Part 12

1590 Words
Arsen meremas ponsel dalam genggamannya melihat mobil Fherlyn yang menghilang di balik gerbang. Dengan keras kepala tak ingin menggunakan sopirnya dan memaksa diri menyetir dengan kemelut hati yang tidak karuan. “Ikuti dia,” perintahnya pada salah satu pengawal yang berjaga di gerbang. Lalu membanting ponselnya ke kasur. Sepertinya bukan Fherlyn saja yang berada dalam kekalutan. Lagi dan lagi wanita itu memenuhi pikirannya. Tidak, ini bukan jenis kekhawatiran. Ini bukan perhatian. Arsen menyangkal nama tindakan yang baru saja ia lakukan. Dirinyalah yang membuat Fherlyn menangis. Dirinyalah yang mengaduk-aduk hati Fherlyn hingga wanita itu tampak kacau. Dan ia mengirimkan pengawal untuk membuntuti wanita itu hanya untuk berjaga-jaga. Memastikan wanita itu sampai tujuan dengan selamat tanpa menabrakkan mobil ke pohon atau bahkan pengendara yang lain. Itu semua ia lakukan sebagai bentuk pertanggung-jawaban. Tidak lebih. Demi ketenangan hatinya dan demi keselamatan pengendara yang lain. Bukan demi Fherlyn. Arrgghhh ...   ***   Fherlyn kira tangisannya akan berhenti ketika ia meninggalkan rumah Arsen. Tapi air mata itu masih mengucur deras membasahi seluruh wajahnya. Emosinya benar-benar teraduk. Ia bahkan belum melangkah sejengkal pun ke dalam hidup Arsen, tapi kehancuran yang ia terima sudah mampu meremukkan seluruh hatinya tanpa belas kasihan. Tiinnnn ... Fherlyn mengerjap ketika sebuah mobil yang melawan arahnya membunyikan klakson kencang-kencang. Jantungnya berdebar, mobil itu hampir menyerempet badan mobilnya karena tanpa sadar mobilnya memakan jalan terlalu banyak. Ia pun segera mengarahkan setir ke pinggir jalan. Tangannya terulur meraih kotak tisu untuk mengeringkan wajahnya. Ia harus berhenti meratap dan berkonsentrasi penuh pada jalanan. Tak menemukan apa yang diraihnya, Fherlyn memalingkan wajah ke samping. Gerakan tangannya malah menjatuhkan kotak tisu tersebut. Ia pun sedikit membungkukkan punggung sambil mempertahankan wajahnya tetap ke arah jalanan. Akan tetapi, Braakkkk ... Fherlyn menginjak dalam-dalam pedal rem dan tersentak kaget ketika tubuhnya terhentak ke belakang membentur jok. Benturan tersebut cukup keras mengenai bagian belakang kepala dan membuatnya merasa pusing. Sambil menahan erangannya, Fherlyn berusaha membuka pandangannya yang terhalang air mata. Akibat dari mengemudi dalam keadaan emosi yang tak karuan. Kedua telapak tangannya terangkat menutup mulut, dan tercengang ketika menyadari bahwa mobilnya menabrak mobil lain di depannya. Mobil itu seperti terkejut karena tabrakan dari arah belakang lalu membanting setir ke kiri dan bunyi hantaman yang menyusul membuat Fherlyn menjerit. Fherlyn masih terpaku di tempat. Masih begitu linglung menatap pemandangan mengerikan di hadapannya. Butuh berulang kali baginya untuk mengambil napas dalam-dalam dan mengembuskannya demi menetralkan detak jantungnya yang masih berdebar tak karuan. Apakah ia telah membuat seseorang cacat? Ataukah telah membunuh orang? Fherlyn mengusir pikiran-pikiran liar yang membuatnya seluruh tubuhnya lemas. Menguatkan hati, ia meraih pintu mobil dan berjalan keluar. Ia harus menolong orang itu. Napas Fherlyn tertahan ketika melihat bagian depan mobil SUV silver grey itu menghantam pohon yang ada di pinggir jalan. Pintu mobil itu terbuka dan tak ada siapa pun di balik setir. Berharap orang itu masih hidup. Lalu matanya memindai semua sisi jok pengemudi. Bernapas dengan lega karena tak menemukan darah atau apa pun itu di balik setir. Fherlyn melongok ke bagian depan mobil, melihat punggung pemilik mobil yang sepertinya tengah menghitung kerusakan yang diakibatkan olehnya. Ia tak masalah, berapa pun jumlahnya asalkan orang itu baik-baik saja. “Apa ... apa kau baik-baik saja?” tanya Fherlyn dengan gugup. Bersiap mendapatkan makian karena kecerobohannya. Pria itu mendongak dan menatap wajah Fherlyn. Terkejut tak percaya ketika matanya mengerjap berkali-kali seakan memastikan apa yang tengah dilihatnya. “Fherlyn?” Fherlyn pun tak kalah terkejutnya mendapati wajah familiar tersebut. “Kau tidak mengingatku?” Pria itu bangkit dari jongkoknya smabil menyentuh d**a dengan tangan kirinya. Fherlyn menggeleng. “Aldric, benar?” Aldric tersenyum simpul. “Kupikir kau melupakanku.” “Maaf, aku ... aku menghancurkan mobilmu.”Fherlyn menunjuk ke arah kepala mobil yang ringsek parah dan lampu samping yang pecah. Aldric menggeleng. Lalu menunjukkan ponselnya yang mati ke arah Fherlyn. “Tidak sepenuhnya salahmu. Ada beberapa gangguan sehingga aku sendiri tidak terlalu fokus pada jalanan. Beruntung jalanan di daerah sini sepi. Jadi tak perlu ada kecelakaan beruntun.” Aldric meringis. “Aku yang menabrakmu,” kata Fherlyn dengan canggung. “Maaf.” “Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?” Aldric mendekat. Memeriksa kepala mobil Fherlyn yang lecet ringan. “Kuharap kau tidak lecet seperti mobilmu,” ujarnya setengah bercanda. Fherlyn menggeleng. “Tidak. Aku baik-baik saja.” “Aku ingin menghubungi bengkel langgananku, tapi ...” Sekali lagi Aldric menunjukkan layar ponselnya yang mati. “... karena ponselku kehabisan daya. Bisakah kau meminjamkan ponselmu?” “Tidak.” Aldric mengerutkan kening. “Maksudku. Biarkan aku yang akan mengurus mobilmu.” “Ini mobilku.” “Aku yang membuatnya seperti ini.” Fherlyn bersikeras. Aldric diam sejenak, lalu mengangguk menyetujui. “Baiklah.” Fherlyn membuka pintu mobilnya. Memungut ponsel dan mengirimkan lokasi mereka ke nomor Darren. Sambil melangkah menjauh agar percakapannya tak tertangkap telinga Aldric. “Ada apa?” Suara enggan Darren menjawab di deringan ke tiga. “Aku mendapatkan sedikit kecelakaan ringan,” bisik Fherlyn lirih. Darren mendesah bosan. “Aku tahu hal seperti ini pasti akan terjadi.” “Aku sudah mengirim lokasinya ke nomormu. Kirim orang bengkel langgananmu.” “Kenapa aku?” “Jangan katakan apa pun pada mama dan papa.” “Apa yang kudapatkan?” Fherlyn menggeram pelan. “Atau aku akan mengenalkan mama pada gadis yang kau temui di hotel malam itu.” Fherlyn memutus panggilannya ketika umpatan Darren mulai meluncur dari ujung lidah adiknya. “Apa semuanya baik-baik saja?” tanya Aldric yang menjulurkan kepalanya dari samping mobil Fherlyn di bagian depan. Fherlyn berjalan mendekat. “Ya. Hanya ... perlu membuat sedikit kesepakatan dengan ...” “Darren?” tebak Aldric. Lalu terkekeh pelan. Fherlyn mengangguk. “Kebiasannya tak pernah berubah,” gumamnya. Aldric tersenyum lagi. “Oh ya. Bolehkah sekali lagi meminta bantuanmu?” Fherlyn mengangguk. “Karena mobilku tak bisa digunakan dan tak ada taxi yang lewat di sekitar sini ...” “Aku akan mengantarmu,” sahut Fherlyn cepat menanggapi maksud dari penjelasan Aldric. “Ayo.” “Biar aku yang menyetir.” Aldric menahan pintu mobil yang hendak dibuka Fherlyn. “Aku baik-baik saja.” Aldric menggeleng pelan dengan canggung. “Sepertinya kau tidak baik-baik saja.” Fherlyn mengerutkan kening tak mengerti. Tatapan pria itu terpusat di wajahnya. Lalu pandangan Fherlyn teralih ke arah kaca jendela mobil yang memantulkan wajahnya. Dan rasa malu membuatnya menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Matanya jelas terlihat membengkak, rambutnya sedikit kusut, dan riasan di matanya tampak bercampur dengan air matanya. Melober ke mana-mana di wajahnya. Ia yakin Adara pasti menjerit ketakutan jika melihat wajahnya yang terlihat horor seperti ini. “Maaf. Bukan bermaksud ikut campur, tapi sepertinya kau sedang mengalami hari yang buruk. Dan aku berharap bisa sedikit membantumu.” Mulut Fherlyn terbungkam. Menahan rasa malu, ia berlari memutari mobil menuju pintu satunya. Sambil melarang Aldric masuk ke mobil sebelum ia mengijinkan masuk.   ***   “Bagaimana kabarmu?” Aldric berusaha memecah keheningan yang menemani mereka sejak mobil melaju meninggalkan mobil SUV miliknya hingga hampir setengah perjalanan menuju gedung apartemennya. “Hm, baik.” Fherlyn berusaha menjawab dengan jawaban singkat karena merasa canggung. Berharap Aldric tak menanggapinya sebagai sebuah keengganan. Hanya saja, bagaimana kabarnya selama empat tahun ini? Ia sendiri tak tahu bagaimana menguraikan kehidupannya sejak tiba-tiba menghilang dari Mh dan kehidupan Arsen. “Empat tahun lalu kau tiba-tiba berhenti menjadi sekretaris Arsen. Tanpa kabar apa pun. Nomormu juga tak bisa dihubungi. Apartemen kosong. Apa yang terjadi? Kenapa kau tiba-tiba pergi?” Fherlyn kembali diingatkan akan kenangan “Hanya urusan keluarga. Ada sesuatu yang terjadi dan aku harus pergi ke Australia. Belajar beberapa hal tentang perusahaan. Papaku bersikeras dan aku tak punya alasan menolaknya.” Aldric mengangguk-angguk mengerti. Sesekali menatap sisi wajah Fherlyn dan berkonsentrasi penuh pada jalanan. “Benarkah? Apa kau akan kembali ke Australia dalam waktu dekat?” “Tidak. Aku akan membantu Darren di sini.” “Benarkah? Sepertinya kita punya kesempatan untuk bertemu lagi. Kudengar dia baru saja memenangkan proyek Gold Resort.” “Ya. Karena itu papa menyuruhku membantu mengawasi prosesnya. Dan sepertinya itu memakan waktu yang sangat lama karena ini proyek besar.” Keduanya pun mulai mengobrol. Sesekali saling tertawa ketika saling menceritakan apa pun yang terjadi selama mereka berpisah. Hingga tiga puluh menit kemudian, gedung megah apartemen Aldric tinggal terlihat. “Kauyakin bisa menyetir sendiri?” tanya Aldric sekali lagi Fherlyn “Ya,” jawab Fherlyn yakin dengan wajah yang lebih ceria meski bekas air mata masih menyisakan jejaknya di pipi. “Terima kasih sudah menghiburku,” ucapnya sungguh-sungguh sambil mendaratkan pantatnya di jok. “Bukan masalah.” Aldric tersenyum simpul. Membantu Fherlyn menutup pintu. Fherlyn membalas senyum Aldric. Lalu mulai memutar kunci menyalakan mesin. “Tunggu dulu.” Aldric tiba-tiba teringat sesuatu dan kembali membuka pintu mobil Fherlyn. Fherlyn menoleh dan mengerutkan alis. “Kenapa?” “Aku melupakan sesuatu.” Fherlyn menundukkan kepala mencari di sekitar tempatnya duduk. “Mana ponselmu?” tanya Aldric sambi mengulurkan tangan ke arah Fherlyn. Fherlyn berhenti mencari. Mengambil ponselnya yang tergeletak di kursi penumpang. Aldric memainkan beberapa jarinya di layar ponsel. Mengetikkan deretan nomor lalu menekan tombol panggil. Setelah deringan pertama, pria itu memutus panggilan. “Aku sudah mendapatkan nomormu. Aku akan menghubungimu.” “Untuk apa?” Senyuman tertahan di sudut bibir Aldric. “Untuk mobilku.” Fherlyn memukul pelan keningnya. Lalu meringis menyadari ketololannya. Ya, jika ia tidak bisa menghubungi Aldric, bagaimana caranya mengembalikan mobil pria itu. “Kau benar.” “Dan mungkin untuk hal lainnya,” tambah Aldric. Fherlyn menerima ponselnya kembali. “Hati-hati. Aku akan menghubungimu sepuluh menit lagi. Pastikan kau mengangkatnya dan sudah sampai di rumah dengan selamat. Okey?” Fherlyn tak bisa menahan tawanya. “Apa kaupikir aku akan mendapatkan kecelakaan yang lain?” “Pastikan kau tak mendapatkannya,” jawab Aldric dengan tegas. “Atau aku akan memastikanmu tak memegang kendali mobil lagi. Seumur hidupmu,” tambahnya dengan kekehan ringan. Masih menahan tawanya, Fherlyn mengangguk setuju dan membalas dengan candaan. “Dan kaulah yang harus bertanggung jawab menjadi sopir pribadiku.” “Sepertinya bukan ide yang buruk.” Aldric mengangkat bahunya. “Baiklah. Aku harus pergi sekarang. Atau aku akan terlambat mengabarimu dan membuatmu memiliki pekerjaan sampingan lainnya.” Aldric mengangguk. Lalu tiba-tiba pria itu menjulurkan lengannya masuk dan hampir setengah memeluk tubuh Fherlyn. Bahkan wajah mereka hampir bersentuhan jika Fherlyn tidak merapatkan punggungnya ke punggung jok. Fherlyn sempat terkejut dengan apa yang hendak Aldric lakukan. Tapi ternyata pria itu meraih sabuk pengaman dan memasangkan untuknya. “Okey. Sepertinya kau sudah siap untuk menaklukkan jalanan.” Fherlyn tertawa dan mengucapkan, “Terima kasih.” Aldric menutup pintu mobil. Melambaikan tangan ketika mesin mobil mulai dinyalakan dan melaju melewatinya. Cukup lama Aldric berdiri tertegun memandang mobil Fherlyn yang mulai meninggalkan halaman gedung apartemen. Senyumnya semakin melebar dan bertahan hingga ia masuk ke lobi gedung dan sampai di apartemennya di lantai sebelas. Kebahagiaan di balik musibah? Sepertiya itu nama yang cocok untuk hari ini. Kepala mobil mahal kesayangannya hancur tapi ia mendapatkan sesuatu yang lebih berarti. Bertemu kembali dengan Fherlyn. Setelah sekian tahun ia ditemani kehampaan, akhirnya wanita itu kembali mengisi kekosongan hatinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD