"Ini den airnya."
Sang ibu penjaga kantin meletakan sebotol air mineral di atas meja.
"Makasih bu," ujar Dion tersenyum.
Ibu mengangguk, "Iya sama-sama," ucapnya senyum kemudian pergi.
Sena dan Dion duduk di bangku yang sama.
Saat itu sepi. Hanya ada mereka bertiga. Di jam segini kantin masih kosong, para mahasiswa dan dosen sibuk di kelas masing-masing. Kecuali Dion, yang memutuskan tidak ikut praktek. Padahal di balik praktek ini, menyangkut nilai kelulusannya nanti.
Dan juga Chika- yang kebetulan berpapasan dengannya.
Tapi entah kenapa Chika bisa ada di gedung kedokteran, padahal gedung mereka berbeda. Chika di gedung pertama, dan Dion di gedung ketiga. Dan juga jarak dari gedung satu ke gedung tiga lumayan jauh jika jalan kaki, harus ditempuh dengan sepeda. Tapi Dion tidak ambil pusing, mungkin gadis itu sedang ada urusan saja.
Krak..!
Dion memutar tutup botol hingga terbuka, kemudian memberikannya ke Sena.
"Minum dulu."
Sena mengangguk lemah. Saat ia ingin meraih botol tersebut, Dion menjauhkannya, "Biar aku yang pegang."
Sena mengangguk pelan, "Oh, iya."
Dion mendekatkan ujung botol itu ke bibir Sena. Kemudian membantu Sena minum perlahan-lahan.
Setelah selesai, Dion meletakan botol itu di atas meja. Kemudian membuka kotak P3K yang ia pinjam dari ibu kantin. Luka di tangan Sena, menjadi perhatian besarnya sejak tadi.
"Dion … maaf ... hari ini Sena buat Dion khawatir."
Dion diam tak bergeming. Ia mengeluarkan tisu, obat merah dan juga plester dari kotak P3K. Lalu meletakkannya di atas meja.
"Dion … Sena …"
"Jangan bergerak," ucap Dion sedikit dingin membuat Sena terdiam. Dion meraih tangan Sena yang berlumuran darah, kemudian menghapus darahnya dengan tisu.
"Aah Dion sakit …"
"Tahan."
"Dion …" Sena mencengkram erat bahu Dion, dan mengigit bibirnya. Tetesan obat merah terasa perih.
Beberapa detik pun berlalu. Plester tertempel sempurna di tangan Sena.
Dion mengemas semua obat-obatan yang ia pakai ke dalam kotak. Kemudian menyerahkannya ke ibu kantin.
"Ayo pulang."
Dion berjalan mendahului Sena. Meninggalkan gadis itu di belakang. Dion selalu menggenggam tangan Sena kemana-mana, tapi sekarang beda. Jangankan untuk memegang tangan Sena, berjalan di sisi Sena pun tidak.
"Dion ..." Sena menatap punggung Dion yang berjalan menjauh. Kemudian menatap telapak tangannya yang bersih, biasanya telapak tangan Dion selalu menyelimuti telapak tangannya. Tapi sekarang kosong.
"Dion kenapa?" tanya Sena bingung.
Hei Sena taukah kamu, sesungguhnya perasaan Dion sekarang sedang berkecamuk. Haruskah pria itu marah padamu? Atau tidak. Dion mengepalkan kedua tangannya, menahan perasaannya yang terombang-ambing.
Sena berlari mengejar Dion yang jauh di depannya.
"Dion tungguin Sena."
Dion terdiam, dan tetap berjalan meninggalkan Sena.
"Dion … kenapa Dion diemin Sena?Dion marah ya sama Sena."
Dion tak bergeming, mendengar ucapan polos dari gadis yang memiliki tatapan lugu seperti anak anjing.
Sena mempercepat larinya, "Kalau Dion mau marah sama Sena gapapa ko.Tapi jangan diemin Sena."
Dion masih terdiam. Kedua tangannya disembunyikan di dalam saku celana.
Sena meraih tangan Dion, hingga membuat pria itu terbalik.
"Dion."
"Hah Hah Hah."
Sena mengatur nafasnya yang tak beraturan. Ia mendongak menatap pria jangkung setinggi 180 cm itu.
"Dion … jangan diemin Sena."
"Dion boleh marahin Sena, tapi jangan diem aja."
"Diemnya Dion bikin Sena ga tenang."
Dion diam mematung, menatap wajah Sena yang memporak-porandakan hatinya.
"Dion …"
Dion menarik tangan Sena ke pelukannya. Ia memeluk wanita itu erat, dan menyusupkan wajahnya ke ceruk leher Sena. Menghirup aroma parfum strawberry Sena yang memabukkan.
"Dion maaf Sena …"
"Jangan pergi lagi."
Dion mengeratkan pelukannya, "Kamu tau seharian ini aku panik nyariin kamu."
"Aku takut kamu hilang lagi Sen …"
Sena membalas pelukan Dion dan melingkarkan lengannya di pinggang Dion, "Sena … ga hilang," ucapnya pelan. Pikirannya berkelana pada kejadian tadi. Sebenarnya wanita itu siapa.
"Kalau sampai kamu hilang, aku ga bisa maafin diri aku sendiri."
"Maaf Sena bikin Dion khawatir."
Dion melepaskan pelukannya, menatap wajah lugu yang berhasil mencuri hatinya.
"Kalau gitu, Dion ga marah sama Sena lagi kan?"
"Masih," ucap Dion singkat, padat, dan jelas. Kemudian berjalan lagi meninggalkan Sena sendirian.
"Aaaa Dion ... kok masih marah. Tadi kan udah pelukan."
Dion masih diam.
Sena mengejar langkah Dion yang 2 kali lebih panjang dari langkahnya.
"Teletubbies sering pelukan. Mereka ga marah. Tapi kok Dion masih marah."
Dion terkekeh mendengar pernyataan polos Sena.
"Dion ... jangan tinggalin Sena."
"Dion ga mau genggam tangan Sena gitu biar ga hilang."
"Atau mengisi jari-jari Sena yang kosong."
******
"APA?!"
Sena membulatkan matanya terkejut, membaca kertas yang tertempel di pintu Dion. Bantal, guling, dan selimut yang ia bawa jauh-jauh dari kamarnya terjatuh. Tentu saja jarak dua langkah dari kamar Dion ke kamar Sena dianggap jauh.
Yang bernama Sena dilarang masuk.
"Dioooooon."
Dion yang sedang mengetik laptopnya, terkekeh. Ia tahu Sena tidak akan terima peraturan yang ia buat di depan pintu.
"Dion jahat. Masa Sena dilarang masuk."
"Hukuman buat kamu yang hari ini bikin aku panik setengah mati."
Sena mengerucutkan bibirnya, "Aaaa Dion tega."
Tuk tuk tuk
"Dion buka dong."
"Cukup sehari aja ya Sena kamu tidur di kamar aku. Ga ada yang kedua kali, ketiga kali, atau keseribu kali."
"Dion."
"No."
Tuk tuk tuk
Sena kembali mengetuk pintu kamar itu, "Dion."
"No."
"Dion tega banget. Sena sebel."
"Kamu, kan udah punya kamar Sena. Cuma dua langkah dari kamar aku."
"Kamar Dion enak."
"Enak kenapa? Kamar kita sama aja Sena. Yang bikin beda cuma pernak-perniknya aja. Kamar aku banyak buku kedokteran, kamar kamu pink banyak boneka."
"Kamar Dion ada Dion-nya makanya Sena suka."
Dion menghela nafas, lalu memijit keningnya yang pusing, "Bisa bahaya kalo Sena minta tidur disini terus."
Tuk tuk tuk
"Dion."
Dion mencoba mengabaikan gadis itu, lalu kembali mengetik tugasnya.
Tuk tuk tuk
"Dion ..."
Dion memejamkan mata, mencoba tak luluh dengan panggilan Sena.
"Sebenernya kasian sih ... tapi ... kalau inget-inget modusnya Sena, bisa-bisa ..."
Dion menggeleng cepat, menghapus pikirannya, "Engga engga! Itu ga akan terjadi. Gue adalah cowok yang menjujung tinggi harkat dan martabat wanita."
"Jadi tahan Dion ... tahan ... jangan kebawa rayuan Sena."
"Iya tahan," ucap Dion menyemangati dirinya sendiri.
"Tapi ngomong-ngomong, Sena belajar modus darimana ya? Perasaan gue ga pernah ngajarin yang aneh-aneh."
"Aaaaaa Diooooonn! Sena takut."
Dion yang tadinya tak ingin luluh, tergesa-gesa beranjak dari kursi. Ia panik mendengar jeritan Sena.
Dion berlari menuju pintu, kemudian membuka pintu itu lebar-lebar.
"Sena kamu kenapa?!"
"Yeeeeey! Akhirnya pintunya terbuka."
Dion tercengang.
Masih tercengang.
Terus tercengang.
"Ma-maksudnya ... jadi ... jeritan tadi ..."
Sena tersenyum lebar, kemudian memungut bantal, guling, dan selimutnya.
"Maksudnya Sena takut sendirian di luar, hehe," ucap Sena santai kemudian menyelonong masuk.