selesai revisi
"Gue harap Sena masih baik-baik aja."
Glenn menatap ponselnya penuh harap. Sekarang siapa mengkhianati siapa. Ia yang mengkhianati Dion, atau ia yang mengkhianati Chika. Atau mungkin keduanya.
Glenn menurunkan ponselnya dan menyelipkannya di balik hoodie. Lalu mengeluarkan amplop tebal yang dibungkus dengan kertas kado.
"Kalo gue balikin ini, impas kan? Ga ada kata berkhianat lagi."
Glenn akan mengembalikan semuanya.
Glenn berhenti di depan pagar putih, lalu menekan bel. Tak selang berapa lama, pagar terbuka menampilkan sesosok ibu paruh baya berdaster.
"Nak, Glenn …" ibu itu tersenyum lebar, memperlihatkan kerutan halus di wajahnya.
Glenn tersenyum, "Bu …"
"Mau cari Dimas ya, Dimas dari tadi keluar."
"Oh, engga kok," Glenn menggeleng, "Glenn cuma mau kasih ini."
Glenn menyodorkan bingkisan yang dibungkus kertas kado Minion.
"Apa ini, nak Glenn? Pake ngasih kado segala. Kan Dimas belum ulang tahun," ibu Dimas terkekeh menerima pemberian Glenn.
Glenn hanya bisa tersenyum, "Tolong kasih ke Dimas ya, bu …"
Ibu Dimas mengangguk semangat, "Tentu."
"Mau masuk dulu nak Glenn? Ibu masak ayam goreng."
"Oh engga Bu, Glenn mau pamit aja."
"Oh … yaudah kalo gitu, hati-hati ya nak."
"Iya Bu, makasih …"
Ibu Dimas berdiri di depan pagar, menatap punggung Glenn yang kian menjauhinya.
"Si Glenn udah gede aja, perasaan dulu masih piyik. Ga kerasa ya waktu berlalu. Dulu Dimas sama Glenn sering main perosotan waktu TK, sekarang udah sama-sama kuliah."
Ibu Dimas tersenyum lebar mengingat kenangan mereka waktu kecil.
Glenn berjalan sendirian di tepi jalan. Mengingat kembali momen dirinya dan Dion saat abdi desa. Disana ia melihat Dion yang begitu senang saat memeluk bingkai Sena. Mata Dion berbinar cerah setiap kali berbicara tentang Sena.
Mereka berdua memiliki batin yang kuat. Sena dan Dion. Memang sudah seharusnya ditakdirkan bersama.
Bagaimana bisa Glenn menghancurkan Dion setelah pria itu mendapatkan kebahagiaannya kembali sejak ditinggal Chintya.
Dan bagaimana bisa Glenn membuat Dion seperti mayat hidup yang tak punya gairah.
*****
Chika duduk di atas kursi, yang jaraknya 1 meter dari kursi listrik Sena. Ia memandang Sena remeh, sembari memegang remot kontrol.
Sena menelan ludahnya, menatap Chika yang terus mengintimidasinya.
"Sebelum hidup lu berakhir. Gue kasih lu kesempatan menyampaikan sepatah kata."
Sena menggeleng cepat, perasaannya tidak enak, "Ga, ga mau. Sena ga mau! Sena mau pulang, Sena mau ketemu Dion."
Sena memberontak di balik kursi listrik.
Chika mendesis remah, "Oh, ga mau ya."
"Padahal udah gue kasih kesempatan buat ngomong … tapi ya udahlah ya kalo lu ga mau."
"Ucapin selamat tinggal aja."
"Ga … ga mau! Jangan!"
Sena membulatkan matanya menatap jempol Chika yang sebentar lagi menekan tombol merah.
"Bye bye Dav … selamat jal-"
"ENGGAAAAAA."
Sena memejamkan matanya kuat-kuat. Tapi saat ia menunggu beberapa detik tidak terjadi apapun. Tubuhnya tidak tersentrum. Sena membuka matanya perlahan-lahan, menatap Chika yang kini tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, takut ya?"
"Lu kira semudah itu bikin lu musnah dulu?"
Sena menahan keringat dingin yang menjalar di pelipisnya.
"Gue mau ceritain unek-unek gue dulu sebelum lu mati. Pertama, gue benci lu Dav. Gue benci saat Daniel milih lu jadi pacarnya, dan gue benci saat lu terima dia terang-terangan padahal lu tau gue suka sama dia."
"Gue suka sama dia lebih dulu dari lu Dav! Dan lu dengan teganya ambil dia dari gue?!"
Sena terdiam.
"Lu bilang kita sahabatan. SAHABAT MACAM APA YANG TEGA AMBIL COWOK SAHABATNYA?!"
Teriakan Chika terdengar keras dan memilukan, hingga membuat dinding bergetar. Dimas yang berdiri di samping Chika pun dibuat terkejut.
Lebih tepatnya Dimas terkejut dan juga bingung. Bukankah Chika menyuruhnya memisahkan Dion dengan Sena, tapi kenapa kenyataannya beda. Namun Dimas hanya bisa diam saja, toh ia hanya anak buah. Dan uang juga sudah ada di tangannya. Jadi ia lebih memilih diam, tak berkomentar apapun.
"Sungguh … Sena ga tau. Sena ga tau siapa itu Davina, siapa itu Daniel. Sena juga ga tau kamu … kenapa kamu bahas itu terus?"
Chika tertawa seperti orang gila, "Hahaha sumpah akting lu bagus banget," Chika bertepuk tangan seolah-olah itu lucu.
"Gue tau lu merasa terpojok, makanya pura-pura ga kenal gue. Basi tau ga!"
Sena menggeleng, "Sena ga bohong. Sena beneran ga tau kamu."
Tatapan Chika berubah tajam seolah-olah ingin menerkam Sena.
"Bukan cuma itu aja yang bikin hati gue sakit, Dav!"
"Lu udah ngerusak semua kebahagiaan yang gue punya."
"SEMUANYA …"
"Daniel itu satu-satunya kebahagiaan gue Dav."
"Gue cinta Daniel. Gue cinta Daniel sampai rasanya mau mati."
"Gue emang gila, Dav. Gila banget."
"Maka dari itu, kalo Daniel ga bisa jadi milik gue. Maka orang lain pun ga bisa milikin Daniel!"
Tak..!
"Aaarghhh.." Sena meringis kesakitan di atas kursi listrik. Tubuhnya mengejang saat kabel-kabel listrik itu menyentrum syarafnya.
Dimas yang melihat itu meringsut ketakutan. Ia baru tahu, bahwa Chika se-psikopat ini. Sosok primadona kampus yang dipuja secantik malaikat itu sirna, tergantikan sesosok iblis yang kejam. Pretty but psycho.
"Chik …" ujar Dimas berharap Chika menghentikan penyiksaan itu. Sejujurnya Dimas tidak tega melihat Sena mengejang di kursi listrik.
"Chik … udah nanti dia bisa mati."
Namun tentu saja Chika tak memperdulikannya. Ia tetap menjalani keinginannya menghabisi Sena.
"Aaaarghhhh."
Teriakan Sena terdengar memilukan, membuat Dimas merasa dilema. Di satu sisi ia tidak tega melihat Sena, tapi di sisi yang lain ia juga takut menghentikannya. Ia terlibat kontrak kerja sama dengan Chika. Tapi jika tidak dihentikan Sena bisa mati.
"Aaaarghhhh…"
"Kecoa!"
Sontak teriakan Dimas membuat Chika terkejut, dan tak sengaja berhenti menekan tombol merah. Aliran listrik itu pun juga ikut terhenti, bersamaan dengan Sena yang pingsan.
"Mana-mana?" jerit Chika ketakutan, menatap lantai.
Saat Chika sibuk ketakutan, Dimas pun menepis remot itu hingga terjatuh ke lantai. Chika tidak sadar jika remot itu telah hilang dari tangannya.
Dan sebelum Chika sadar, Dimas bergegas menendang remot itu hingga masuk ke kolong sofa.
"Mana kecoanya Dim?!"
"Hehe, tadi kayaknya ada dah. Apa gue salah liat."
"Jangan main-main ama gue kalo lu ga mau kena batunya," ucap Chika lebih seperti ancaman.
"Ya maap."
Chika pun kembali ingin menekan remotnya. Tapi tangannya kosong.
"Loh remotnya kemana?" Chika menatap Dimas meminta jawaban, tapi Dimas hanya mengendikkan bahu.
"Ga tau, kan dari tau lu yang megang."
"b*****t! Sialan!" jerit Chika marah.
"Iya ini bener alamatnya."
"Pasti ga salah lagi."
"Ayo kita geledah."
Suara di luar membuat Dimas dan Chika terlampau panik.
"Chik, ada orang!"
"Lu yang ngasih tau kita disini?!" ujar Chika menuduh.
"Engga Chik, sumpah. Gue aja daritadi sama lu mulu."
"Dobrak aja pintunya."
Chika menggeram kesal.
"Kita bicarain nanti, sekarang kita kabur dulu," ujar Dimas yang mulai panik, mendengar suara pijakan kaki semakin mendekat.