selesai revisi
eorang pria berseragam hitam menatap nanar pintu kamar rumah sakit. Lebih dari 15 menit, ia hanya mematung di luar pintu, tak berani masuk. Tentu saja apa yang dilakukannya tak luput dari perhatian orang-orang.
Para pejalan kaki yang berjalan di lorong jadi berhenti sejenak, memandanginya aneh. Pria itu tak berkutik, dan juga tak berkedip di depan pintu. Auranya terlihat kosong.
Suster yang sedang mendorong rak makanan berhenti di samping pria itu.
"Ga masuk mas?"
Pria bermasker hitam itu menggeleng, "Engga, sus …"
"Jam besuk terbatas mas. Kalau mas berdiri di sini nanti waktunya habis."
Pria itu tersenyum kecut di balik maskernya, "Iya gapapa sus. Saya juga mau balik kok sebentar lagi."
Tentu saja jawaban pemuda itu terdengar aneh.
"Maksudnya mas?"
Pria itu menggeleng, "Ga ada sus."
"Oh, yaudah kalo gitu," jawab sang suster lalu menjauhi pemuda itu. Sejujurnya ia sedikit bingung dengan jawabannya. Tapi ia tidak mau bertanya lebih, toh, mungkin saja pemuda itu ada masalah lain.
Pria itu meremat amplop cokelat yang digenggamnya.
"Si*l kenapa gue jadi gini."
"Bahkan mau masuk aja rasanya ga pantes."
Pria itu menunduk menatap amplop kusut yang berisi segepok uang.
"Nih bayaran lo," Chika memberikannya bayaran setelah semua tugasnya selesai. Pria itu menerima uang dengan perasaan hampa. Ia tidak bahagia sama sekali. Padahal uang yang diberikan Chika jauh melampaui batas. Mungkin ia harus berkerja bertahun-tahun untuk mendapatkan uang sebanyak ini. Tidak, mungkin harus berpuluh tahun.
Tapi sayangnya, hanya dirinya saja yang bereaksi seperti itu. Tidak dengan temannya.
"Ini berapa isinya?" tanya salah satu temannya menatap lembaran merah yang tersusun di dalam amplop. Bukan hanya lembaran merah, tapi juga ada cek di sana.
Chika melipat dua lengannya di depan d**a.
"Satu M. Uang cash 10 juta, sisanya ada di cek."
"Wuhuuu gila, ga salah gue Chik kerjasama sama lo, gue jadi kaya dalam sekejap."
"Gue bilang juga apa kerja sama gue ga bakalan bikin kalian miskin."
Pria itu menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya. Ia bingung, kenapa ia sama sekali tidak merasa senang. Bukankah dengan mendapatkan uang segini, ia bisa membeli apa yang ia inginkan. Mobil, rumah, membayar biaya rumah sakit ibu, lalu apa lagi yang kurang. Dengan uang segitu ia dapat membeli apapun.
"Kenapa lu ngasih kita sebanyak ini?" tanya pria itu penasaran.
"Karena kalian udah ngelakuin apa yang gue suruh," jawab Chika enteng.
"Hanya karena itu?" tanya pria itu lagi.
Chika tersenyum. Entah senyuman apa. Tapi pria itu merasakan aura menyeramkan keluar dari senyuman itu.
Chika yang dilihat orang di kampus, sangat berbeda dengan dunia aslinya. Chika yang dipuja-puja primadona oleh para lelaki di luar sana, mungkin ketika melihat aslinya mereka akan menarik ucapan mereka kembali.
Chika hanya terlihat primadona diluar, tapi tidak di dalam. Seperti iblis yang berkedok malaikat.
"Ya tentu saja."
Tapi jawaban itu tak membuat sang pria puas, "Engga, ga mungkin lo ngeluarin duit 2 M, cuma buat nyulik cewek itu."
Chika tertawa terbahak-bahak, membuat pria itu mengernyit, "Apanya yang lucu?"
Chika menghapus air matanya. Kebanyakan tertawa membuatnya menangis.
"Engga kok … gue ga nyangka aja tebakan lo bener. Gue emang bukan cuma nyulik dia aja."
"Terus?" Pria itu mulai merasa tidak enak.
"Bikin hidup dia berakhir di kursi listrik."
DUAR..!
Rasanya ia seperti tersambar petir. Bukankah itu tandanya ia mengkhianati Dion.
Secara tak langsung, ia ikut andil menyakiti wanita yang Dion cintai.
"Chik- lo gila ya. Gue kira lo cuman …"
"Glenn, sssut," Dimas menghentikannya berbicara.
Dimas merangkul bahunya, dengan perasaan tenang tanpa merasa bersalah.
"Kita cuman perlu melakukan apa yang Chika suruh, okey."
Glenn menghempaskan tangan Dimas, dengan raut wajah marah, "Tapi itu pengkhianatan Dim. Kenapa lu ga bilang dari awal kalo-"
"Lu udah dapet 1 M Glenn … apa lagi yang lu takutin? Masalah pengkhianatan mah nanti-nanti aja. Yang penting tutup mulut, beres. Dion ga bakalan tau. Mau kita matiin itu cewek disini, Dion juga ga bakal tau."
"Dim, Sena itu cewek yang Dion suka. Lu tau, kan gimana sedihnya Dion waktu ditinggal Chintya. Dan sekarang lo mau lenyapin Sena?"
"Sekarang gue tanya. Mana yang lebih penting … cewek itu, apa ibu lo yang sekarat di rumah sakit?"
Sial, ia dijebak dengan pertanyaan yang sulit.
Glenn terdiam, mengepalkan tangannya.
"Hah," Glenn menghela nafas panjang, "Gue ga lebih dari sekedar pecundang."
"Cuma karena 1M …"
Dan si B yang dimaksud itu adalah Glenn.
*****
"Pelan-pelan, Yon," protes Mira saat Dion menancapkan gas dengan kecepatan tinggi.
"Kita ga punya waktu, Mir," jawab Dion fokus menyetir.
Mira duduk di samping Dion, dan Mario duduk di belakang bersandar di kursi. Sejujurnya, Mario masih lemah.
"Kalau kamu ngebut kayak gini, kita ga bisa nemuin Sena Yon. Emangnya kamu tau Sena dimana?"
Dion menggeleng, "Engga."
"Makanya itu kamu jangan ngebut. Barangkali Sena jalan di sekitar sini."
Dion pun menurunkan kecepatannya, menuruti ucapan Mira.
Mira dan Mario berbagi tugas. Mira melihat di sebelah kiri, dan Mario melihat di sebelah kanan. Barangkali mereka melihat Sena di jalan.
Drrt drrt
Ponsel Dion bergetar. Dion mengambil ponselnya di saku jeans.
Ia menatap sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.
Dion pun memberhentikan mobilnya di pinggir jalan.
"Kenapa Yon?" tanya Mario penasaran tiba-tiba Dion berhenti mendadak.
"Ada pesan."
Mario hanya meng-oh-kan saja.
Dion membaca satu pesan masuk
Kalau lo mau tau Sena ada dimana, datang ke alamat ini. Jl. Merpati putih nomor 1.
Dion mengernyitkan dahi, membaca pesan misterius dengan kalimat aneh, "Sena?"
"Kenapa Yon?" tanya Mira penasaran melihat raut wajah Dion yang tiba-tiba berubah.
"Oh, ini ada pesan masuk katanya Sena ada di alamat ini."
"Mana-mana?" ucap Mira dan Mario penasaran. Mario pun memajukan tubuhnya membaca pesan masuk.
"Itu tandanya Sena beneran ada, Yon," imbuh Mario.
"Tapi lu tau gak ini nomor siapa? Takutnya kita cuma dikerjain aja," ucap Dion mewanti-wanti.
"Kita ikutin aja. Mana tau beneran," ucap Mira.
"Yaudah, kita kesana sekarang," jawab Dion.
Tanpa ba-bi-bu. Dion kembali menancapkan gas dengan kecepatan tinggi.
*****
"Makasih mas."
"Iya sama-sama," jawab tukang konter menerima uang pemberian Glenn.
Glenn menatap ponselnya sekilas, lalu tersenyum. Dan melangkah keluar dari konter.
*****
"Udah lama ya ga bersenang-senang Sena …
Chika melipat lengannya di depan d**a, menatap Sena yang diborgol di atas kursi listrik.
"Kam-kamu siapa?"
Chika tersenyum miring, "Hadeh pura-pura amnesia lagi."
Tubuh Sena bergetar, menatap perempuan di depannya.
"Pura-pura lupa ga akan membuat gue kasian sama lu, Dav."
"Kamu ngomong apa? Sena ga ngerti."
Chika tertawa, "Hahaha rencana lo busuk banget, pura-pura amnesia buat ngibulin gue, terus ganti nama biar lari dari gue. Hahaha klasik banget …"