kamar, lalu berjalan ke samping Dion. "Gimanapun juga, gue tetap bertanggung jawab ngejagain Sena. Apapun yang terjadi sama Sena, gue harus terlibat." "Tapi Mar …" "Yon, bukan saatnya lu khawatirin gue. Gue bisa jaga diri gue sendiri. Sekarang yang kita pikirin itu Sena. Sena hilang kemana?" "Kalau kondisi lu aja kayak gini gimana keluarnya, Mar. Kondisi lu aja-" belum sempat Dion menyelesaikan pembicaraannya, kelakuan Mario selanjutnya membuat dua orang yang ada di sana terkejut. "MARIO." Mira dan Dion membulatkan mata terkejut, bagaimana tidak, tingkah Mario tadi membahayakan dirinya sendiri. "Mar, lu gila?!" ucap Dion terkejut tak percaya. Mario melepaskan paksa infus yang menancap di tangannya. "Gue ga bisa tenang kalau Sena hilang … gue ikut kalian." ***** Pintu kamar terbuka, terlihat Mira sedang mengintip kanan-kiri memastikan keadaan. Pasalnya membawa pasien diam-diam dari rumah sakit tindakan beresiko. Tapi mau tidak mau, Mira dan Dion mengabulkannya. Mau menolak sekeras apapun, Mario tetap bersikeras ingin ikut. "Aman," ucap Mira memberikan aba-aba. Mereka pun mengangguk, lalu melangkah keluar kamar. Mario menutupi pakaian rumah sakitnya dengan jaket kulit Dion. Meskipun celananya masih pakai celana rumah sakit. Mereka jalan mengendap-endap, tanpa menimbulkan suara. Posisinya Mira di depan, Mario di tengah, dan Dion di belakang menjaga Mario dari pusat perhatian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD