PART 141 - SENA GA SUKA

1030 Words
"Hemm …" Dion menghela nafas berat, setelah berdebat hebat dengan ibunya. Bukan berdebat, tapi lebih seperti menampar Dion. Diana benar-benar marah besar. Bahkan nyeri di pipi kirinya masih berdenyut, saking kencangnya. Jika bertanya kemana Diana, Diana sudah pulang dari 2 jam yang lalu. Dan disinilah Dion, duduk di meja belajarnya dengan layar komputer yang masih menyala. Pikirannya sama sekali tidak konsen. Sudah dua jam Dion mengurung diri di kamar, ingin fokus mengerjakan tugas saja. Tapi kenyataanya tidak bisa. Hati dan pikirannya sama. Sama-sama berantakan. "Hah." Dion menunduk, memijit pelipisnya. Ia benar-benar pusing sekarang. Tok tok tok. "Dion." "Sena boleh masuk?" Dion tidak menjawab. Tak lama, pintu terbuka. Gadis yang memakai piyama lebah berwarna biru dongker melangkah masuk mendekatinya. "Dion …" Dion tak menjawab. Sena mendekat. Raut wajahnya menunjukan rasa khawatir, "Dion kenapa?" Sena pun berhenti di sebelah pria itu. Menatap Dion yang berantakan, "Dion." Dion mendongak, "Iya Sena?" jawabnya dengan suara lemah. "Dion dimarahi mama ya?" "Kamu denger?" Sena mengangguk. Dion hanya bisa tersenyum kecut, "Kalau kamu mau membenci aku. Kamu berhak melakukannya." Sena tercenung. Netranya menatap sorotan mata Dion yang terlihat putus asa dan hampa. Sena mendaratkan ibu jarinya di pipi Dion, mengelus pipi itu lembut. "Kenapa Sena harus benci Dion?" "Aku udah jahat sama kamu," Dion menatap mata Sena dengan mata berkaca-kaca. "Aku yang bikin kamu kehilangan masa depan …" "Harusnya kamu ga disini sama aku." "Tapi aku egois." "Kamu boleh pergi kapanpun kamu mau. Aku ga akan larang." Dion menangis sesenggukan. Orang bilang, laki-laki adalah makhluk paling kuat yang tidak pernah nangis. Tapi itu anggapan yang salah. Laki-laki juga memiliki sisi lemah, terutama pada wanita yang dicintainya. Sena hanya tersenyum tipis, mendekap kepala Dion, "Masa depan Sena ga pernah hilang … Masa depan Sena, kan Dion." ***** Flashback dua jam yang lalu. "Jawab!" "Ma … Dion-" "Kamu ketemu Sena dimana?!" "Dimana Dion?!" "Sena siapa sebenernya?!" Dion menunduk mengakui kesalahannya yang berat, "Ma Dion minta maaf." Dion mengambil nafas panjang, sebelum akhirnya ia membuat pengakuan yang membuat Diana terkejut setengah mati. "Dion orang yang nabrak Sena sampai amnesia, ma." Diana menganga tak percaya. Ia seperti disambar petir di siang bolong. "Dion pelaku tabrak lari." PLAK..! Tamparan keras mendarat di pipi kiri Dion, sampai membuat Dion terhuyung ke belakang saking kerasnya. Bahkan tamparan itu meninggalkan bekas merah. "GILA KAMU DION?!" "Apa yang kamu lakukan?!" "Dion tau pada akhirnya kasus Dion suatu saat akan terungkap, ma. Tapi Dion ga lari, Dion benar-benar bertanggung jawab atas dosa Dion ke Sena, ma. Dion berusaha ngerawat Sena sampai sembuh." "Tanggung jawab?!" "Membawa lari korban tanpa lapor polisi kamu sebut tanggung jawab?!" "Lari dari hukum undang-undang, kamu sebut tanggung jawab?!" Dion terdiam. "Apa kamu tau gimana khawatirnya keluarga Sena cari anaknya?!" Dion menunduk pasrah. Dion akui ia pantas mendapatkan ini. "Apa kamu tau gimana reaksi papa kamu setelah tau tentang ini?!" "Kecewa Dion! Kecewa!" Sena yang tadinya sedang melukis, menghentikan aktivitasnya. Setelah mendengar teriakan yang kencang di kamar sebelah. Padahal kamar Dion dan kamarnya semi kedap suara. Tapi jika teriakan itu terdengar sampai keluar, sudah bisa dipastikan teriakannya sekencang apa. "Mama, Dion." Sena turun dari kursinya, dan meletakan kuas di atas nakas. Ia berlari membuka pintu, dan berjalan menuju kamar Dion. Teriakan mama Dion terdengar sampai ke depan pintu. Tapi ucapan itu tidak terlalu jelas, teredam oleh dinding kedap suara. Yang terdengar hanya teriakan saja. Suaranya samar-samar. Jadi Sena tak tahu apa yang mama Dion ucapkan. Sena mendekatkan telinganya di daun pintu, tadinya Sena tak ingin menguping. Tapi teriakan itu membuat Sena khawatir. Tak lama kemudian, pintu terbuka. Sena pun menjauh dari pintu. Namun alangkah terkejutnya Sena saat melihat Diana yang berantakan. Matanya bengkak, sanggulnya berantakan, make-up nya berantakan. Bukan seperti Diana yang biasa Sena lihat. "Mama." Tapi sosok mama yang Sena sebut hanya terdiam. Sorot mata Diana turun pada liontin yang Sena pakai. Liontin itu bersinar, namun sayangnya sinar itu terlihat redup. "Mama …" panggil Sena sekali lagi. Tapi Diana memilih bungkam, dan berjalan mendahului Sena. Ia bahkan tidak melirik Sena sekalipun. Bam…! Sena menatap pintu yang baru saja tertutup. Sena menunduk, menatap liontin nya, "Kenapa kilau cahayanya redup?" tanya Sena bingung. Padahal saat ia berciuman dengan Dion di taman. Liontin ini lebih bersinar daripada puluhan kunang-kunang di atasnya. Tapi Sena tak memikirkan liontin. Ia menatap pintu kamar Dion yang tertutup. Sena ingin masuk, tapi keadaannya tidak memungkinkan. Pada akhirnya, Sena kembali ke kamarnya dengan perasaan bimbang. Sena melanjutkan lukisannya yang tertunda. Tangannya memang bergerak di atas kanvas, tapi pikirannya tidak disini. Dua jam Sena mencoba menyelesaikan lukisannya tapi ia sama sekali tidak bersemangat. "Hah." Sena menghela nafas berat. Meletakan kuasnya di atas plakat. "Sena ga bisa tenang kalau Dion kenapa-kenapa." Sena meletakan semua alat lukisnya di atas nakas. Memutuskan pergi ke kamar Dion. ***** Malam itu, hujan turun lebat membasahi bumi. Seolah-olah awan tengah bersedih. Benar, bersedih. Sama seperti dua insan yang berbaring di ranjang. Hati mereka saling porak-poranda. Dion memeluk Sena dari belakang, meletakan dagunya di puncak kepala Sena. Pertengkaran dengan ibunya, membuat pikiran Dion hancur lebur. Bahkan ia sampai menangis di depan Sena. Awan seolah-olah mengerti perasaan Dion saat ini. Awan, seperti menemaninya menangis bersama. Dion mengeratkan kembali pelukannya, dan kembali bersedih akan kenyataan yang ada. Dadanya terasa sesak. "Dion belum tidur?" Ternyata pergerakan Dion membuat Sena terbangun. "Belum." Malam ini, mereka tidur di kamar Dion. "Dion mikirin perkataan mama, ya?" Suara parau Sena mengalun halus di telinga Dion. "Engga." "Terus kenapa Dion ga bisa tidur?" Dion mengeratkan pelukannya, "Aku mikirin kamu akan pergi." Sena termenung. "Apa jadinya aku kalau kamu ga ada." Sena mengangkat tangan Dion di perutnya, melepaskan pelukan mereka. Sena berbalik, menghadap Dion. Menatap netra Dion yang redup. "Sena, kan ga pergi." Jawaban polos Sena lagi-lagi menghantam d**a Dion. "Suatu hari nanti kamu pasti akan pergi." "Dion mau Sena pergi?" Dion menggeleng, "Engga." "Kenapa Dion suruh Sena pergi terus?" "Sena, kan ga mau pergi." "Apa kamu ga kangen keluarga kamu?" "Dion ngomong apa? Sena kan ga punya keluarga. Keluarga Sena cuma Dion, teman Sena juga Dion, yang jaga Sena juga Dion. Yang ngerawat Sena juga Dion." Benar, Dion lupa. Sena tidak ingat apapun. Sekeras apapun Dion memaksa Sena tidak akan bisa. "Jangan suruh Sena pergi." "Sena ga suka Dion ngomong gitu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD